Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (1)

Bisnis GPS Ambil Alih Tugas Joki Pemandu Tol

Minggu, 12 April 2009 – 06:15 WIB

Setelah 30 tahun berlalu, Xiao Gang, desa tempat lahir reformasi pedesaan yang mengubah sejarah Tiongkok, termasuk belasan petani penggagasnya, masih menjadi inspirator pesatnya kemajuan petani dan modernisasi pertanian di TiongkokInilah catatan Chairman/CEO Jawa Pos DAHLAN ISKAN yang baru kembali dari sana

BACA JUGA: Pelaksanaan Pemilu oleh Warga Indonesia di Inggris




INILAH perjalanan menuju Xiao Gang, sebuah desa terpencil yang telah diakui sebagai pelopor kemakmuran petani di seluruh Tiongkok sekarang ini
Di desa inilah pernah terjadi 18 orang penduduknya, di tengah malam yang sunyi, di sebuah kamar yang tersembunyi, membubuhkan cap jempol untuk melawan sistem nasional yang berlaku saat itu dengan taruhan nyawa mereka

BACA JUGA: Warga Suku Terasing Baduy Menggunakan Hak Pilih

Berkat keberanian petani itulah, sistem kepemilikan sawah di seluruh Tiongkok akhirnya dirombak total


Meski nama mereka kini menjadi buah bibir di seluruh negeri, mereka masih tetap tinggal di desa itu

BACA JUGA: Kapten Gede Agus, Pilot Fokker Nahas yang Pulang Tinggal Nama

Kecuali empat orang yang sudah meninggal duniaSaya begitu ingin menemui mereka untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi malam itu

Maka, meski harus saya tempuh dengan perjalanan darat selama enam jam (dari Hangzhou), saya senang bisa sampai di sanaKunjungan ini merupakan keinginan lama yang selalu tertundaMula-mula karena tidak mudah menuju ke sanaApalagi ketika belum ada jalan tolJarak itu sama dengan dari Surabaya ke BandungSetelah ada jalan tol, ganti saya yang sakitMaka, ketika Senin lalu saya harus rapat di Hangzhou dan Shanghai, di antara hari kejepit itu saya manfaatkan untuk ke Xiao Gang.

Sebenarnya bisa saja dari Hangzhou saya naik pesawat dulu ke Nanjing (ibu kota Provinsi Jiangshu) atau ke Hefei (ibu kota Provinsi Anhui)Baru dari sini jalan darat ke desa itu selama dua jamNamun, kalau ditotal-total, sama sajaMenuju airport dan menunggu pesawatnya juga memakan waktuToh, saya sudah mulai terbiasa jalan darat jarak jauh di TiongkokSejak jaringan jalan tol telah meluas di sana, ke mana-mana rasanya sangat mudah.

Apalagi, di sepanjang perjalanan saya tetap bisa membicarakan banyak hal dengan teman-teman di sanaMulai soal rencana pembangunan tahap II PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) di Kaltim hingga soal bagaimana mempercepat penyelesaian PLTU di LampungYang terakhir itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sayaNamun, saya diminta ikut memperlancar urusan ruwet mereka dengan pihak di Tiongkok

Di sepanjang jalan tol, membaca berbagai dokumen (yang tercetak maupun di laptop) juga tidak ada masalahJalan yang relatif lurus dan rata membuat tubuh tidak bergoyang-goyangSambil membaca pun tidak membuat kepala pusingDemikian juga, meski kami belum pernah menempuh jalur tersebut, tidak perlu khawatir kesasarKini sudah ada GPS (global positioning system) di sana, sebagaimana yang sudah agak lama digunakan di AS atau Eropa

Bahkan, daya serap GPS di Tiongkok langsung melebihi apa yang terjadi di negara majuBegitu masuk pasar tiga tahun lalu, populasi pengguna GPS langsung meluasMembeli GPS di Tiongkok bukan hanya karena fungsinya, melainkan sudah seperti modeSudah seperti membeli handphone.

Memang, mobil-mobil baru sudah banyak yang sekalian dilengkapi layar GPSNamun, mereka yang telanjur punya mobil pun bisa membeli GPS sendiriTinggal memasang tumpuan di dashboard, lalu meletakkan layar GPS di situToh, barangnya tidak besarHanya layar tipis sebesar setengah buku tulisLayar itulah yang menerima peta dari satelit mengenai jalur perjalanan kita hari itu.

Agar sopir tidak perlu selalu melihat GPS, salah seorang di antara kami menjadi co-pilot: mencopot GPS itu dan memegangnya secara gantianSebenarnya juga tidak perlu dipegangDitaruh begitu saja juga tidak apa-apaToh, di samping menampilkan jalur-jalur jalan, alat ini juga bersuara: selalu memberi tahu kita apa saja yang segera kita lewatiMisalnya, 500 meter lagi akan ada jembatan (lengkap menyebut nama jembatan itu), 1 kilometer lagi akan ada jalan bercabang dan Anda harus belok ke kananSesekali suara itu seperti menegur kita: Anda telah melebihi kecepatan yang diperbolehkanSuara itu bisa dikeraskan (kalau mau) sampai seluruh penumpang bisa mendengar jelasTentu dalam bahasa Mandarin.

Sebelum berangkat, sopir kami memang sudah men-set-up alat itu: mau pergi ke manaDi situ ada tombol-tombol pilihan: provinsi apa, kota apa, jalan apa, dan mau ke bangunan nomor berapaSetelah itu, secara otomatis, jalan-jalan yang akan dilewati berwarna merahKita tinggal menuruti saja jalur merah ituMaka, biarpun di depan ada persimpangan yang banyak, atau interchange yang ruwet, tidak perlu takut salah arahAlat ini juga memberi tahu masih berapa kilometer jarak tempuh kita dan masih perlu berapa menit atau jam lagiPerkiraan waktu tersebut tentu disesuaikan dengan kecepatan saat itu

Tidak disangka bahwa pengembangan jalan tol di Tiongkok telah menimbulkan bisnis yang semula tidak masuk perencanaan: mode menggunakan GPS

Saya masih ingat ketika Tiongkok baru mulai memiliki jalan tol (Indonesia sebenarnya lebih dulu punya jalan tol di Jagorawi)Saya melihat waktu itu tiba-tiba saja ada wabah baru: bepergian ke kota lain dengan mobil sendiriTentu ada problem baru: banyak sekali mobil yang kesasarMaklum belum mengenal jalur-jalur di kota lain ituBanyaknya kasus salah jalan itu ternyata bukan saja membuat penjualan buku peta meledak, tapi juga mampu menciptakan lapangan kerja baru: profesi penunjuk jalanSaya selalu melihat di setiap mulut jalan tol berjajar orang-orang yang menawarkan jasa sebagai penunjuk jalanMereka memegang tulisan berbahasa Mandarin ''pemandu jalan''Seperti joki di Jakarta, tapi dengan tugas yang benar-benar fungsional.

Banyaknya penjual jasa di mulut-mulut jalan tol itu rupanya dilihat sebagai peluang baru oleh pihak lainTerutama oleh perusahaan komunikasi dan penerbit petaDua pihak itu berkolaborasi menciptakan GPSHarganya Rp 700.000 hingga Rp 5.000.000, bergantung mutunya.

Merasakan begitu jauhnya perjalanan ini, saya bayangkan betapa terpencilnya Desa Xiao Gang sebelum jaringan jalan tol dibuatJuga betapa sulitnya mencapai desa ituPasti jalannya sempit, padat, dan berbelok-belokBanyak sekali gunung, sungai, dan danauDengan jalan tol, semua itu diterabasGunung ditembus, sungai besar seperti Yang Tze (Chang Jiang), danau sebesar Dai Hu dilompatiTentu kami juga laparKarena itu, sekali waktu kami keluar jalan tol masuk ke kota Nanjing untuk makan siangKetika kami berbelok ke arah kota, tiba-tiba ada suara melengking: Anda salah jalanRupanya itu suara GPSKami memang lupa men-set-up kalau di tengah jalan harus mampir untuk makan.

Saya benar-benar membayangkan betapa terpencilnya desa ituSaya juga membayangkan bagaimana para petani di desa yang begitu terpelosok berani berinisiatif untuk melakukan perubahan yang kemudian diakui sangat menentukan arah negaraMereka bukan saja berani, tapi juga sangat bijaksana: tidak demo, tidak mengamuk, tidak ngambek, tapi juga tidak menyerahMereka melakukan sesuatu yang amat mendasar: da bao gan! (bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lettu Yudho Pramono, Kopilot Fokker Nahas yang Putra Pangdam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler