Kapolda Kalteng Bikin Tokoh Adat Tersinggung

Sabtu, 27 Juli 2013 – 14:33 WIB

PALANGKA RAYA – Pernyataan Kapolda Kalteng Brigjen (Pol) Djoko Mukti Haryono yang menyatakan bahwa hukum positif jangan sampai dikalahkan oleh hukum adat mendapat sorotan dari tokoh adat di Kotim.
 
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Parenggean Suwandi SE, menilai pernyataan Kapolda tersebut telah menyinggung masyarakat adat di Kalteng, khususnya kalau dikaitkan dengan masalah sengketa lahan.

"Banyak pihak yang tidak mengerti mengenai peraturan agraria sebagaimana diatur oleh UU Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Padahal, Undang-Undang Agraria jelas memberikan ruang yang besar kepada hukum adat," ujar Suwandi seperti diberitakan Kalteng Pos (JPNN Grup), Sabtu (27/7).

BACA JUGA: Nunukan akan Terima 142 CPNS, Peluang Lulusan SMA Tertutup

Dijelaskan dia, Undang-Undang Agraria Pasal 5 menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Semua orang yang pernah kuliah ilmu hukum pasti tau bahwa jiwa dari hukum agraria adalah hukum adat.

“Jadi hukum agraria itu tunduk pada hukum adat. Peraturan apa pun di bidang agraria yang ada di republik ini, tunduk kepada hukum adat, itu amanat Undang-Undang Agraria. Jadi kalau ada pihak yang menyatakan hukum adat tidak berlaku dalam masalah agraria, itu jelas ngawur,” jelas Suwandi.

BACA JUGA: Puluhan Keracunan Jamur, Tiga Tewas

Memang kalau masalah pidana, tambah Suwandi, menjadi kewenangan polisi. Tetapi, kalau masalah perdata, maka bisa diselesaikan lewat peradilan, baik itu peradilan negara atau pun peradilan adat.

“Kalau penjarahan hasil kebun yang bersengketa, itu pidana, dan itu kewenangan polisi. Tetapi, kalau masalah perdata, bisa diselesaikan melalui peradilan adat. Kalau Damang telah memutuskan mengenai kasus sengketa tanah, maka keputusan itu sifatnya final,”  terang Suwandi.

BACA JUGA: Jatah BLSM Sisa 1.943 RTS

Sesuai putusan Komisi Yudisial terhadap UU Perkebunan Nomor 18/2004, terang Suwandi, maka warga yang tanahnya bersengketa dengan perusahaan dapat mengkapling/memportal lahan tersebut, tanpa harus dengan mengadakan ritual adat dan tindakan tersebut tidak bisa dipidana karena dijamin oleh undang-undang.

“Silakan warga Kalteng mengkapling lahan yang bersengketa dengan perusahaan, asal jangan anarkis dan melakukan pemanenan. Kalau warga sudah membuat portal, maka aparat jangan sampai melibatkan diri dalam kasus perdata tersebut dengan membongkar portal tersebut, karena aksi warga tersebut dilindungi oleh undang-undang. Kalau aparat sampai membongkar portal yang dibuat oleh warga, maka perbuatan tersebut  melawan hukum,”ungkap dia.

Ditambahkannya, aparat yang ngepam di perusahaan juga harus ditarik, sebab bertentangan dengan tupoksi polri sebagai pengayom masyarakat karena sering dipakai perusahaan untuk menekan warga.

Lebih jauh Suwandi menyesalkan, kebanyakan perusahaan perkebunan dan pertambangan di Kalteng kurang menghargai hukum adat dan cenderung melakukan pembodohan terhadap masyarakat adat.  Hanya dengan modal izin HGU, perusahaan mengklaim sebagai pemilik lahan.

Padahal, jelas dia, dalam undang-undang agraria dengan jelas disebutkan izin HGU hanya-lah administrasi perizinan dan tidak menghilangkan hak keperdataan warga atas tanah. Bahkan, ganti rugi tanah yang sudah dialokasikan oleh bank pemberi kredit rata-rata Rp 5 juta per hektare sesuai luasan HGU, sering tidak dibayar oleh pihak perusahaan kepada masyarakat.(tur/fuz/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Drainase Buruk, Jalan Pantura Terendam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler