jpnn.com - Jafro Megawanto memang bermimpi menjadi juara ketika memutuskan bersedia berlatih paralayang tujuh tahun lalu.
Tapi, arek Batu itu tak pernah menyangka berada di titik ini: menyumbangkan medali emas Asian Games, dikenal banyak orang, dan kebanjiran bonus.
BACA JUGA: Hanifan Yudani Kusumah Tidak Memaksa Tunangannya
Maklum, Jafro bukan berasal dari keluarga berada yang bisa leluasa bermain paralayang. Jafro hanya datang dari keluarga biasa dan awal mengenal paralayang lantaran cuma ingin mendapat tambahan uang saku.
Songgoriti, Batu, daerah tempat tinggal laki-laki 22 tahun itu merupakan area pendaratan para pilot paralayang yang terbang dari Gunung Banyak.
BACA JUGA: Wewey Wita Kebanjiran Tawaran jadi Bintang Iklan
Setiap hari dia melihat itu dan bermain di titik pendaratan tersebut. Jafro lantas membantu melipat parasut yang baru selesai digunakan. Tujuannya, hanya mendapat tambahan uang saku. Tidak lebih. Sebab, paralayang memang bukan olahraga murah. Ini olahraga mahal.
Untuk satu kali menikmati sensasi terbang di udara, kocek yang dirogoh memang lumayan. Yakni, sekitar setengah juta rupiah. Bila ingin menekuni paralayang, biayanya berlipat-lipat lagi. Untuk membeli satu parasut saja, kita harus mengeluarkan uang tak kurang dari Rp 80 juta.
BACA JUGA: Ayahnya Tukang Tambal Ban, Bonus tak Hanya Rp 1,5 Miliar
Tapi, ketekunan melipat parasut membuka jalan Jafro untuk ikut menjadi pilot. Saat berusia 15 tahun, Jafro direkrut sebuah klub bernama Ayo Kita Kemon. Dia berlatih dengan parasut pinjaman klub.
”Saya termotivasi dengan senior yang lebih dulu ikut paralayang. Saya punya keinginan untuk jadi seperti itu,” ujarnya. Tapi, sekali lagi, dia tidak pernah menyangka berada di titik seperti saat ini.
Di Asian Games 2018, pencapaiannya memang luar biasa. Dia menyumbang dua emas. Jafro meraih medali emas nomor ketepatan mendarat individual putra. Bersama Roni Pratama, Joni Efendi, Aris Afriansyah, dan Hening Paradigma, dia merebut emas nomor ketepatan mendarat beregu putra.
Atas pencapaiannya itu, Jafro pun kini dikenal banyak orang. Bonus juga tidak henti-hentinya mengalir kepadanya. ”Saya nggak pernah mikir bonus, tapi prestasi. Sejak dulu berangan-angan untuk jadi juara di kelas tertinggi,” ujar Jafro.
Seperti Jafro, Roni pun tak menyangka berada di titik ini. Sebab, dia dulu hanyalah para boy, sebutan tukang lipat parasut. Kebetulan, rumah keduanya berdekatan.
Meski tak menyangka, pilot kelahiran 11 Januari 1966 itu merasa bangga paralayang bisa memberikan prestasi untuk Indonesia. ”Paralayang ini olahraga yang asyik,” ucapnya.
Jafro dan Roni juga berharap semakin banyak yang menekuni paralayang. Sebab, paralayang bukan sekadar hobi. Tapi, bisa menghasilkan prestasi. Seperti pencapaian para pelipat parasut yang telah membanggakan Indonesia di pentas Asia dan dunia tersebut. (feb/c7/fim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jika Aji Bangkit Bisa, Pemuda Lainnya juga Mampu Berprestasi
Redaktur & Reporter : Soetomo