Johannes Maria, Pastor yang Berjuang Menghidupi Museum Nias

Tak Rela Benda-Benda Pusaka Dijual ke Luar Pulau

Sabtu, 12 Juni 2010 – 08:24 WIB
Pastur Johannes Maria Harmmerle, OFMCap, bersama beberapa koleksi museum Nias yang dirintisnya sejak awal. Foto: Sugeng Sulaksono / Jawa Pos
PASTOR Johannes Maria Hammerle OFMCap diakui masyarakat Nias jauh lebih Nias dibanding warga NiasAgamawan asal Jerman itu bahkan termasuk budayawan paling berpengaruh di pulau tersebut

BACA JUGA: Eko Ramaditya Adikara, Tunanetra Kreator Musik Nintendo

Kini, banyak kalangan di Nias yang mulai resah seiring kerapnya pastor 69 tahun itu sakit

 
-----------------------------------------------------
SUGENG SULAKSONO, Gunungsitoli
-----------------------------------------------------

 
Pada 12 Mei 2010, para staf Museum Pusaka Nias panik

BACA JUGA: Desa Bonebone, Kampung Berhawa Dingin yang Bebas Asap Tembakau

Termasuk 24 mahasiswa IKIP Gunungsitoli yang sedang magang
Pastor Johannes tiba-tiba jatuh sakit dan membutuhkan perawatan secepatnya.

Rumah Sakit Gunungsitoli di Kepulauan Nias tidak memungkinkan menampung pastor sepuh itu

BACA JUGA: Barra Mahesa, Balita yang Sukses Jalani Implan Koklea di RSUD dr Soetomo

Selain tenaga medisnya kurang, fasilitas di rumah sakit tersebut relatif terbatas.

Karena itu, atas bantuan sebuah organisasi internasional yang masih bermarkas di Kepulauan Nias pascagempa dan tsunami 2004, Johannes akhirnya diterbangkan ke sebuah rumah sakit di Penang, Malaysia

"Saya dirawat 12 hari di sana," kata pastor kelahiran Housach Schwartwald (Blackforest), Jerman, 1941, tersebut saat ditemui di Museum Nias, Gunungsitoli, akhir pekan lalu.

Johannes tidak menjelaskan detail penyakit yang dideritaDia hanya mengaku baru saja menjalani operasi prostatDari kejadian itu, seluruh pengelola Museum Nias seluas 2 hektare yang dilengkapi taman bermain dan koleksi beberapa binatang khas Nias tersebut mulai khawatir

"Bukan saya yang khawatirMereka, staf museum, yang khawatirBagaimana ini kelanjutan museum kalau si Johannes sudah tidak ada," ungkap Johannes yang lumayan fasih berbahasa Indonesia.

Sebagai gambaran, dia bercerita bahwa mantan Wakil Presiden Adam Malik dulu pernah mendirikan museum keramik yang besar dan megah"Di mana (museum keramik) itu sekarang setelah Adam Malik meninggal" Jadi, mereka (staf Museum Nias) juga khawatir seperti itu," tuturnya.

Dari kekhawatiran para karyawan museum itulah, Johannes berpikir bahwa museum satu-satunya yang mendokumentasikan dan menampung benda-benda bersejarah kepulauan berpenduduk sekitar 900 ribu jiwa tersebut harus tetap ada"Karena itu, kami pun berharap ada ide agar museum dengan anggaran minus itu bisa terus berlangsung," katanya.

Tidak ada dana tetap untuk pengelolaan Museum Nias yang halaman belakangnya langsung bersentuhan dengan laut Indonesia tersebutKecuali, bantuan dari kakak ipar Johannes di Jerman yang setia mengirimkan dana pensiunnya sebesar 60 euro (sekitar Rp 670 ribu, Red) setiap bulan"Padahal, dia hidup sangat sederhanaTapi, dia tetap kirim uang untuk bantu museum ini," ucapnya.

Pemerintah daerah yang terdiri atas lima kabupaten di Kepulauan Nias tidak menganggarkan secara rutin untuk museum ituSejak didirikan pada 1990, tercatat hanya tiga kali dana segar mengucur dari pemerintah daerahItu pun setelah pengelola museum mengirimkan proposal ke pemdaJumlahnya Rp 25 juta, Rp 200 juta, dan Rp 75 juta.

Uang yang didapat dari pengunjung museum juga tidak bisa diharapkanPada akhir pekan, museum bisa mendapatkan pemasukan Rp 1,5 juta dari penjualan tiket seharga Rp 2.500 per orang"Itu sudah paling hebat ya," ujar Johannes lantas tersenyum.

Dia merasa, salah satu daya tarik museum terletak pada taman bermain yang dilengkapi koleksi binatang seperti buaya, burung laut, kera, dan musangTaman bermain itu mengundang orang untuk berkunjung ke museum tersebut"Mereka mungkin bilang, untuk apa lihat benda mati?" tuturnya.

Begitulah, kata Johannes, sangat sulit menciptakan kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat untuk mencintai serta mempelajari budaya sendiri"Dulu di sini ada forum masyarakat peduli museum supaya masyarakat Nias punya rasa memilikiIni museum punya warga, bukan museum milik pastor atau museum KatolikKami tidak pernah bilang ini punya Katolik."

Banyak warga yang enggan menitipkan benda bersejarahnya di Nias karena berpikir bahwa museum itu milik Johannes atau milik umat Katolik"Begitu pula yang saya rasakan ketika saya minta bantuan polisi lima tahun laluPolisi tidak bersedia menitipkan batu megalit yang disitanya ke museum iniKatanya harus ada izin dari jaksa agung di Jakarta," keluh Johannes.

Membangun museum bukanlah sesuatu yang direncanakan JohannesTerlebih, sebelum menginjakkan kaki di Tana Niha "sebutan masyarakat Nias yang berarti kampung halaman kita?, dia tidak pernah mengetahui Kepulauan Nias itu seperti apa.

Johannes tiba di Nias pada 1971 sebagai misionarisDia diutus gerejanya di Jerman untuk menggali ilmu di tanah seberang"Sebenarnya, kalau boleh memilih, saya pilih SumateraTapi, ini sudah panggilan buat saya," ujarnya.

Pada 1971, Nias masih sangat tertinggalBahkan, sampai saat ini pun belum mengalami kemajuan yang signifikanKarena itu, kata Johannes, dalam menjalankan tugasnya dari satu desa ke desa lain, dia membutuhkan perjalanan yang sangat lama dengan berjalan kaki.

Perjalanan awal Johannes adalah di daerah Teluk Dalam, ujung paling selatan pulau tersebutSembilan tahun lamanya dia mengabdikan diri di kawasan yang juga dekat dengan budaya lompat batu tersebut"Setiap malam saya menginap di rumah penduduk dan banyak bertanyaSeperti anak kecil, saya ingin tahu tentang ini dan itu," kenangnya.

Dari banyak pertanyaan tersebut, dia mendapat banyak jawaban, sehingga terkumpul pelajaran sejarah tentang masyarakat Nias, termasuk benda-benda peninggalannyaSatu per satu warga Nias yang memiliki benda peninggalan memperlihatkannya kepada Johannes

"Kebetulan, waktu saya studi teologi, dosen saya dulu adalah Paus Benediktus sekarangDia memberikan kuliah tentang Konsili Vatikan di Roma tentang keterbukaan terhadap suku dan budaya di dunia dan itu masuk ke kepala saya," tuturnya.

Dari berbagai benda yang ditunjukkan masyarakat, Johannes mulai mengumpulkan artefak-artefak ituTidak jarang dia harus membelinya.

Faktanya, kata Johannes, memang banyak benda bersejarah dan bernilai tinggi dari Nias yang dibawa ke luar pulau, terutama ke Medan.

Dia sering menemukan benda berharga milik warga dan dirinya diminta untuk membayarBeberapa minggu saja terlambat, benda itu pasti sudah terjual di seberang pulau"Misalnya, di Brussels (Belgia), ditawarkan batu megalit dari Nias seharga 450 ribu euroKarena itu, orang di sini lalu tergiur untuk menjual megalitnya," terang Johannes.

Melihat fenomena seperti itu, dia semakin khawatir bahwa semakin lama Nias kehabisan benda bersejarah yang sebenarnya sangat penting untuk dipelajari generasi penerusFenomena itu juga membuktikan bahwa banyak warga Nias yang tidak peduli pada kebudayaan sendiri.

Sempat suatu hari saat belum ada transportasi umum di Nias, Johannes mendapat kayu ukiran sepanjang 10 meter dengan lebar satu meter dan tebal hampir 50 cmUkiran itu menggambarkan interaksi masyarakat Nias pada masa lalu

Untuk membawa kayu tersebut dari pedalaman di Teluk Dalam menuju Gunungsitoli, dibutuhkan waktu sebulan dan diangkat 10 orang"Kayu dihanyutkan lewat sungai, sempat menyangkut sebelum sampai ke lautLalu, dinaikkan perahu," jelasnya.

Setelah beberapa benda terkumpul, Johannes meminta bantuan beberapa pihak, termasuk persekutuan gerejaAkhirnya diputuskan untuk mendirikan museum di Gunungsitoli

"Sempat diusulkan untuk didirikan di Teluk Dalam karena di sana banyak turisTapi, museum ini bukan untuk turis, namun untuk generasi muda NiasKarena itu, lalu diputuskan di Gunungsitoli karena masyarakatnya lebih banyak dan ada sekolah tinggi," paparnya.

Pembangunan museum ditangani arsitek asal Swiss, Prof Alain MViaro, tapi menggunakan tenaga kerja sepenuhnya masyarakat Nias"Kebanggaan juga buat masyarakat Nias karena waktu terjadi gempa, museum itu hanya sedikit retak di tengahKecuali artefak berjatuhan dari tempatnya," ungkap Johannes.

Di lokasi museum juga didirikan empat rumah adat dengan tipe yang berbedaTujuannya, masyarakat tidak merasa kolot jika merehab rumah adatSaat ini mulai terlihat bahwa masyarakat sedikit demi sedikit meninggalkan rumah adat yang khas terbuat dari kayu tanpa paku tersebut"Jadi, museum itu sangat berarti bagi masyarakat Nias dulu, sekarang, dan yang akan datang," tegasnya.

Sementara itu, mantan Wakil Bupati Nias Agus Mendrofa mengaku malu melihat kenyataan bahwa orang Jerman justru lebih peduli terhadap budaya Nias"Ini sungguh ironisKami saja yang sekarang berusia 50 tahun sudah banyak yang tidak peduliBagaimana nanti anak cucu kita?" ujarnya.

Dia menyatakan, muatan lokal dalam pendidikan bagi pelajar di Nias perlu ditambah agar kecintaan terhadap budaya daerah juga meningkat"Pakar kebudayaan Rumbi Mulia mengatakan, Nias itu satu-satunya budaya megalitik tertua di dunia," tuturnya.

Bukti bahwa masyarakat lokal mulai tidak mencintai peninggalannya, kata Agus, terlihat di Kecamatan Gomo, sebuah desa yang diyakini sebagai asal mula masyarakat NiasBanyak batu yang bernilai sejarah yang telantar.

"Sangat ironisJustru orang Jerman, bukan kami atau orang kami yang di seberangJustru orang Jerman yang tertarik dan terpanggil jiwanya untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah," tutur pemilik Miga Beach Hotel di Gunungsitoli itu.

Sama seperti kekhawatiran para karyawan museum, Agus tidak bisa membayangkan seandainya Johannes meninggalBelum terbayang kelanjutan museum itu"Kami harus terbebanTidak mungkin yang bangun rumah kami adalah orang lain, pasti kamiBegitu juga budaya kami, harus kami yang merawat," tegasnya.(*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ke Tokyo, Kali Pertama Hadiri Resepsi Pernikahan Gaya Jepang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler