jpnn.com, JAKARTA - Kordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti menuturkan kasus Baiq Nuril terjadi karena selama ini belum ada undang-undang khusus terkait kekerasan seksual.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mesti diprioritaskan untuk bisa memberikan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual.
BACA JUGA: Istana Akan Telaah Permintaan Amnesti untuk Baiq Nuril
”Tidak bisa korban (pelecehan seksual, Red) diadukan dan dituntut sebagai tersangka. Jangankan cuma merekam yang ini bisa sebagai bukti ada pelecehan, bahkan melaporkan lebih jauh, korban tidak bisa dituntut.” ujar Ratna seperti diberitakan Jawa Pos. Dia menjelaskan mestinya korban berhak mengamankan alat bukti untuk menguatkan pengaduannya.
Dalam kasus Nuril, bukti yang dimiliki korban malah dipergunakan untuk balik menyerang dia. ”Ini implementasi UU ITE yang salah kaprah, bertentangan dengan hak-hak korban,” tambah Ratna.
BACA JUGA: Mintakan Amnesti untuk Baik Nuril, ICJR Sambangi Istana
Hal itu sekaligus membuktikan aparat penegak hukum yang belum paham betul hak-hak korban. Bahkan, tidak menganggap pelecehan sebagai kejahatan.
”Dan RUU PKS penting diperjuangkan agar tidak lagi terjadi kasus seperti ini,” kata Ratna. Sayangnya, pembahasan RUU PKS di Komisi VIII DPR, sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Februari 2017, sampai hari ini belum mengalami kemajuan berarti. Sehingga kembali dijadwalkan pada Prolegnas 2019.
BACA JUGA: ICJR Ungkap Rekayasa di Kasus Baiq Nuril
Sudah hampir dua tahun berjalan, Panitia Kerja (Panja) RUU PKS di Komisi VIII DPR masih berkutat menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). ”Itupun baru berlangsung baru lima kali, belum beranjak membahas RUU bersama pemerintah,” tutur Ratna. Dia menyebutkan 2019 adalah tahun terakhir periode DPR saat ini.
Sedangkan April 2019 sudah memasuki masa pemilu legislatif (pileg) untuk memilih anggota DPR baru. Bila RUU PKS tidak juga maju dalam pembahasan tahun ini, maka bisa dipastikan RUU PKS gagal disahkan.
”Artinya memulai kembali dari nol di DPR baru. Sebagaimana diketahui sistem pembahasan Prolegnas tidak mengenal keberlanjutan dari periode yang lalu,” jelas dia.
Artinya upaya yang dilakukan sejak 2015 dan diusulkan oleh masyarakat sipil hingga berhasil masuk Prolegnas menjadi sia-sia. Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu juga menyampaikan, peraturan yang melindungi korban pelecehan seksual sangat penting. ”Dalam draft RUU PKS sudah diatur klasifikasi dan penaganan yang dapat melindungi korban,” ujarnya.
Dia menyayangkan pihak DPR, terutama komisi VIII, yang masih saja anteng. Seolah-olah mereka menganggap kekerasan seksual bukan persoalan penting. ”RDP (rapat dengar pendapat, Red) terus. Yang diundang untuk bicara, ahlinya tidak kompeten. Selalu dibenturkan dengan keagamaan,” sesal Azriana.
Dia pun mendesak DPR menyelesaikan RUU tersebut. ”Jangan ketika ada kasus, ada orang-orang yang muncul dan memanfaatkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII Rahayu Saraswati belum berani berjanji RUU tersebut rampung sebelum periode saat ini selesai. ”Semoga. Tergantung para pimpinan juga nih,” ujarnya.
Sebenarnya RUU itu merupakan usulan DPR. Namun, kata Saras, sampai saat ini masih ada anggota Panja RUU PKS yang belum satu pemahaman. ”Sehingga merasa membutuhkan masukan lebih banyak lagi dari berbagai pihak. Sehingga RDPU masih dilakukan,” beber politisi Gerindra tersebut. (jun/lyn/syn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Alasan ICJR Minta Jokowi Beri Amnesti untuk Baiq Nuril
Redaktur & Reporter : Soetomo