jpnn.com, KUTAI TIMUR - Pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan (KEK-MBTK) di Kutai Timur, Kalimantan Timur, masih butuh waktu 1-2 tahun.
Pasalnya, saat ini kawasan tersebut masih terkendala pasokan air dan listrik.
BACA JUGA: Stok Ayam Jelang Idulfitri Mencapai 176.584 Ekor per Hari
Padahal kawasan itu sudah sudah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada April 2019 lalu.
BACA JUGA: Pemilu Bakal Kerek Industri Makanan dan Minuman
BACA JUGA: 14 Investor Siap Tanam Modal di Kepulauan Derawan
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) dan UMKM Kaltim Fuad Asaddin mengatakan, pihaknya sudah memfasilitasi sejak pembangunan hingga grand opening.
Namun, hingga sekarang masih ada kendala, seperti ketersediaan air dan listrik. Tahun ini PLN sudah akan memasang transmisi di sana.
BACA JUGA: Detik-Detik Pria Paruh Baya Cabuli Tetangga di Rumah
“Kami tidak bisa menyimpulkan secara konkret apa saja kendalanya,” jelasnya, Kamis (30/5).
Dia mengatakan, pembangunan suatu kawasan membutuhkan proses. Apalagi tentang kawasan ekonomi khusus, butuh proses yang panjang.
Mulai perizinan, masalah lahan, fasilitas pelengkap dan lainnya. Harus berjalan dengan baik terlebih dahulu.
Namun, saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang ingin masuk ke KEK MBTK.
“Mungkin, satu hingga dua tahun lagi baru bisa beroperasi seperti biasa sesuai peruntukannya,” ungkapnya.
Dia menilai Maloy berbeda dengan kawasan lain. Kawasan ekonomi lain biasanya sudah ada lalu tinggal diresmikan menjadi kawasan khusus.
Sementara itu, Maloy memulai dari awal untuk lahan, infrastruktur menuju ke sana, dan pelabuhannya.
“Namun, kami sudah melaksanakan sesuai kinerja masing-masing. Sekarang wewenang ada di pihak pengelola, kecuali terkait perizinan, kebijakan, dan lainnya itu baru kembali ke Disperindagkop,” pungkasnya.
Terpisah, Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Azmal Ridwan mengatakan, dibutuhkan percepatan untuk penggunaan KEK MBTK.
Pengusaha sebagai pengguna sudah lama menunggu kawasan itu untuk siap dipakai.
Sebab, ketika Maloy berjalan pelaku usaha akan senang karena banyak ongkos yang bisa dipangkas kalau punya pelabuhan sendiri.
“Pemangkasan ongkos logistik pasti ada jika seluruh pengusaha kelapa sawit pindah ke Maloy,” ujarnya.
Dia menjelaskan, pemerintah memang harus didesak agar bisa mempercepat pengoperasian karena pemakainya sudah siap.
Tidak hanya dari pengguna, tetapi secara bahan baku sudah sangat siap. Dinas Perkebunan Kaltim mencatat, rata-rata produksi crude palm oil (CPO) per tahun 2,5-3,5 per tahun.
Kaltim punya 81 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 4.500 ton tandan buah segar (TBS) per jam.
“Dari pengusaha tentu minta dipercepat karena sudah tujuh tahun kami menunggu,” pungkasnya. (*/ctr/ndu/k15)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengiriman Barang Naik 17 Persen
Redaktur : Tim Redaksi