Negara bagian Queensland menjadi tempat dengan jumlah perceraian tertinggi di Australia pada tahun 2021, setelah Biro Statistik Australia (ABS) untuk pertama kalinya menunjukkan data dampak selama pandemi terhadap keluarga.
Dalam data yang diterbitkan kemarin, secara nasional ada 56.244 perceraian yang dikabulkan pada tahun 2021, naik 13,6 persen dari tahun sebelumnya.
BACA JUGA: Tiga Generasi Warga Indonesia Menceritakan Kualitas Kehidupan di Australia
Ini berarti ada 6.500 sampai 7.000 kasus lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, namun ABS memperingatkan untuk berhati-hati membaca data karena pengadilan saat ini memang sedang dalam proses mengebut penyelesaian aplikasi yang tertunda selama pandemi.
Kenaikan tertinggi terjadi di New South Wales dengan 17.126 perceraian di tahun 2021, dibandingkan 14.023 di tahun 2020 dan 14.197 di tahun 2019.
Namun, tingkat perceraian yang dikabulkan tertinggi terjadi di Queensland.
Di sana tingkat perceraian yang dikabulkan adalah 2,6 per 1.000 penduduk. Tempat kedua sebesar 2,2 (sama dengan angka rata-rata nasional) adalah di Australia Barat, disusul 2,1 di NSW dan Australia Selatan.
BACA JUGA: PT JBio - Kemenkes Tanda Tangani Bantuan Hibah Sebanyak 200 000 Dosis Vaksin Zifivax
Tingkat perceraian di Queensland melambung dari 2,3 di tahun 2020, sekaligus ada di atas angka rata-rata nasional.Dua gelombang perceraian
Stacey Turner yang bekerja sebagai mediator keluarga yang mengalami masalah rumah tangga mengatakan, ia melihat dua kecenderungan unik selama COVID.
Yang pertama terjadi selama lockdown pertama COVID di tahun 2020, kemudian apa yang dilihatnya sebagai "gelombang kedua."
Semula, kliennya banyak yang ingin segera berpisah ketika pandemi masuk ke Australia dan Turner menyadari bahwa masalah yang dihadapinya cukup serius.
Usaha mediasi yang dilakukannya sebelum COVID biasanya berlangsung selama empat sampai enam minggu, tetapi Turner mengatakan selama COVID proses mediasi menjadi lebih cepat.
"Saya berusaha menjadi penengah secara virtual, terus menerus, dengan pertemuan, pagi dan malam," katanya.
"Mereka yang terlibat dalam masalah rumah tangga ini kerja samanya lebih baik dibandingkan pengalaman yang saya lihat sebelumnya."
Lalu apa yang digambarkan oleh Stacey Turner sebagai gelombang kedua perceraian, terjadi setelah lockdown berlalu.
"Mereka mengalami masalah kesehatan mental yang lebih besar, juga dampak ekonomi, termasuk masalah sewa rumah, dan perubahan situasi pekerjaan," katanya.
"Berbagai kombinasi ini membuat situasi sangat serius dalam hubungan pernikahan yang bermasalah."
Faktor lain yang memengaruhi peningkatan jumlah perceraian di Queensland menurut perkiraan Stacey Turner adalah migrasi antarnegara bagian di mana Queensland merupakan negara bagian tujuan populer bagi warga Australia.
"Kita pindah dari keluarga, dari kelompok pertemanan, dan itu sendiri memiliki dampak yang kadang diremehkan orang," katanya.
"Sering orang pindah dengan harapan dan perkiraan bahwa hubungan mereka membaik padahal hubungan mereka sudah rapuh dan harapan tersebut tidak terjadi."Tekanan waktu bagi perempuan di Queensland
Professor Janeen Baxter dari University of Queensland adalah seorang sosiolog dan direktur Life Course Centre yang mempelajari masalah kehidupan keluarga di Australia.
Sebagai bagian dari penelitianya, dia menganalisis data pemerintah mengenai Pendapatan Keluarga dan Dinamika Tenaga Kerja Australia yang mengumpulkan data dari 13 ribu keluarga setiap tahunnya.
Ketika melihat data mengapa tingkat perceraian di Queensland tinggi, Professor Baxter mengatakan perempuan Queensland melaporkan mereka menghadapi masalah dalam mengatur waktu dan tingkat stress yang lebih tinggi pada tahun 2021 dibandingkan negara bagian lain.
"Kita tidak bisa semata-mata menyebut COVID sebagai faktor utama, karena ada juga masanya terjadi banjir dan kebakaran hutan, namun yang jelas tekanan waktu dan stress bagi perempuan di Queensland pada tahun 2021 lebih tinggi dibandingkan di negara bagian lain.
Menurut data ABS tersebut, angka perceraian yang meningkat ini sekarang mendekati angka tertinggi yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012.
"Kalau kita lihat data perceraian dalam 120 tahun terakhir, di tahun 1930-an masa krisis ekonomi, Perang Dunia I dan II, kita melihat angka perceraian lebih tinggi ketika dunia sedang bergejolak dibandingkan masa ketika tidak ada perang atau krisis ekonomi," kata Professor Baxter.
"Jelas faktor sosial berpengaruh terhadap apa yang terjadi dalam rumah tangga dalam skala lebih kecil."
Baik Professor Baxter dan Stacey Turner mengatakan, data ABS telah memberikan gambaran jelas bagaimana pola hubungan rumah tangga yang ada di Australia.
Perceraian biasanya dikabulkan secara resmi oleh pengadilan setelah 12 bulan atau lebih perpisahan pasangan, sehingga data 2021 berasal dari delapan bulan pertama masa pandemi.
Oleh karena itu perceraian yang terjadi selama pandemi tidak akan terbaca dalam data pada tahun yang sama.
Semua negara bagian, kecuali Australian Capital Territory (Canberra), mencatat peningkatan angka perceraian yang dikaburkan dengan perbandingan tahun 2020.
Direktur Statistik Soal Kesehatan ABS, James Eynstone-Hinkins, mengatakan Pengadilan Urusan Keluarga Australia menyebut peningkatan jumlah perceraian antara lain disebabkan oleh perubahan administratif sehingga lebih banyak kasus yang bisa diselesaikan daripada sebelumnya.
"Kebanyakan perceraian di tahun 2021 berasal dari perpisahan sebelum terjadinya pandemi," katanya.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ukraina Jawab Isu Nuklir, Solomon Kembali Terima Bantuan dari Tiongkok