Mungkin belakangan ini Anda sering mendengar soal jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia yang menurun.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) akhir Agustus lalu, jumlah penduduk yang masuk kelas menengah selama lima tahun terakhir menurun.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Paus Fransiskus Serukan Pesan Persaudaraan, Keadilan Sosial, dan Toleransi
Proporsi kelas menengah Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 47,85 juta penduduk lebih rendah dibandingkan pada tahun 2019, yakni sebanyak 57,33 juta penduduk.
Sementara itu, jumlah penduduk kategori menuju kelas menengah atau 'aspiring middle class' terus bertambah mencapai 137,5 juta jiwa pada tahun 2024 sementara di tahun 2019, jumlahnya 128,85 juta jiwa.
BACA JUGA: Bali Ingin Punya Kereta di Tahun 2027, Akankah Mengurangi Kemacetan?
Media Wahyudi, peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan data BPS ini sebenarnya bukan berita baru.
"Jadi ketika dihitung ternyata ini enggak surprise ya sebetulnya ... ternyata masyarakat kelas menengah itu tidak naik kelas atau justru malah tergeser ke bawah," ujarnya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Israel Mengatakan Militernya Akan Terus Mengontrol Gaza
Ia mengatakan kebanyakan warga di kelas menengah berada di batas bawah, sehingga ketika terjadi guncangan ekonomi, maka yang turun kelas ke kelopok miskin adalah yang berada di batas bawah tersebut.Apa itu kelas menengah?
Sebelum kita membahasnya lebih jauh, mari telisik dulu apa arti dari kelompok masyarakat kelas menengah.
Definisi kelas menengah menurut laporan World Bank yang berjudul 'Aspiring Indonesia-Expanding Middle Class' adalah mereka yang punya pengeluaran sebesar Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan per kapita.
Sementara warga dengan pengeluaran Rp1,2 juta per bulan per kapita masuk dalam kategori kelompok menuju kelas menengah.
Mereka yang masuk kelas rentan adalah dengan pengeluaran Rp354 ribu hingga Rp532 ribu per kapita.
Namun Media mengatakan golongan masyarakat dalam kelompok menuju kelas menengah bisa jadi seketika turun kelas, karena minimnya bantuan atau subsidi.
Ia mencontohkan masyarakat yang memiliki gaji sebesar Rp2 juta, yang tidak dikategorikan miskin lagi, tapi tidak memiliki akses ke program perlindungan sosial atau mendapat subsidi, seperti bantuan pangan, pendidikan, dan sejenisnya.
"Secara agregat relatif tidak ada insentif signifikan yang sifatnya direct [langsung] untuk mereka. Jadi itu yang kemudian membuat mereka tergopoh-gopoh."
Belum lagi jika membicarakan harga pengeluaran pokok seperti makanan dan minuman yang harganya "melambung tinggi beberapa bulan terakhir", tambahnya.Apa yang menyebabkan jumlah kelas menengah menurun?
BPS mengatakan menurunnya populasi kelas menengah di Indonesia dipengaruhi oleh pandemi COVID-19.
Media mengatakan pandemi memang menggenjot angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga pengangguran meningkat.
Tapi menurutnya ada juga kelas menengah baru yang memanfaatkan kesempatan dalam pandemi sehingga bisa mendapatkan penghasilan lebih.
"Artinya kita tidak bisa menyalahkan pandemi COVID juga, artinya struktur ekonomi kita yang memang rapuh," katanya.
Ia juga mengatakan tren ini sebenarnya sudah lama berlangsung.
"Ini juga sudah didiskusikan sebelum-sebelumnya, betapa ternyata masyarakat kelas menengah itu tidak naik kelas atau justru malah tergeser ke bawah."
Media mengatakan kenaikan biaya sehari-hari yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah menjadi alasan utamanya.
"Jadi, ibaratnya pengeluaran lebih besar daripada pendapatan sehingga 'mantab' atau makan tabungan," katanya.Apa pengeluaran terbesar kelas menengah?
Menurut laporan BPS, pengeluaran kelas menengah yang meningkat dalam lima tahun terakhir antara lain karena membayar pajak dan iuran, perumahan, pendidikan, dan makanan.
Pengeluaran masyarakat kelas menengah khususnya untuk pajak atau iuran pada 2024 naik 1,05 persen dibandingkan pada tahun 2019.
Menurut Media, masyarakat kelas menengah mengalami hal yang "mungkin tidak ter-capture oleh data BPS."
"Betapa kelas menengah, ditarikin pajaknya terus-menerus, mereka bayar pajak penghasilan, VAT (PPN) belum lagi pajak yang harus mereka keluarkan setiap melakukan transaksi di bidang pendidikan, kesehatan, tapi mereka yang juga menerima relatif kecil manfaat atau insentif yang diberikan oleh pemerintah," katanya.
"Sehingga ketika income [pendapatan] mereka enggak meningkat, pengeluaran meningkat, mereka yang paling duluan terkapar."
Pengukuran garis kemiskinan di Indonesia adalah berdasarkan pengeluaran, bukan penghasilan, berbeda dengan di negara maju, menurut Media.
"Terlepas dari berbagai kekurangan ya, karena pengeluaran itu juga tricky dan sebetulnya memiliki kelemahan yang sangat signifikan ketimbang menggunakan income," katanya.
BPS mengakui mereka masih menggunakan standar perhitungan kemiskinan ekstrem yang lama dari Bank Dunia, yaitu Rp29.500 per hari per kapita.
Padahal standar perhitungan ini sudah direvisi ke angka Rp49.700.
Cara perhitungan ini menghambat masyarakat kelas menengah bawah yang seharusnya masuk kategori miskin dan bisa mengakses skema bantuan sosial.Mengapa kelas menengah dianggap 'penopang ekonomi'?
Kelompok kelas menengah memiliki persentase konsumsi sebesar 82 persen dari total konsumsi seluruh masyarakat Indonesia, menurut Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti.
Jumlahnya yang tidak sedikit juga otomatis memengaruhi besaran kontribusi terhadap negara.
"Kelas menengah berkontribusi terhadap penerimaan perpajakan, mereka berkontribusi pembukaan lapangan kerja, dan mereka juga menentukan produktivitas perdagangan, ekspor, dan juga industri di Tanah Air," ujar Media dari CELIOS.
"Jadi ketika kelas menengah turun pendapatannya itu sebetulnya menggambarkan struktur ekonomi secara keseluruhan, menggambarkan industri manufaktur, menggambarkan industri jasa, progres pengembangan pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat."
Dengan beberapa kontribusi ini, kelas menengah menurutnya merupakan "penopang ekonomi paling besar" di Indonesia.
"Kalau kelas menengah rentan, maka implikasinya terhadap PDB itu juga sangat signifikan sekali karena kontribusinya adalah yang paling besar dibandingkan kelas bawah dan kelas atas," ujarnya.
"Jadi itu menjadi patokan apakah ekonomi itu bergeser naik atau justru stagnan."
Realita di Indonesia ini menurut Media berbeda dengan di negara maju, di mana penduduk dalam kategori kelas atas berkontribusi lebih besar terhadap PDRB mereka.
"Karena kelas atas ditarikin pajak lebih banyak, seperti di Australia, di Eropa, di US, mereka ditarikin pajak penghasilan lebih banyak sehingga kontribusi terhadap PDRB-nya lebih besar."Apa solusi bagi kelas menengah?
Media mengusulkan perbaikan sistem perlindungan sosial "yang tidak tepat sasaran", seperti salah satunya Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Banyak sekarang program perlindungan sosial itu yang salah sasaran. Subsidi BBM, misalkan itu banyak digunakan oleh kelas atas bahkan, bukan kelas menengah," katanya.
"Belum lagi subsidi listrik dan subsidi-subsidi lainnya yang tidak tepat sasaran ini harus diperbaiki."
Menurutnya masyarakat kelas menengah, terutama yang di kota, juga memerlukan "topangan" untuk mengurangi beban pengeluaran perumahan.
"Program perumahan harus diperbaiki, baik itu sistem pembiayaannya, termasuk juga subsidi rumah murah, apartemen murah, rumah susun murah, ini bisa jadi skema yang jauh lebih baik," ujarnya.
Ia juga menawarkan solusi dalam berbagai aspek, seperti kesehatan, pendidikan, hingga transportasi.
Menurut data dari Survei Ekonomi Nasional (Susenas), pengeluaran masyarakat kelas menengah untuk transportasi dari tahun 2019 ke 2024 meningkat sebanyak 7,5 persen.
"Transportasi untuk kelas menengah ini jadi pengeluaran paling besar," ujar Media.
"Sekarang kelas menengah naik ojek online pagi-pagi, lanjut KRL lagi, lanjut Transjakarta lagi ... dan ini pengeluaran yang mengerikan sekali kalau dijumlah dalam satu bulan."
Media mengimbau pemerintah memberikan perhatian penuh kepada kelas menengah.
"Kalau kelas menengah hancur, ekonomi kita akan kolaps," katanya.
"Karena akan banyak orang miskin di tahun depan. Kalau orang miskin makin banyak, pengangguran makin banyak, PHK makin banyak Implikasi akhirnya itu adalah stabilitas politik.
"Dan ketika stabilitas politik kacau di seluruh negara, ini akan jadi masalah besar ke depan."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Protes Massal di Israel Setelah Enam Sandera Tewas