Kebijakan Kemasan Rokok Elektronik Polos Bakal Picu Maraknya Produk Ilegal

Senin, 07 Oktober 2024 – 00:25 WIB
Ilustrasi pengguna vape. Foto: Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah pasal dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik diyakini berdampak besar terhadap nasib industri rokok elektronik.

Pasalnya, produk turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan 17/2023 itu antara lain mengatur kebijakan penjualan kemasan rokok elektronik polos tanpa merek.

BACA JUGA: Kemendag Gerebek Produk Pelumas Kendaraan Bermotor Ilegal, Nominalnya Fantastis

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo) Rifqi Habibie Putra, kebijakan kemasan polos tanpa merek akan mendorong pertumbuhan produk rokok elektronik ilegal di pasaran.

Kondisi tersebut tentu akan menekan penjualan produk legal industri rokok elektronik sehingga merugikan pelaku usaha industri rokok elektronik yang umumnya masuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

BACA JUGA: Sidak di Farmers Market Palembang, BPOM Temukan Produk Ilegal Dijual

Rifqi menilai industri rokok elektrik dalam negeri tidak akan mampu bertahan jika kebijakan kemasan polos tanpa merek diimplementasikan pemerintah.

"Pada akhirnya produk ilegal yang diuntungkan karena tidak membayar cukai, apalagi mereka yang menjual produk ilegal secara online tidak peduli nasib industri dan tidak melakukan verifikasi terhadap pembeli apakah sudah berusia 21 tahun atau belum. Hal ini akhirnya menjadi permasalahan baru," ujar Rifqi dalam keterangannya, Minggu (6/10/).

BACA JUGA: Bersinergi dengan Kejagung, Bea Cukai Siap Berantas Produk Impor Ilegal

Rifqi lebih lanjut mengatakan produk ilegal masih menjamur dan belum tertangani dengan baik oleh pemerintah.

Dengan kondisi tersebut ditambah kebijakan kemasan polos tanpa merek, praktis makin memperbesar peluang migrasi pengguna rokok elektronik ke produk ilegal.

“Efek jangka panjangnya banyak toko-toko yang bisa tutup. Sebagai pelaku usaha yang taat aturan kami tidak mau jualan produk-produk ilegal non-cukai. Pendapatan negara ujung-ujungnya berkurang, karena user yang biasa beli liquid dengan pita cukai resmi, akhirnya beralih ke black market,” katanya.

Sementara itu hasil studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyimpulkan penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik akan berdampak negatif pada kinerja industri, penerimaan negara dan tenaga kerja.

Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad mengatakan jika nantinya penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik mencakup tiga hal sekaligus, maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp 308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB.

Tiga hal dimaksud yakni penerapan sekaligus aturan terkait kemasan polos tanpa merek, jarak larangan penjualan dan pembatasan Iklan.

Pertama, penerapan kemasan polos rokok yang menyebabkan downtrading sehingga memicu peralihan ke rokok ilegal lebih cepat. Kondisi ini bisa menurunkan permintaan produk rokok legal yang berpotensi kerugian sebesar Rp 182,2 triliun.

Kemudian, penerapan larangan berjualan rokok di sekitar fasilitas pendidikan akan berdampak kepada 33 persen pelaku ritel, sehingga potensi kerugian yang dihitung sebesar Rp 84 triliun.

Ketiga, pembatasan iklan rokok yang bisa menurunkan permintaan jasa periklanan. Kondisi ini berpotensi menyumbang kerugian sebesar Rp 41,8 triliun.

Selain itu, dari sisi penerimaan negara pemerintah berisiko kehilangan pendapatan pajak Rp 160,6 triliun atau sekitar 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional.

Perinciannya, pertama, Rp 95,6 triliun akibat penerapan kebijakan kemasan polos.

Kedua, Rp 43,5 triliun dari penerapan larangan berjualan di sekitar lingkungan pendidikan.

Ketiga, Rp 21,5 triliun dari pembatasan iklan rokok.

Dengan demikian menurut Tauhid, kondisi itu bisa mempengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 5 persen seperti yang sudah ditargetkan pemerintah.

"Berat kalau misalnya secara agregat ingin tumbuh di atas 5 persen. Karena sudah berkurang totalnya hampir Rp 308 triliun," katanya.

Tauhid kembali menyinggung soal kerugian pajak sebesar 7 persen yang disebutnya bukan angka kecil. Terlebih jika dibandingkan dengan rasio pajak (tax ratio) Indonesia sebesar 10-11 persen.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bea Cukai Gandeng Kemenkominfo untuk Tangkal HP Black Market


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler