Pariaman dan Skandal Kemaritiman Paling Heboh Abad 16

Sabtu, 10 September 2016 – 09:25 WIB
Sunset di laut Pariaman, Sumatera Barat, awal September 2016. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - SKANDAL kemaritiman paling terkenal pada abad 16. Tenggelamnya Sao Paulo, kapal besar milik Portugis di laut Pariaman. Dibumbui kisah Dona Fransisca Sardinha--perempuan tercantik pada masanya.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Krong-krong…Crong-crong, Lahirlah Musik Keroncong

21 Januari 1561. Kapal Sao Paolo yang berangkat dari Tanjung Harapan, Afrika tujuan Goa terdampar di pantai barat Sumatera.

Henrique Dias, awak kapal yang selamat mencatat peristiwa itu dari hari ke hari. Catatannya diterbitkan di Lisbon pada 1565--empat tahun kemudian. Dan lalu dimuat dalam buku terkenal Historia Tragico-Maritima yang terbit pada 1735-1736.  

BACA JUGA: Yus Datuak Parpatiah Masih Ada dan Masih Berkarya

Ini kisahnya…

Setelah badai yang bertubi-tubi, mereka terdampar di mulut sungai. Dari seorang budak Jawa yang dipekerjakan Portugis sebagai penerjemah, diketahui "sungai ini bernama Sungai Menencabo (Minangkabau?)," tulis Henrique. 

BACA JUGA: Luluhur Para Raja Jawa dari Semenanjung Melayu?

Mereka langsung didatangi penduduk setempat ramai-ramai. "Kulit mereka hitam legam. Badannya tegap dan pakaiannya bagus. Beberapa orang dari mereka naik sampan…untuk menukar ayam, beras dan barang-barang lain."

Menenggang cuaca dan beberapa hal, "kami membuang jangkar di pantai bagian dalam," tulisnya.

Raja Tersinggung

Minggu, 13 April 1561. Siang itu, Henrique mencatat, seseorang yang disebut raja turun ke sungai dengan iring-iringan yang membawa tambur, sangkakala, terompet dan lonceng-lonceng kecil. 

"Ia juga membawa 80 sampan berisi tentara yang tampak sangat gagah dengan keris-keris…perisai dan lembing-lembing besi yang mengkilap."

Sebagai bentuk penghormatan, kapal portugis menyambut kedatangan rombongan tersebut dengan menembakkan meriam ke udara.

Kapten kapal pun mengutus Antonio Soares, pelayan kerajaan Portugis menghadap. Dia mempersembahkan kain merah tua sepanjang 4 hasta, 4 lembar kain beludru merah tua, berlembar-lembar kain satin dengan warna sama, selembar kain beludru hijau, beberapa cawan kristal dan sebuah cermin. 

"Hal itu adalah aturan umum yang berlaku di wilayah ini. Bahwa tak seorang pun boleh menghadap raja dengan tangan kosong," ungkap Henrique.

Air muka raja berseri-seri. "Raja ini adalah anak muda yang tampak sangat gagah. Ia mengenakan pakaian mewah dan membawa keris berhiaskan emas…ia adalah putera Raja Minangkabau."

Raja berbasa, sebenarnya ia tak pernah berharap menerima hadiah dari orang-orang yang kapalnya karam. Lalu sang raja menanyakan keberadaan kapten kapal. Ketika dijawab, kapten sedang makan, air muka raja berubah masam.

Dengan ketus raja berkata, "Kapten tidak boleh makan ketika raja menampakkan diri di muka umum--ucapan yang tak disangka bisa keluar dari mulut orang barbar," pada bagian ini Henrique menulis dengan nada sinis. Barbar! Oh…

Kapten akhirnya keluar menemui raja. Setelah berbasa-basi, melalui seorang berkulit hitam yang lancar berbahasa Portugis, raja menyampaikan keinginannya menukar artileri (perkakas perang) Portugis dengan kapal-kapal besar miliknya. 

"Kapten menolak permintaan itu dengan sopan. Ia mengatakan bahwa artileri tersebut bukan miliknya, melainkan milik Raja Portugis," kenang Henrique.

Tak soal. Raja tak memaksa. Bahkan mengizinkan kapal tersebut sandar di wilayahnya dan memperbolehkan awak Portugis menukar barang-barang kebutuhan sehari-hari dengan rakyatnya.

Antara Tiku dan Pariaman  

Di hari-hari berikutnya, merujuk lembaran lain pada catatan itu, kian hari kian banyak penduduk setempat datang menukar barang kepada mereka.  

Yang dibawa antara lain ayam, beras, ubi, buah ara, garam, terong, lada, dan kebutuhan pokok lainnya, serta bubuk emas yang ditukar dengan pisau, paku dan lain sebagainya.

"Mereka menunjukkan sikap ramah dan bersahabat," tulis Henrique. "Hal itu membuat kami senang, sampai-sampai kami merasa bahwa kami sudah mengakhiri perjalanan dan berada di Melaka dengan selamat."

Awak Portugis mulai mendirikan pemukiman di sekitar pantai. Gara-gara merasa aman layaknya berada di Lisbon, seiring waktu mereka yang mulai mengabaikan pengawasan dan pertahanan, demikian disadari Henrique. 

17 April 1561…

Henrique tak menceritakan pangkal balanya. Tapi, hari itu, saat fajar baru saja menyingsing, hujan turun deras. Ribuan orang setempat tiba-tiba menyerbu sambil memekik keras. 

"Karena menemukan kami semua dalam keadaan tidur dan benar-benar tanpa persiapan, mereka membunuh banyak orang kami sebelum kami sendiri sempat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi."

Yang selamat berhamburan lari ke kapal. Sebagian besar dalam keadaan luka parah. 

Membalas pekikan para penyerang, sembari mencari selah untuk meloloskan diri lari ke kapal, pelaut-pelaut Portugis itu bertarung seraya berteriak, "santiago!..santiago!" 

Santiago, menurut sejarawan Anthony Reid, adalah pelindung Portugis dalam perang salib. 

Henrique Dias seorang ahli obat-obatan yang membuat catatan ini, bersama awak Portugis yang selamat, buru-buru angkat sauh. Kapal Sao Paolo pun berlayar. 

"Kami meninggalkan Dona Fransisca…perempuan yang sangat cantik dan anggun," tulis Henrique.

Seiring kapal melaju, Henrique menyaksikan suami Dona bertarung mempertahankan diri dengan pedang besar. Tapi, akhirnya ia terbunuh. 

Saat catatan ini diterbitkan pertamakali pada 1565, Dona Fransisca Sardinha--perempuan Eropa tercantik pada masanya--diduga masih hidup. 

Sayang, arsip itu tak menyebut lokasi persis tempat kejadian. Kisi-kisinya hanya Sungai Menencabo, putera Raja Minangkabau dan orang-orang berkulit hitam.   

Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempo Doeloe mengira-ngira skandal kemaritiman terbesar menurut catatan Eropa tersebut terjadi di sekitar Tiku. 

Namun, mencermati kisi-kisi pada catatan Henrique Dias, agaknya peristiwa itu lebih tepat bila terjadi di Pariaman. Setelah JPNN.com mendatangi kedua wilayah yang bertetanggan itu, meski antara Tiku dan Pariaman jaraknya hanya "sepelemparan batu", daerah Kampuang Kaliang--kampung orang berkulit hitam--hanya ada di Pariaman. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rupanya Begini Pergaulan Para Bandit di Masa Lalu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler