Kapal Harus Bayar Pajak Antidumping, Pengusaha Shipyard Protes

Kamis, 14 Februari 2019 – 03:59 WIB
Pekerja berjalan di galangan kapal di Tanjunguncang, Batuaji, Jumat (6/10). Foto: batampos/jpg

jpnn.com, BATAM - Pengusaha Shipyard, Provinsi Kepri, Hengky Suryawan protes terkait rencana penerapan bea masuk anti dumping terhadap impor produk Hot Rolled Plate (HRP) yang berlaku bagi tiga negara (Tiongkok, Singpura, dan Ukraina).

Menurut Hengky, kebijakan tersebut mengancam keberlangsungan perusahaan shipyard yang ada di Provinsi Kepri.

BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Mahal, Pelaku Pariwisata Gelar Pawai Keprihatinan

"Menteri Keuangan tidak pernah melakukan sosialisasi tentang PMK Nomor 50 Tahun 2016 tentang bea masuk tersebut. Namun langsung membuat kita terkejut, dengan nota dinas untuk penerapan PMK itu terhitung 25 Januari 2019 lalu," ujar Hengky Suryawan, kemarin di Tanjungpinang

Pemilik, PT. Bahtera Bestari Shipping (BBS) tersebut lantas mempertanyakan, kenapa kenapa kebijakan tersebut hanya berlaku bagi tiga negara. Sementara masuk dari negara-negara di luar itu, tidak dikenakan biaya. Menurut Hengky, kondisi ini, akan membuat investasi asing yang bergerak dibidang shipyard akan melirik negara-negara lain.

BACA JUGA: Batam Shipyard Offshore Association Mengadu ke Kemenko

"Selain mengancam perusahaan shipyard untuk gulung tikar, juga akan menimbulkan banyaknya angka pengangguran," tegas Hengky.

Disebutkan Hengky, berdasarkan PMK Nomor 50 Tahun 2016, besar bea masuk anti dumping dari Republik Rakyat Tiongkok adalah sebesar 10,47 persen. Kemudian dari Singapura adalah sejumlah 12,50 persen. Sedangkan dari Ukraina adalah 12,33 persen.

BACA JUGA: Mat Sahrah Diupah Rp 40 Juta Bawa 948 Gram Sabu-sabu ke Surabaya

"Di luar itu, setiap bahan baku yang masuk dari tiga negara tersebut juga dikenakan bea masuk tambahan sebesar 15 persen," jelas Hengky.

Masih kata Hengky, pihaknya sekarang ini tidak bisa mengirim kapal yang sudah jadi. Karena terganjal dengan rencana penerapan ini. Disebutkannya, untuk bea masuk bagi bahan baku pembuatan kapal ukuran 300 fit, pihaknya harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp2,5 miliar.

"Kebijakan yang lucu ini juga akan membuat orang tipu-tipu. Bisa saja pesan kapal di Malaysia, kemudian dibawa masuk ke Batam. Selanjutnya dikirim ke pemesan," cetus Hengky.

Pria yang merupakan Ketua Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Provinsi Kepri tersebut juga menegaskan, bahwa sektor pertumbuhan ekonomi Kepri saat ini sekitar 60 persen bergantung pada dunia shipyard. Apalagi di Batam ada 110 perusahaan Shipyard.

"Secara nasional, sektor Shipyard terbesar berada di Kepri, yakni sekitar 70 persen," papar Hengky.

Ditambahkannya, menyikapi persoalan ini, dia meminta Gubernur Kepri, Nurdin Basirun untuk mempertanyakan langsung kepada Menteri Keuangan. Sehingga kebijakan ini, bisa ditinjau kembali. Tentunya dengan dasar adanya masukan-masukan dari pihak pengusaha.

"Dalam membuat kebijakan, semua aspek harus dipikirkan. Jangan sampai, untuk kepentingan tertentu banyak pihak yang dikorbankan," tutup Hengky Suryawan.(leo)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polda Kepri Bongkar Bisnis Prostitusi Online di Batam


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler