Kecaman Kosong Saudi untuk Donald Trump

Minggu, 10 Desember 2017 – 18:18 WIB
Donald Trump dan Raja Salman. Foto: AFP

jpnn.com - ’’Yang kami inginkan dari para pemimpin Arab dan muslim adalah tindakan nyata dan bukan pernyataan kecaman saja.’’

Itu adalah sepenggal kalimat khotbah yang disampaikan Imam Masjid Al-Aqsa Syekh Yousef Abu Sneineh di hadapan 27 ribu jamaah salat Jumat (8/12) yang mayoritas merupakan warga Palestina sebagaimana dilansir Time.

BACA JUGA: Presiden PKS: Sikap Trump Bentuk Legalisasi Penjajahan

Kalimat tersebut seakan mewakili kekesalan Palestina atas dukungan setengah hati dari negara-negara Arab terhadap wilayah yang belum juga diakui secara resmi sebagai sebuah negara itu.

Khotbah tersebut dilontarkan sesaat sebelum melakukan aksi menentang pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel.

BACA JUGA: Gelar Aksi Bela Palestina, PKS: Trump Akan Terjungkal

Arab Saudi adalah contoh nyata dari khotbah Syekh Yousef. Di saat Palestina berjuang mati-matian untuk menjadi sebuah negara, Saudi lebih sibuk dengan urusan internal negaranya dan konflik perebutan kekuasaan dengan Iran.

Pangeran Mohammad bin Salman juga sangat jarang menyebut-nyebut soal pembicaraan damai Israel-Palestina. Dia bahkan pernah menyatakan bahwa urusan Palestina bukanlah prioritas dibanding perlawanan terhadap hegemoni Iran.

BACA JUGA: Bahtiar Nasir Optimistis Umat Islam Segera Kuasai Yerusalem

Karena itu, tak heran bulan lalu sempat muncul hastag Riyadh more important than Yerusalem atau Riyadh lebih penting dibandingkan Yerusalem di media sosial. Pernyataan tersebut didukung ribuan warga Saudi dari berbagai kalangan.

Shadi Hamid, pejabat senior di Brookings Institution, Washington, mengungkapkan, sebagian besar negara-negara Arab memang sepertinya tak keberatan dengan pernyataan Trump atas Yerusalem. Sebab, mereka kini memiliki kedekatan dengan Israel karena sama-sama memusuhi Iran.

’’Jika saja pejabat Saudi, termasuk putra mahkota, benar-benar khawatir dengan status Yerusalem, mereka bakal menggunakan status istimewanya sebagai sekutu AS dan melobi untuk menghentikan langkah (Trump) itu,’’ tegas Hamid sebagaimana dilansir kantor berita Reuters kemarin (9/12).

Trump tidak akan melanjutkan tindakannya jika saja Saudi mengambil sikap tegas tentang batasan mana yang boleh dan tidak terkait konflik Israel-Palestina.

Saat Trump memproklamasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dunia mengecam. Saudi juga mengeluarkan kecaman. Tapi, di belakang panggung, negara penjaga dua situs suci umat muslim itu malah mendukung proposal perdamaian AS yang menguntungkan Israel.

New York Times melaporkan, dalam pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Riyadh November lalu, Saudi malah menawarkan Abu Dis sebagai ibu kota Palestina. Abu Dis hanyalah kota kecil di pinggiran Yerusalem. Palestina juga ditawari kekuasaan parsial di Tepi Barat.

Keinginan Palestina menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara bukanlah perjuangan yang baru dilakukan, tapi Saudi sepertinya mengabaikan hal tersebut.

Mereka seakan rela wilayah yang di dalamnya terdapat Masjidilaqsa itu jatuh ke tangan Israel. Padahal, dunia mengakui pendudukan Israel di Yerusalem Timur tidak sah.

Beberapa pejabat Palestina juga mengungkapkan, selama beberapa pekan sebelum pernyataan Trump, Saudi malah mendesak Palestina untuk menerima tawaran perdamaian yang digagas AS.

Tawaran itu tentu saja sangat merugikan Palestina. Sejak Trump menjabat, hubungan AS-Saudi memang kian erat karena sama-sama memusuhi Iran.

Mohammad dan Abbas telah mendiskusikan tawaran Trump dan menantunya, Jared Kushner, tentang proposal perdamaian Israel-Palestina. AS rencananya mengungkap proposal itu pada pertengahan 2018.

Gedung Putih menyatakan bahwa Kushner tak pernah meminta Mohammad untuk membujuk Abbas. Tapi, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Saudi berpihak pada AS.

’’Bersabarlah, Anda akan mendengar kabar baik. Proses perdamaian ini akan terus berjalan,’’ ujar salah satu pejabat Palestina mengutip pernyataan Pangeran Mohammad pada Abbas.

Sumber kantor berita Reuters itu takut AS tidak akan memperbolehkan pengungsi Palestina yang terusir dalam perang Arab-Israel pada 1948 dan 1976 itu kembali pulang.

Palestina hanya diberi kekuasaan di area A dan B serta 10 persen area C di Tepi Barat. Permukiman Israel tetap berdiri di atas Tepi Barat dan Israel akan tetap berkuasa menjaga perbatasan kedua wilayah.

’’Tawaran itu ditolak Abu Mazen (Abbas),’’ ujar pejabat Palestina itu.

Setali tiga uang, negara-negara mayoritas muslim lainnya juga bersikap seperti Saudi. Dulu Syria, Mesir, dan Iraq menjadi tonggak kekuatan Arab, tapi kini tidak lagi. Sama dengan Saudi, mereka sibuk dengan urusan sendiri.

Mesir, misalnya. Tak ada lagi massa yang turun ke jalan dalam jumlah besar untuk memberikan dukungan kepada Palestina seperti yang terjadi pada 1990 dan 2000-an. Di bawah kepemimpinan Abdel Fattah al-Sisi yang represif, massa kian jarang melakukan protes.

Sisi juga terkenal sebagai salah satu sekutu Trump. Dalam KTT di Riyadh Mei lalu, Raja Salman, Sisi, dan Trump berfoto bersama yang menunjukkan kedekatan ketiga negara. September lalu Sisi juga bertemu PM Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka.

Mengharap dukungan dari Syria dan Baghdad tentu tidak mungkin. Dua negara itu masih harus tertatih-tatih menata diri karena perang yang berkepanjangan.

Negara-negara lain hanya menjadikan isu Yerusalem sebagai upaya penggalangan kekuatan untuk kepentingan pribadi maupun organisasi. Hizbullah di Lebanon salah satunya.

Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dalam pidatonya mengklaim bahwa jalan untuk menguasai Yerusalem melewati kota-kota di Syria, termasuk Aleppo.

Hizbullah selama ini memerangi Israel dan membantu Presiden Syria Bashar al Assad. Banyak kritik yang dilontarkan atas pernyataan tersebut.

Sebab, Hizbullah bisa saja mendukung Palestina secara langsung tanpa perlu ikut campur dalam urusan Syria. (sha/c17/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yenny: Unjuk Rasa dan Menemui Dubes AS Strategi Berlapis NU


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler