JAKARTA - Majunya perempuan sebagai kandidat kepala daerah seringkali tidak murni berangkat dari ambisi politik progresif pribadi atau faktor terbukanya peluangSejumlah kasus menunjukkan perempuan terpaksa tampil dalam pemilukada akibat desakan keluarga atau orang terdekat.
"Dengan demikian, keberhasilan seorang kandidat perempuan mengikuti bursa di pemilukada sebenarnya tidak direncanakan oleh dirinya sendiri
BACA JUGA: Megawati Persilahkan Simpatisan PDIP Masuk Kabinet
Namun, cenderung didisain oleh politisi laki "laki," kata Ketua Tim Peneliti Departemen Politik Fisip Universitas Airlangga, Dwi Windyastuti Budi Hendrarti di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, kemarin (18/1).Menurut dia, dorongan keluarga dan teman terdekat dalam pemilukada telah melahirkan politik dinasti yang sarat nepotisme dan kroni "isme
"Maraknya politik keluarga di partai politik bisa mengarah pada dinasti-tokrasi
BACA JUGA: Nusron Janji Tak Jadi Caleg 2014
Mungkin hanya dengan cara ini perempuan mampu menembus kekuatan parpol yang sangat maskulinKesimpulan itu merupakan salah satu temuan dari kajian kandidasi perempuan di Jawa Timur dan Sulawesi Utara dalam pilkada yang dikerjakan Departemen Politik Fisip Universitas Airlangga bekerjasama dengan Kemitraan Partnership.
Dwi menjelaskan kandidat perempuan yang maju dalam pemilu kada di wilayah Jatim dan Sulut jumlahnya cukup banyak
BACA JUGA: Wakil Kepala Daerah Bakal Direkrut dari PNS
Di Jatim, 9 dari 18 pilkada kabupaten yang sudah berjalan memunculkan 12 perempuan yang berpartisipasi, baik sebagai bupati, maupun wakil bupatiSedangkan di Sulut, dari 7 pilkada hanya 1 kabupaten di mana perempuan tidak terlibat sebagai calonJumlah perempuan yang maju di Sulut cukup fantastis, yakni 17 perempuan.Dwi kembali menuturkan, calon perempuan yang terpaksa maju karena desakan itu, menjalani proses kandidasi hanya karena tak ingin melukai perasaan keluarga yang memaksanyaMeskipun demikian, lanjut dia, seiring dengan perjalanan waktu, kandidat perempuan akhirnya dapat menikmati proses yang sedang berjalan tersebut.
"Dan, cenderung bersikap nothing to loose dalam proses kandidasinya," ujar Dwi.
Dia menambahkan banyak kandidat perempuan yang dieksploitasi kemampuan finansialnyaMengacu pengalaman pemilukada di wilayah Jatim dan Sulut, sebagian besar kandidat perempuan, memang memiliki kemampuan finansial yang sangat kuatPaling minimal, ungkap Dwi, kandidat perempuan memiliki kemampuan untuk memobilisasi sumber dana dari pihak yang berkepentingan pada kandidasi tersebut.
"Latar belakang mereka sebagai pengusaha atau istri pengusaha, atau istri pejabat, menjadi modal utama mereka untuk membiayai proses kandidasi," bebernyaDalam beberapa kasus, sambung Dwi, kandidat perempuan nyaris berperan sebagai "mesin ATM" bagi pasangannya yang laki-laki"Kebutuhan akan kemampuan finansial ini mengakibatkan arena kontestasi didominasi oleh hadirnya para perempuan pengusaha yang merangkap sebagai politisi," kata Dwi.
Dalam diskusi, politisi PAN yang juga mantan anggota Komisi II DPR RI Andi Yuliani Paris mengatakan pada dasarnya semua kandidat yang ingin maju di pilkada harus memiliki "uang pintu"Saat mengambil formulir pendaftaran saja dari parpol, setiap calon sudah harus menyiapkan uang antara Rp 10 "50 juta, tergantung dari size parpol terkait"Biasanya satu calon tidak hanya mendaftar di satu parpol saja," kata Andi.
Dia menyarankan kajian mengenai pilkada mulai bisa menyentuh detil tersebutTermasuk pada level struktur partai yang mana, uang tersebut diberikanMenurut Andi, saat ini untuk bisa bertarung di pilkada harus punya modal paling sedikit Rp 6 miliar"Semua ini seharusnya bisa diungkap agar tergambar betapa ruwetnya kandidasi dalam pilkada," sarannya.
Terkait sering "dipaksanya" seorang istri oleh incumbent yang terhalang batasan dua periode untuk maju dalam pilkada, Andi memilih bersikap moderatMenurut dia, perjuangan perempuan dalam kancah politik saat ini memang masih dari segi jumlahDalam proses selanjutnya, Andi berharap perempuan yang tampil di panggung politik "apapun motivasinya, memiliki visimisi perbaikan demokrasi dan pemihakan terhadap agenda perempuan"Artinya, karena memang ini masih sifatnya menuju jumlah (yang banyak) bisa toleransiTapi, ada pekerjaan rumah bagi parpol," tegas Andi.
Terlebih lagi fenomena ini tidak hanya terjadi di level pilkadaTapi, sudah merembes ke level kepala desaAndi mengaku ini cukup marak di tanah kelahirannya, Sulawesi Selatan"Masyarakat harus diberi pendidikan politik mengenai demokrasi," katanya(pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrat Pasang Badan untuk Tangkis Tudingan
Redaktur : Tim Redaksi