IPK 3,51 tapi kok Susah Banget dapat Kerja ya

Senin, 01 Oktober 2018 – 05:36 WIB
Ilustrasi mahasiswa wisuda. Foto: AFP

jpnn.com - Bertepatan Hari Sarjana Nasional 29 September, Jawa Pos Radar Malang mengungkap fenomena pengangguran terdidik. Kenapa banyak mahasiswa yang menganggur dan apa sebabnya?

---

BACA JUGA: Jumlah Wisman Naik Drastis, Wouw Banget!

WAJAH perempuan berjilbab biru itu tampak murung. Sembari mengaduk-ngaduk bekas makanan, dia menceritakan banyaknya perusahaan yang sudah dikirimi lamaran kerja, namun tidak ada satu pun yang merespon.

”Padahal, saya ini lulusan kampus ternama lho. IPK (indek prestasi kumulatif) saya juga bagus. Tapi sulit sekali mendapatkan kerja,” ujar Fardika I. L ketika ditemui wartawan Jawa Pos Radar Malang di salah satu rumah makan (RM) di kawasan Jalan Dieng, Malang, Kamis lalu (27/9).

BACA JUGA: Tol Malang – Pandaan Berpeluang Beroperasi Akhir 2018

Sejak lulus jurusan hukum tahun 2016 lalu, lebih dari 60 perusahaan yang dikirimi lamaran kerja oleh Fardika. Mulanya, gadis 25 tahun itu hanya melayangkan lamaran kerja kepada kantor advokat. Tapi setelah puluhan kantor advokat tidak merespons, dia melamar ke perusahaan kosmetik, hingga kuliner.

”Mungkin karena perusahaan zaman sekarang tidak mau menerima fresh graduate,” kata perempuan asli Kota Malang itu.

BACA JUGA: Cuaca Dingin Berselimut Kabut Hingga Akhir Agustus

Dua tahun tidak mendapatkan pekerjaan, Fardika memutuskan lanjut kuliah strata dua (S2). ”Daripada nganggur di rumah dan tidak ada aktivitas, ya lanjut kuliah lagi saja,” kata sarjana hukum yang memiliki IPK 3,51 itu.

Senada dengan Fardika, Lita Ramadhani juga kesulitan mencari kerja. Mahasiswi asal Lombok itu memilih tinggal di Kota Malang karena malu jika pulang kampung tapi belum sukses. Padahal, Lita sudah bergelar sarjana. ”Sampai sekarang, biaya kos masih ditanggung orang tua. Tapi ya jatah bulanan saya menurun,” kata Lita.

Sulitnya mencari pekerjaan ini tidak hanya dirasakan Fardika dan Lita. Tapi ada ratusan sarjana di Kota Malang yang masih menganggur. Berdasarkan data yang dihimpun Jawa Pos Radar Malang, sepanjang 2017 lalu, tiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Kota Malang memproduksi sekitar 23.145 sarjana.

Rinciannya, Universitas Brawijaya (UB) meluluskan 13.939 sarjana, Universitas Negeri Malang (UM) meluluskan 7.406 orang, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang meluluskan 1.800 sarjana.

Jika digabung dengan lulusan perguruan tinggi swasta (PTS), jumlah sarjananya lebih banyak. Namun Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Malang Raya tidak mengantongi data jumlah sarjana. Sebab, lulusan PTS langsung dilaporkan ke Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI.

”(untuk mengetahui jumlah lulusan PTS) kami harus berkoordinasi dengan L2 (Lembaga Layananan) Kemenristekdikti RI. Atau ke PD (Pangkalan Data) Kemenristekdikti RI,” ujar Ketua Aptisi Malang Raya, Prof Dr Dyah Sawitri, SE MM.

Sementara untuk tahun 2018 ini belum bisa dihitung. Sebab, sejak Januari hingga September ini, masing-masing PTN baru satu kali meluluskan mahasiswanya.

Dari puluhan ribu sarjana tersebut, tidak semuanya mendapatkan pekerjaan. Badan pusat statistik (BPS) Kota Malang mencatat, sepanjang 2017 lalu terdapat 10.776 sarjana yang menganggur alias belum mendapatkan pekerjaan.

Kepala Seksi (Kasi) Statistik Sosial BPS Kota Malang, Henry Soeryaning Handoko menyatakan, banyaknya sarjana yang menganggur itu disebabkan beberapa hal. Di antaranya, para sarjana melamar pekerjaan yang sesuai disiplin keilmuannya, selektif memilih pekerjaan, hingga lowongan pekerjaan tidak sebanding dengan banyaknya jumlah sarjana.

”Juga dipicu banyaknya mahasiswa luar kota yang tetap tinggal di Kota Malang meski sudah lulus,” kata Henry.

Henry menerangkan, pengangguran di Kota Malang rata-rata berpendidikan tinggi. Mayoritas lulusan SMA hingga PT. ”Bisa dibilang, ini fenomena pengangguran terdidik,” tutur laki-laki yang sebelumnya berdinas di BPS Provinsi Jawa Timur itu.

Berdasarkan pendataan BPS, mayoritas penggangguran juga dari kalangan mampu. Sehingga mereka lebih cenderung menggantungkan kebutuhannya dari orang tua atau anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah umumnya berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah, sehingga mereka tidak mungkin bertahan hidup tanpa ada pekerjaan atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

”Contohnya saja di sini (Kota Malang, red). Rata-rata mereka yang bekerja di pinggiran itu pendidikanya rendah-rendah,” kata dia.

Sementara Kasi Perluasan Kesempatan Kerja Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Malang Erry Harto Prabowo menyatakan, jumlah sarjana menganggur hanya 371 jiwa. ”Mungkin karena betah tinggal di sini (Kota Malang). Sehingga pengangguran banyak dari kalangan universitas,” ucapnya.

Erry menyatakan, pihaknya sudah melakukan beberapa langkah untuk menekan angka pengangguran. Misalnya menggelar job fair. Harapannya, para sarjana yang menganggur bisa mendapatkan peluang kerja.

”Contohnya kemarin, kita melakukan Job Fair di Skodam dan juga biasanya kalau ada lowongan kerja kita share di sosial media kami,” jelasnya.

Di sisi lain, dengan banyaknya sarjana nganggur, Erry berharap agar ada perhatian dari pihak kampus. Misalnya menyediakan fasilitas atau penyambung kepada perusahaan. Sehingga, kampus tidak hanya mencetak sarjana, tapi juga menyiapkan dunia kerja. ”Misalnya saja, membaut BLK seperti di SMK. Kan enak, bisa melatih para mahasiswa untuk melatih skill yang akan digunakan untuk kerja,” pungkasnya.

Lantas apa yang dilakukan beberapa PTN? Rektor UB Prof Dr Ir Nuhfil Hanani AR MS menyatakan, pihaknya sudah memasang target. Dari jumlah mahasiswa yang diluluskan, sekitar 20 persen ditargetkan berwirausaha. “Saat ini mahasiswa kami diarahkan menjadi entrepreneurship,” kata Nuhfil.

Sementara target lulusan yang menjadi wirausaha harapannya mencapai 50 persen. Nuhfil menjelaskan, tidak semua lulusan mudah membuka lapangan kerja. Harus ada kerjasama antara institusi, baik dari pendidikan, pemerintah dan intitusi terkait untuk membantu mahasiswa agar bisa mendapatkan kerja atau berwirausaha.

Ada banyak strategi yang dilakukan UB dalam mengentaskan lulusannya. Misalnya, memberikan mata kuliah kewirausahaan (KWU) di semua program studi, lalu entrepreneur center yang difokuskan untuk membantu mahasiswa mengembangkan bisnis mereka. Atau, mahasiswa setelah lulus bisa mendaftar UPKK atau tracer study yang kini sudah tersedia hampir di semua kampus di Kota Malang.

Sedangkan di UM, kelulusan per tahunnya cukup dinamis. Tahun 2017 lalu, ada 7.406 wisudawan. Di tahun yang sama, UM memasang target lulusan yang bekerja kurang dari enam bulan pasca lulus mencapai 4,12 persen. Maka ada 7.100 mahasiswa yang bisa bekerja selepas lulus.

Rektor UM Prof Dr AH Rofi’uddin menyatakan, lulusan UM juga diarahkan menjadi pengusaha. “Sektor kewirausahaan lebih disukai lulusan kekinian,” ujarnya.

Sebagai pendidik, ia paham betul arus minat kerja para lulusan. Dari sudut pandangnya, saat ini mahasiswa lebih suka dunia usaha start up. Sementara terkait sarjana luar kota yang menetap di Kota Malang, dia mengakuinya. “Tentu berkali-kali kami meminta mereka kembali dan mengembangkan daerah nya masing-masing,” kata Rofiuddin.

Sementara itu, Kepala Sub Bagian Alumni UIN Maliki, Muhammad Edy Thoyib mengklaim, lulusan yang terserap menjadi pekerja mencapai angka 70 persen. Untuk menaikkan jumlah penyerapan kerja, UIN siap membentuk tracer study secara online.

“Sudah saatnya tracer study dilaksanakan secara online mengingat alumni target responden adalah generasi milenial,” ujar Edi. (san/nr3/dan)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Rapor Mulai Diterapkan Akhir Semester Ini


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler