SUASANA duka terlihat di rumah orang tua Lettu (Pnb) Pandu Setiawan di Dusun Patukan RT 4 RW 21, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Jogjakarta, kemarin sore (30/6). Itu terjadi setelah pesawat Hercules C-130 yang diawaki kopilot Lettu Pandu dipastikan jatuh di Medan siang sebelumnya.
---------------
Laporan Rizal Setya/Bahrul Marzuki
---------------
Tangis histeris terdengar dari ruang keluarga yang dipenuhi ibu-ibu tersebut. Bahkan, Sukilah, ibu mertua Pandu, langsung pingsan begitu berita di televisi menyebut nama menantunya itu sebagai salah seorang kru di pesawat nahas tersebut.
Sukinah bersama suaminya, Hartoyo, memang bergegas ke rumah Pandu setelah siaran televisi menayangkan berita jatuhnya pesawat yang diawaki menantunya itu.
BACA JUGA: Dikenal Sopan dan Tak Pernah Mau Merepotkan
”Tadi kami lihat di televisi dan setelah tahu Pandu ada di situ (pesawat Hercules C-130, Red), kami langsung ke sini. Kami hampir tidak percaya anak kami menjadi salah satu korbannya,” ujar Haryoto kepada Jawa Pos Radar Jogja.
Makin lama kerabat dan tetangga sekitar rumah duka terus berdatangan. Keluarga mengaku belum mendapatkan pernyataan resmi terkait nasib Pandu yang saat ini berdinas di Malang, Jawa Timur. ”Pandu itu mantu saya. Baru dua bulan dia menikahi anak saya, Dewi Wulandari,” ucap Hartoyo lagi, kali ini dengan nada sendu.
BACA JUGA: Polisi Ganteng Ini Lihai Menari Remo, juga Jago Ceramah
Pandu dan Dewi baru menikah pada 25 April 2015. Belum puas berbulan madu, pasangan pengantin itu harus dipisahkan karena tugas. Mulai 2 Mei, seminggu setelah menikah, Pandu harus kembali berdinas di kesatuannya, Lanud Abdulrachman Saleh, Malang. ”Terakhir pamit saya tanggal 2 Mei. Habis subuh, dia SMS mau berangkat ke Malang,” ujar Haryoto.
Karena tugas Pandu sebagai anggota TNI, Dewi harus rela sementara menjalani hubungan jarak jauh dengan sang suami. ”Saya masih enggak percaya Mas Pandu ada di pesawat itu,” ujar Dewi yang mengenal suaminya sejak kelas X di SMA Muhammadiyah 3 Jogja.
BACA JUGA: Mengikuti B.J. Habibie Menapaktilasi Sukses Masa Muda di Jerman
Perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai apoteker tersebut mengungkapkan kali terakhir mengontak suaminya Senin malam (29/6), sekitar pukul 20.00.
”Dia BBM saya, bunyinya Bunda, mas tidur dulu ya. Saya balas, tapi dia tidak membalas lagi. Waktu sahur yang biasanya dia telepon, juga tidak telepon. Saya sempat bertanya-tanya,” ujar Dewi terbata-bata.
Dewi bertemu kali terakhir dengan sang suami saat awal puasa lalu, tepatnya 20 Juni. Menurut rencana, minggu ini dia bersama keluarga pergi ke Malang untuk menemui sang belahan jiwa. Namun, suratan takdir berkata lain. Dia harus berpisah untuk selama-lamanya sebelum rencana itu terwujud.
”Sebagai penerbang, Mas Pandu pernah bilang bahwa jodoh, hidup, dan mati di tangan Allah. Jadi, saya diminta tidak perlu khawatir dan menyerahkan semuanya kepada Allah,” tutur Dewi sambil menyeka air mata.
Suasana duka juga terlihat di rumah keluarga Letda (Pnb) Dian Sukma Pasaribu, juga kopilot pesawat Hercules C-130. Rumah duka di kompleks Kalidoni Indah Permai C-10, Kelurahan/Kecamatan Kalidoni, Palembang, itu ramai dipadati kerabat dan tetangga. Di rumah dua tingkat itu ayah Dian, Kapten (CAJ) M. Arpani, sibuk menerima ucapan belasungkawa. Baik secara langsung maupun via telepon genggam.
”Kami kaget melihat nama anak saya disebut di televisi sebagai korban kecelakaan pesawat itu. Sempat tidak percaya, tapi itu memang benar nama anak saya,” ungkap Waka Ajenrem 044 Gapo Palembang tersebut.
Arpani menceritakan bahwa malam sebelum kecelakaan, anaknya sempat menelepon dirinya. ”Tadi malam (Senin malam) dia masih di Malang. Kami ngobrol melalui handphone. Katanya, dia ingin mengajak adiknya jalan-jalan naik pesawat. Tapi, rupanya pagi tadi dia sudah di Medan. Pesawatnya terjatuh saat hendak ke Bandara Halim Perdanakusuma,” terang Arpani kepada wartawan Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group).
Berbeda dengan Arpani yang tampak tegar, ibu dan dua adik Dian tak kuasa menahan tangis. Bahkan, Hj Yarnani, ibu Dian, terlihat amat terpukul. Dia tidak percaya putra sulungnya itu menjadi korban tewas dalam kecelakaan pesawat TNI-AU tersebut. ”Anak saya menjadi kopilot. Pilotnya Kapten Sandy Permana. Padahal, biasanya dia yang jadi pilot,” jelasnya.
Menurut rencana, kata Yarnani, lajang kelahiran Palembang, 29 September 1990, itu pulang saat Lebaran nanti. ”Rencananya, Dian membawa pacarnya ke rumah untuk dikenalkan dengan keluarga. Saya bilang, kalau perlu kenalin langsung kedua orang tuanya juga. Karena kami mau ketemu agar bisa cepat lamaran,” papar perempuan yang sehari-hari menjadi wakil kepala SMPN 34 Palembang tersebut.
Sang pacar bernama Putri Inka yang berdinas di Malang dan beralamat di Bandung. ”Pacarnya bekerja sebagai polwan. Dia belum pernah ke Palembang,” ujar Yarnani.
Duka mendalam juga terlihat di rumah Peltu Yahya Komari di Perumahan Pondok Wisata, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Para pelayat berdatangan silih berganti. Mereka berusaha menenangkan Yayuk, istri Yahya, yang shock begitu mendengar kabar jatuhnya pesawat yang ditumpangi suaminya.
’’Mohon doanya. Semoga diberi jalan yang terbaik,’’ ujar Yayuk yang terus menangis.
Yahya merupakan seorang di antara 12 awak pesawat Hercules yang berangkat dari Pangkalan TNI-AU Abdul Rachman Saleh sejak Senin (29/6). Sehari-hari dia bertugas sebagai load master II bagian juru mesin. Yahya menjadi anggota TNI-AU sejak 1985. Dia telah mengabdi selama hampir 30 tahun. Kini usianya 53 tahun, menjelang masa pensiun.
Saat Yahya mengikuti penerbangan rutin itu, pesawat dipiloti Kapten (Pnb) Sandy Permana. Sandy adalah alumnus Akademi Angkatan Udara 2005. Dia merupakan siswa terbaik di angkatannya. Hingga kecelakaan itu terjadi, jam terbang Sandy sebagai pilot sudah mencapai 2.000 jam.
Sandy adalah pria kelahiran Desa Sekar Biru, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat (Babar), Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Menurut Ekaripa Annas, kawan Sandy saat duduk di SMP I Jebus, Sandy dikenal cerdas dan selalu ranking pertama di sekolah.
’’Sandy orangnya tidak neko-neko dan sederhana karena didikan orang tuanya yang guru PNS,’’ ungkapnya.
Annas memang sudah lama tidak berkomunikasi dengan sahabat karibnya tersebut. ’’Saya terakhir kontak-kontakan dengan dia awal 2015. Saat itu, orang tuanya meninggal dan saya menyampaikan belasungkawa via SMS,’’ tutur pria 32 tahun tersebut.
Sandy adalah penerbang Skuadron Udara 32 Lanud Abdul Rachman Saleh. Dia lulus dari berbagai tahap sebagai kapten pilot setahun lalu. Yakni, kualifikasi bagi penerbang pesawat transportasi militer yang dinyatakan mampu melaksanakan tugas penerbangan secara profesional dengan berbagai kendala yang dihadapi.
Berkat keberhasilan lolos kualifikasi itu, Sandy mendapat penghargaan berupa herky number dan dilantik sebagai kapten pilot oleh Komandan Lanud Abdul Rachman Saleh Marsekal Pertama TNI Gutomo. (roz/his/laz/c9/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nesha Kannama Ichida dan Kevin Hendrawan, Perwakilan Indonesia untuk Ekspedisi ke Kutub Utara
Redaktur : Tim Redaksi