Inpres Moratorium tak Hentikan Deforestasi di Kalteng

Senin, 23 Mei 2011 – 14:18 WIB
PALANGKA RAYA – Jaringan Penyelamatan Hutan dan Gambut  Kalteng (JPHGK) menilai Instruski Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011, tentang Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola  Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, menjadi ancaman baru bagi  penyelamatan hutan dan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng)Pasalnya, efektivitas penurunan deforestasi kebijakan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 ini hanya bersifat instruksi, bukan memiliki dampak hukum mengikat, sehingga mudah untuk tidak dipatuhi.

“Inpres tersebut hampir sama dengan Inpres Nomor 2 tahun 2007 tentang rehabilitasi dan revitalisasi kawasan Eks PLG yang belum berjalan sampai sekarang

BACA JUGA: Nelayan Filipina Ditangkap

Selain itu, kami melihat hutan alam primer tidak dikenal dalam tata kebijakan di sektor kehutanan  dan merupakan upaya pengkaburan dari objek moratorium yang seharusnya berlaku untuk hutan alam,” kata Direktur Walhi Kalteng, Arie Rompas.

Menurutnya, Inpres tersebut hanya berlaku dikawasan hutan konservasi, kawasan lindung, Kawasan hutan produksi serta kawasan gambut
Tetapi sebenarnya penyelamatan tersebut sudah dilindungi melalui kebijakan Undang-Undang Kehutanan No 41 Tahun 1999.

“Melihat konteks Kalteng sebagai percontohan REDD+ seperti di peta, kami perkirankan sedikit wilayah hutan di Kalteng bisa terselamatkan, karena peta tersebut menjadi pembenaran melakukan konversi hutan di kawasan masuk dalam peta inidikatif moratorium dan sudah diberikan izin untuk konsensi investasi untuk perkebuan sawit, HPH/HTI dan pertambangan,” ujarnya.

Dijelaskannya, wilayah menjadi objek moratorium di Kalteng merupakan wilayah hutan lindung seperti hutan lindung Batu Batikap dan Sapat Hawung, wilayah Taman Nasional Sebangau dan Tanjung Puting dan wilayah Suaka Marga Satwa Lamandau dan wilayah gambut
Tidak hanya itu, lanjut Arie, seperti Blok E dikawasan eks PLG berstatus  kawasan lindung namun sayanganya kawasan tersebut juga sudah menjadi site kerja oleh lembaga konservasi international bukan dikuasai oleh masyarakat lokal.

“Sedangkan wilayah gambut  di Kalteng seluas 31, juta hektare, namun luasan itu tidak utuh menjadi objek moratorium, karena 774.574,86 diberikan izin kepada perkebunan kelapa sawit sebanyak 118 dan 13  izin tambang  (KP) yang tidak dipengaruhi oleh  Inpres ini,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Arie  diwilayah perlindungan masyarakat adat seperti pukung pahewan dan kaleka lewu, konsep pengeloalaan hutan secara tradisional tersebar di wilayah pedalaman Kalteng masih terancam oleh konversi hutan oleh dan perkebunan sawit  dan pertambangan  tidak manjadi pertimbangan dari inpres tersebut.

“Melihat kenyataan ini, kami yang tergabung dalam Jaringan Penyelamatan Hutan dan Gambut Kalimantan Tengah  menegaskan akan terus melakukan upaya-upaya  yang serius dalam menyelamatkan hutan dan sumber-sumber penghidupan rakyat  dikalteng dengan terus melakukan advokasi dan monitoring atas  implemantasi kebijakan moratorium ini,” ujarnya.

Arie menegaskan, seharusnya  moratorium didasarkan prasyarat, indicator social dan lingkungan sehinga moratorium atau jedah konversi hutan berlaku efektif, didasarkan sebagai perbaikan atas kelola kehutanan, penegakan hukum

BACA JUGA: Peternak Unggas Siaga Flu Burung

BACA JUGA: Wisatawan Keluhkan Jalanan Menuju Pantai Anyer



“Upaya resolusi konflik bagi kepastian ruang-ruang kelola masyarakat untuk menjamin hutan memberikan kesejahteraan bagi rakyat yang hidup di sekirat hutan dan mampu secara efektif menurunkan emisi dari deforestasi hutan sebagai tangung jawab Indonesia sesuai janji dan komitmen Presiden SBY dalam pertemuan G20 di Pitsburg dan implementasi LOI antara Indonesia dengan Norway,” pungkasnya.(dot)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tambang di Lahaan Sawit Distop


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler