jpnn.com - SLAMET Rijadi bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sedang berkecamuk.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Bung Karno dan Pance Pondaag
"Kira-kira permulaan 1949," ungkap Siswoyo (1925-2013), salah seorang petinggi CC PKI sebagaimana ditulis Joko Waskito dalam buku Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri (Ultimus 2015).
Ketika menyatakan bergabung dengan PKI, Slamet Rijadi berada di Kecamatan Kemusuk, di markas medan perang PP4B (istilah militer) yang berbatasan dengan kecamatan Jatinom, Boyolali, Jawa Tengah.
BACA JUGA: AMBOI...Ketika Bung Karno Menggoyang Haryati
Dan Bung Suhadi alias Pak Karto, pimpinan SC PKI Surakarta, "kami tugaskan untuk meresmikan penggabungan Slamet Rijadi itu di suatu tempat di Desa Kayumas, Kecamatan Jatinom, di sekitar lereng Gunung Merapi," ungkap Siswoyo.
Periode itu, partai ini masih bersifat tertutup. CC PKI dipimpin Tan Ling Djie, menyusul gugurnya Musso dan Maruto Darusman dalam Peristiwa Madiun.
BACA JUGA: Kisah Orang Indonesia Pertama yang Jadi Juragan Freeport
Pimpinan pusatnya berkedudukan di Yogyakarta.
Digerebek Pasukan Siliwangi
Suatu hari, sebagaimana dikisahkan Julius Pour dalam buku Ignatius Slamet Rijadi (Gramedia Pustaka Utama 2008), markas Batalyon Slamet Rijadi di Boyolali pernah dikepung satu kompi pasukan Siliwangi yang merasa punya hak membersihkan komunis paska Peristiwa Madiun 1948.
"Slamet Rijadi langsung keluar ruangan untuk menyongsong pasukan Siliwangi, kemudian menghadang di depan pintu sambil membawa senapan mesin," tulis Pour.
Dia bilang tak ada komunis di sana. Karena pasukan itu memaksa ingin memeriksa dan melakukan penggeledahan, dengan datar, menurut cerita Pour, Slamet Rijadi berkata…
Kalau kalian masih tetap memaksa, demi kehormatan saya, karena ini markas saya…, silahkan. Tetapi, untuk itu kita memang terpaksa harus bertempur.
Suasana hening. Mencekam beberapa menit sebelum akhirnya komandan pasukan Siliwangi memerintahkan anak buahnya mundur.
Pelaut Tangguh
Ignatius Slamet Rijadi lahir di Solo, hari Selasa, 26 Juli 1927. Sebelum Jepang datang, dia mengampuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan MULO afd B.
Medio 1943, Slamet Rijadi masuk Koto Sening Yoseisho atau Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT).
"Slamet Rijadi, seorang siswa yang pandai," tulis Moerwanto dalam bukunya Jiwa Bahari (Pustaka Jaya 1985).
Moerwanto kawan seangkatan Slamet Rijadi semasa pendidikan di SPT.
Suatu hari, latihan mendayung sekoci diadakan saat cuacu buruk. Entah apa yang ada di kepala Sensei (pelatih), dia malah menyuruh para siswa terus mendayung ke tengah laut.
"Banyak siswa yang muntah-muntah karena mabuk," kenang Moerwanto.
Tetap saja disuruh mendayung. Yang lunglai diteriaki, "bageiro! Genki nai! (goblok! Tak bersemangat!)".
Sampai-sampai ada yang tergulung gelombang. Barulah saat siswa itu sama sekali tak berdaya, tanpa melepas sepatu lars dan topinya, Sensei terjun ke laut.
"Orang Jepang itu rupanya memang pelaut hebat," puji Moerwanto. Dia berhasil menolong.
Kelompok latihan mendayung terdiri dari 10 orang siswa. Tujuh di antaranya tumbang.
Hanya tiga yang berhasil. Slamet Rijadi, Moerwanto dan Waluyo Sugito yang kemudian hari jadi Laksamana, petinggi Angkatan Laut Indonesia.
Pejuang Indonesia
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Slamet Rijadi ke Solo, memimpin perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di kampung halaman.
Desember 1948, Solo direbut dan dikuasai Belanda dalam Agresi Militer ke-2.
Panglima Besar Jenderal Sudirman lalu mengeluarkan instruksi untuk membagi daerah-daerah RI per karesidenan, ke dalam wilayah perang dengan sebutan wehrkreise.
Letkol Slamet Rijadi ditunjuk mengepalai Karesidenan Surakarta, merangkap komandan brigade dan komandan Front PP4B yang bermarkas di Kemusuk, Boyolali.
Dalam tempo waktu inilah, Slamet Rijadi bergabung dengan PKI.
Sub-wehrkreise kota Solo dan sekitarnya dipimpin Mayor Achmadi dari Tentara Pelajar (TP), seorang Soekarnois yang kemudian hari menjabat Menteri Penerangan dalam Kabinet Bung Karno.
Di bawah komando Slamet Rijadi dan Achmadi, rakyat Solo berhasil merebut kembali Solo ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah melakoni pertempuran empat hari empat malam.
Untuk mengenang kecakapannya, nama Slamet Rijadi diabadikan menjadi jalan utama di Kota Solo.
Pejuang kemerdekaan Indonesia itu gugur 3 November 1950 di Kota Ambon di tangan pasukan Republik Maluku Selatan (RMS). Usianya 23 tahun. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekuel Asmara Pak Harto dan Ibu Tien
Redaktur : Tim Redaksi