jpnn.com - SEPULUH hari terakhir bulan Ramadhan merupakan waktu paling special di banding hari-hari yang lain. Tak heran jika Rasulullah SAW meningkatkan bobot dan kualitas ibadahnya untuk mengisi setiap detik yang ada di dalamnya.
Saking ingin konsentrasi dan fokusnya pada tugas-tugas ibadah kepada Allah SWT, Rasulullah SAW selalu berdiam diri di masjid atau yang dikenal dengan istilah I'tikaf.
BACA JUGA: Sensitif dengan Kemungkaran
Mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi. Bahkan, Rasulullah SAW menjauh dari istri-istrinya agar perhatian dan waktunya tidak terbagi kepada selain Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 187: "Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."
Tentu hikmah dari ayat ini karena Allah SWT tidak mau perhatian kita terbagi pada hal lain yang berpotensi merosotnya konsentrasi kepada kegiatan ibadah yang kita lakukan. Allah SWT ingin kita menyiapkan waktu sepuluh hari terakhir di bulan mulia ini semata-mata untuk diri-Nya. Beribadah, berdoa, dan bertobat atas apa-apa yang sudah kita lakukan di hari-hari sebelumnya.
BACA JUGA: Merawat Hidayah
Rasulullah SAW tentu punya alasan yang jelas kenapa beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal itu disebabkan karena di antara malam sepuluh hari terakhir Ramadhan ada malam yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Yaitu, malam lailatul qadr.
Hingga kini tidak ada satu ayat dan hadits pun yang memastikan kapan malam lailatul qadr itu terjadi. Meski ada pula yang menduga-duga malam lailatul qadr itu terjadi pada malam ke-23, 25, dan 27 Ramadhan.
BACA JUGA: Merawat Generasi
Rasulullah SAW hanya memastikan bahwa malam lailatul qadr terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Allah SWT dan Rasul-Nya bukan tidak punya alasan merahasiakan waktu persis malam lailatul qadr. Banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, sehingga kita tidak kecewa dengan misteri tersebut.
Salah satu hikmahnya adalah agar di sepuluh malam terakhir Ramadhan kita gunakan seluruhnya untuk fokus beribadah kepada Allah SWT dengan cara beri'tikaf. Dengan demikian, sepanjang sepuluh hari kita benar-benar siaga dan tidak menyisakan celah sedikitpun bagi lailatul qadr lolos dari gengaman ibadah kita.
Dari hadits yang bersumber dari Aisyah, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggalnya, hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Sungguh sulit dibayangkan manusia sekelas Rasulullah SAW bersemangat di sepuluh hari terakhir Ramadhan, bahkan itu terus berulang setiap tahun sampai beliau menghadap Allah SWT. Rasulullah SAW adalah manusia maksum atau sudah terbebas dari dosa.
Lantas bagaimana dengan kita yang belum ada jaminan apa-apa tentang syurga? Makhluk yang setiap saat masih akrab dengan kekhilafan. Tentu Rasulullah SAW ingin memberikan pelajaran kepada kita bahwa pendidikan rohani bagi seorang muslim harus terus dilakukan dan berkesinambungan.
Selama nafas masih berhembus maka sepanjang itu pula tugas-tugas ibadah harus terus dilakukan. Hanya tugas-tugas kesholehan yang akan membuat kita layak bersama Rasulullah SAW di surga-Nya kelak. Bukan dengan cara-cara lain.
Jika kita mau merenung dengan apa yang terjadi pada diri dan lingkungan kita saat ini. Tampaknya I'tikaf adalah solusi mutlak untuk kita lakukan. Bahkan suatu keharusan. Sebab, tidak sedikit dari kita yang arah hidupnya sudah dibelokkan oleh kepentingan duniawi.
Lupa bahwa tujuan manusia diciptakan ke dunia ini untuk beribadah dan tunduk di bawah kekuasaan Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariat ayat 56: "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku." Dunia dengan segala pernak-perniknya sudah berhasil membutakan orientasi hakiki dari tugas ketauhidan kita di muka bumi ini.
Dengan demikian, kita harus menyegarkan dan merevitalisasi tujuan dan orientasi hidup ini dengan cara beri'tikaf di sepuluh hari bulan Ramadhan.
Di setiap sholat kita selalu mengikrarkan diri bahwa seluruh hidup dan mati kita hanya untuk Allah SWT. Pertanyaannya, sudah sejauh mana ikrar dan janji itu kita refleksikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita? Sejauh mana tindakan kita lebih mengutakan kepentingan Allah SWT dari kepentingan personal dan keluarga? Jika jawabannya masih menempatkan Allah SWT di posisi nomor dua, berarti masih ada yang salah dari diri kita.
Harus segera dibenahi yang salah satu caranya dengan beriktikaf. Mudah-mudahan Allah SWT Ramadhan tahun ini lebih khusus lagi sepuluh hari terisis mampu membentuk kita menjadi insan pilihan.
Sehingga Allah SWT mengelompokkan kita bersama para penghuni surga di yaumul akhir nanti. Aamin. (*)
Oleh:
Adhyaksa Dault
Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merajut Persaudaraan
Redaktur : Tim Redaksi