Kasus Kabasarnas, Pimpinan KPK Johanis Tanak Disentil Koalisi Masyarakat Sipil

Minggu, 30 Juli 2023 – 23:13 WIB
Diskusi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan soal OTT KPK terhadap pejabat Basarnas di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (30/7/2023). Foto: dokumentasi Imparsial

jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau OTT KPK terhadap pejabat Basarnas dan pihak swasta terkait dugaan suap pengadaan barang.

Kasus itu berujung penetapan Kepala Basarnas Mardsya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto jadi tersangka penerima suap.

BACA JUGA: KPK Meralat Penetapan Tersangka Oknum TNI, Hendardi Bereaksi, Tegas

Kasus itu dibahas koalisi masyarakat sipil dalam diskusi bertajuk “Tuntaskan Korupsi Basarnas dan Reformasi Peradilan Militer" di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (30/7).

Diskusi itu dihadiri perwakilan Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP.

BACA JUGA: Chandra Menilai Langkah KPK Menetapkan Marsdya Henri Alfiandi Tersangka Sudah Benar

Koordinator ICW Agus Sunaryanto dalam forum itu menyampaikan pandangan bahwa proses hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas sudah klir, karena didahului dengan operasi yang disebut OTT, dengan mengamankan 11 orang, 5 orang di antaranya menjadi tersangka.

Dalam proses selanjutnya, kata Agus, juga sudah ada gelar perkara yang dilakukan bersama dengan Puspom TNI. "Artinya semua tahapan sudah selesai, fakta hukumnya juga sudah dijelaskan bahwa ada upaya untuk meminta fee kepada kelompok swasta," ucapnya.

BACA JUGA: Didik Minta KPK Usut Tuntas Kasus Korupsi di Basarnas

Selain itu, dia menyebut dalam wawancara dengan salah satu media juga sudah ada pengakuan oleh Kabasarnas, diakui salah tetapi itu diklaim untuk kepentingan operasional. "Artinya dari fakta hukum penerimaan itu sudah diakui," lanjut Agus.

Agus menyebut dalam tahapan selanjutnya, KPK memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 42 UU KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut.

Kewenangan KPK diperkuat oleh KUHAP Pasal 89 Ayat (1) di mana tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang secara bersama-sama di bawah lingkungan peradilan umum maupun Peradilan Militer diadili melalui proses peradilan umum.

"Prosesnya sudah klir, cuma masalahnya informasinya seolah-olah penegak hukum yang menangani di KPK dianggap salah dan itu dijustifikasi sayangnya oleh pimpinan KPK Johanis Tanak," ujar Agus.

Menurut dia, sebetulnya juga sudah jelas karena penyidik dan penyelidik di KPK itu bekerja berdasarkan perintah pimpinan, sehingga tidak mungkin penyidik menetapkan sendiri seseorang jadi tersangka. Begitu pula tidak ada OTT tanpa adanya perintah dari pimpinan.

"Jadi, menurut saya dewan pengawas itu seharusnya bisa inisiatif untuk segera melakukan pemeriksaan kepada Johanis Tanak, karena ini menjadi persoalan dan merusak informasi dan penegak hukum yang sedang dilakukan oleh KPK," tegasnya.

Dalam forum itu, M. Islah dari WALHI menyampaikan bahwa korupsi yang diduga dilakukan oleh Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebetulnya memiliki dampak yang sangat serius, karena Indonesia merupakan negara dengan potensi tingkat bencana alam yang sangat tinggi.

"Jika salah urus, apalagi terjadi korupsi tentu akan sangat merugikan rakyat di Indonesia yang terancam menjadi korban bencana alam," ucapnya.

Islah mengatakan yang paling dibutuhkan sebenarnya adalah profesionalitas dalam memimpin sebuah lembaga atau instansi.

Dia menyebut situasi hari ini justru membuat seolah-olah TNI itu sangat dibutuhkan dalam penanganan berbagai persoalan di Indonesia, bahkan di soal pangan tentara juga masuk, hampir di seluruh sektor tentara juga terlibat.

Menurut Islah, koalisi masyarakat sipil sudah berkali-kali mengingatkan bahwa jangan ada dwifungsi ABRI kembali, tetapi Panglima TNI justru mengatakan bahwa TNI bukan hanya sudah dwifungsi tetapi sudah 'Multifungsi'.

Oleh karena itu, katanya, kalau pejabat sipil yang terlibat dengan masalah hukum seperti korupsi itu diselidiki oleh KPK, maka seharusnya TNI aktif sekalipun yang menduduki jabatan tersebut diperlakukan sama juga diselidiki oleh lembaga antirasuah.

"Kalau tidak, maka nanti 'multifungsi' yang dilakukan oleh militer itu justru membuat profesionalisme dalam mengurus negara ini menjadi rusak," ujar Islah.

Masih dalam diskusi itu, peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie menyebut kasus yang menjerat kepala Basarnas membuat para pihak yang berwenang harus melakukan evaluasi terhadap jabatan-jabatan yang diisi oleh prajurit TNI aktif.

"Apakah itu pada instansi yang diperbolehkan oleh undang-undang TNI atau yang di luar dari yang diatur undang-undang TNI, misalnya, komisaris BUMN dan seterusnya," tutur Ikhsan.

Hal itu disampaikan Ikhsan, karena bangunan struktur hukum negeri ini masih belum bisa menjawab tantangan tersebut, yakni adanya undang-undang tentang Peradilan Militer.

"Ini akan menjadi persoalan laten dan seperti sebelum-sebelumnya bisa berujung pada praktik imunitas. Ketidaksamaan di depan hukum makin berlarut karena tidak adanya evaluasi terhadap undang-undang Peradilan Militer," ujar Ikhsan.(fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernyataan Mahfud MD soal Kasus Korupsi di Basarnas, Tegas!


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler