Jangan Ada Lagi Korban Berguguran di Pemilu

Sabtu, 27 April 2019 – 15:18 WIB
Pemungutan suara Pemilu 2019 di sebuah TPS di Cengkareng, Jakarta Barat. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pemilu 2019 menyisakan kepedihan. Ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia saat menjalankan tugasnya.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengaku tidak pernah menduga peristiwa seperti ini akan terjadi.

BACA JUGA: Ketua KPU: Terlalu Dini Anggap Pemilu 2019 Penuh Kecurangan

“Meninggalnya ratusan petugas KPPS merupakan beban yang tidak terpikir jauh sebelum pelaksanaan di lapangan,” kata Komisioner Bawaslu Afifudin dalam diskusi bertajuk Silent Killer Pemilu Serentak di Jakarta, Sabtu (27/4).

BACA JUGA: Wacana Pembentukan Pansus Kecurangan Pemilu dan TPF Terlalu Berlebihan

BACA JUGA: Tak Tega pada Petugas KPPS, Bu Risma Minta Pemilu dengan Sistem Elektronik

Afifudin menjelaskan, kompleksitas persoalan maupun beban tugas dan psikologis yang berat bisa menjadi penyebab banyaknya petugas KPPS mengalami kelelahan psikis dan fisik.

“Ke depan, jangan sampai ada korban lagi seperti pemilu sekarang ini,” katanya.

BACA JUGA: TKN Jokowi - Maruf Bakal Adukan Bukti Kecurangan BPN ke Sentra Gakkumdu

Dalam kesempatan itu, Afifudin menyesalkan kurangnya tenaga medis dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.

Menurutnya, hal ini menjadi salah satu faktor banyaknya petugas kelelahan hingga ada yang wafat.

"Tenaga medis tidak menjadi hal yang secara teknis disiapkan khusus. Yang menjadi perhatian kita biasanya memang soal keamanan dan itu memang diatur. Kalau kesehatan, setahu saya memang tidak secara spesifik diberikan,” katanya.

Ketua KPU Arief Budiman mengakui banyak tuduhan yang dialamatkan kepada lembaganya ihwal wafatnya sejumlah petugas KPPS.

Menurut Arief, ada protes dan caci maki menganggap KPU tidak manusia karena menyuruh orang bekerja nonstop tanpa beristirahat.

Arief menjelaskan bahwa pihaknya hanya menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam UU itu, ujar Arief, disebutkan bahwa penghitungan harus selesai di hari yang sama dengan pencoblosan.

Belakangan Mahkamah Konstitusi memberikan tambahan waktu 12 jam untuk menyelesaikan penghitungan suara.

“Supaya tidak ada perdebatan hukum, maka ditambah 12 jam. Artinya, sampai pukul 12 siang di hari berikutnya boleh diselesaikan,” katanya.

Karena itu, ujar Arief, KPU memerintahkan petugas di lapangan untuk mengatur ritmenya.

Misalnya, pukul 6.00 persiapan tempat pemungutan suara (TPS), pukul 7.00 dibuka, pukul 13.00 ditutup. Petugas pun dipersilakan beristirahat.

“Silakan atur ritmenya, tetapi situasi di lapangan kadang tidak memungkinkan melakukan hal seperti itu. Kadang-kadang semangatnya ya sudah segera selesaikan,” ujarnya.

Padahal, ujar Arief,  ahli kesehatan menyatakan bahwa seperti ini kerja yang tidak normal dan tak wajar.

Artinya, kata dia, melampaui  kapasitas dan kemampuan hingga menyebabkan tensi darah naik maupun kepala pusing.

“Padahal, ini berbahaya,” tegasnya.

Arief juga mengakui bahwa Pemilu 2019 merupakan desain pemilu yang cukup berat.

Pasalnya, tahapan-tahapannya sudah diatur secara ketat dan harus tepat waktu. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berita Duka, Ipda Artawan Meninggal Dunia Setelah Sakit Saat Mengamankan Pemilu


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler