Korban termuda dari kabut asap yang melanda wilayah Indonesia dan sebagian Asia Tenggara dibawa ke bangsal anak di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ada 26 pasien di bangsal itu, mulai dari anak-anak asma berusia 10 tahun hingga bayi prematur 3 bulan.

Bahkan bayi-bayi di sana terhubung dengan tabung oksigen, ketika dokter mencoba untuk memberi mereka kesempatan berjuang melawan asap tebal yang telah menyelimuti kota ini selama dua bulan.

BACA JUGA: Australia Bangun Kapal Riset Antartika Berukuran 156 Meter

"Kami memiliki banyak pasien dengan keluhan pernapasan," kata spesialis anak, Dr Citra Raditha Zein.

Ia menerangkan, "Mereka mengalami pneumonia, juga diare. Itu adalah dua penyakit yang paling banyak diderita. Saya pikir itu karena asap. Asap mengirimkan bakteri, polutan dan kontaminan ke pasien."

BACA JUGA: Lewat Bantuan Lalat Buah, Pengobatan Baru Autisme Berpotensi Ditemukan


Dr Citra Raditha Zein merawat Aulia, bayi berusia 3 bulan, yang menderita pneumonia akibat asap.

Pemerintah Indonesia mengumumkan adanya 19 kematian akibat kabut asap, dan memperkirakan bahwa lebih dari setengah juta orang mengalami beberapa bentuk gangguan pernapasan akut akibat asap.

BACA JUGA: Ide Melapor Diri Saat Ke Luar Negeri Jadi Juara Hackathon Merdeka 2.0 di Sydney

Bagi Eka Evi Nurpilia, ibu muda dari bayi Aulia yang berusia 3 bulan, ini adalah waktu yang mengerikan. Bayinya telah menderita pneumonia karena kabut asap.

"Kami kemasukan banyak asap di rumah, melalui ventilasi," ujarnya, saat ia berdiri di samping tempat tidur Aulia di rumah sakit.

Bayi itu tampak sangat kecil di tempat tidur berukuran orang dewasa.

"Ia sudah seperti ini selama tiga hari," kata Eka.

Ia lantas menceritakan, "Pada awalnya, Aulia batuk kemudian ia demam selama tiga hari, lalu ia sulit untuk bernapas, saya langsung memboyong tubuhnya (29/10) pagi ini.”

"Tentu saja saya khawatir, saya punya dua anak, yang satunya sehat, yang ini lahir prematur, ini sebabnya saya khawatir," sambungnya.

Selama tiga hari terakhir, Palangkaraya telah diguyur hujan singkat dan asap telah mereda sedikit meski Pemerintah Indonesia masih mengklasifikasikan tingkat polusi ke dalam kategori ‘berbahaya’.

Sekolah di Palangkaraya-pun tetap tutup, dan penduduk setempat diperintahkan untuk memakai masker pernapasan, tetapi banyak yang tak mau repot memakainya.

"Mereka terbiasa dengan kondisi ini," kata Dr Citra.

Ia mengutarakan, "Mungkin itu karena kurangnya pendidikan - mereka berpikir bahwa tak ada masalah dengan tubuh mereka saat ini, tetapi sebagai dokter, kami tahu bahwa pada akhirnya itu akan menimbulkan efek di masa depan."

Kabut di Palangkaraya disebabkan oleh lahan gambut di sekeliling kota yang terbakar perlahan.

Kebanyakan dari mereka sengaja dibakar sebagai cara murah dan mudah untuk membuka lahan.

Ini adalah taktik umum yang menyebabkan masalah setiap musim kering, tapi jauh lebih buruk tahun ini karena kekeringan berkepanjangan.

Seharusnya, Kalimantan mulai diguyur hujan sejak sekitar sebulan yang lalu, tapi hujan sporadis pertama justru baru mulai pekan ini.

Dibutuhkan waktu berminggu-minggu agar hujan lebat turun ke tanah dan memadamkan kebakaran lahan gambut.

Ada sekitar 20.000 tentara yang membantu memadamkan kebakaran di Kalimantan dan Sumatera, tetapi ini adalah pertempuran satu pihak.

Kebakaran sulit untuk ditemukan karena kabut asap, dan mereka sering membakar lebih dari satu meter di bawah permukaan tanah.

Di pinggiran Palangkaraya, sebuah unit militer sedang mencoba untuk menemukan titik terparah dan menghentikan penyebaran api.

Para prajurit mengarahkan selang pemadam ke lahan gambut yang membara, tapi cepat kehabisan air. Sebuah tanker diperbantukan untuk menampung air.

"Kami memiliki peralatan yang kami butuhkan. Tapi kami kekurangan air dan tak bisa menggunakan peralatan tanpa air, jadi kami terlebih dahulu harus menggali kanal yang membawa air untuk kami," kata Letnan Dua Buhari Badarmain.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Boneka Beruang Buka Lapangan Kerja di Kota yang Pernah Dilanda Kekeringan

Berita Terkait