Kecewa di Rumah Soekarno, Terkesan di Kebon Rojo

Minggu, 21 September 2014 – 22:36 WIB
Foto: Juneka/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Prof Saya Shiraishi begitu cekatan mengeluarkan peta Surabaya dari tas ranselnya. Sebuah lingkaran kecil telah disematkan di titik Jalan Tunjungan dalam peta tersebut.

 

BACA JUGA: Geopark Merangin Menuju Warisan Dunia

Laporan Juneka Subaihul Mufid, Surabaya
=============================

 

BACA JUGA: Bangkit Begitu Bertemu Duda Beranak Tiga

Ya, itulah Hotel Majapahit, tempat guru besar emeritus dari The University of Tokyo tersebut menginap sekaligus memulai penelusuran ’’sejarah’’ Soekarno di Surabaya. Dia datang bersama muridnya, Hiroyuki Tsutsumi, yang sedang menyelesaikan studi untuk meraih gelar PhD.

’’HBS sekarang di sebelah mana?’’ tanya Shiraishi dalam bahasa Indonesia yang fasih kepada Ady Setyawan, pendiri komunitas Roode Brug Soerabaia, yang menjadi pemandu penelusuran itu, Senin (15/9).

BACA JUGA: Jaga Tradisi dan Tak Hilangkan Budaya Nenek Moyang

Hogere Burger School (HBS) merupakan sekolah setingkat SMA pada zaman pendudukan Belanda. Di sekolah itulah, sebagaimana ditulis Pramoedya dalam novelnya Bumi Manusia, Soekarno (proklamator) menimba ilmu pada 1915 hingga 1920. Sebelum Soekarno, Van Mook yang kelak menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda juga bersekolah di tempat itu.

Dua tokoh yang memiliki latar belakang berbeda tersebut membuat Shiraishi penasaran pada HBS. Menurut persepsi dia, HBS pasti punya keistimewaan sehingga bisa mencetak para pemimpin besar dan berpengaruh.

Shiraishi langsung tersenyum begitu Ady menunjukkan lokasi HBS di Jalan Kebon Rojo, Surabaya Utara. Hanya, sekolah Belanda itu kini sudah berganti wajah dan fungsi. Bukan lagi tempat menuntut ilmu, melainkan menjadi Kantor Pos Besar Surabaya.

’’Sekolah HBS dipindahkan ke SMA kompleks. Di sini tempatnya,’’ kata Ady sambil menunjuk Jalan Kusuma Bangsa di peta. ’’Oh ya? Kalau begitu, kami juga ingin ke sana,’’ ujar Shiraishi dengan wajah semringah. Dia lantas mencatat dua lokasi itu di bukunya.

Shiraishi bukan orang baru dalam penelitian tentang Indonesia. Profesor dari Cornell University, New York, tersebut pernah meneliti sistem keluarga dalam masyarakat di Indonesia yang hasilnya kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Young Heroes: The Indonesian Family in Politics. Penelitian untuk mendapatkan gelar PhD itu dipublikasikan Southeast Asia Program Publications pada Januari 1997.

Buku tersebut bisa dibaca dalam bahasa Indonesia setelah diterjemahkan tim Jakarta Jakarta dengan editor Seno Gumira Ajidarma dan Pax Benedanto. Judulnya dalam versi terjemahan menjadi Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Buku itu terbit pada 2001.

Bukan hanya saat penelitian untuk gelar doktor, Shiraishi sudah melakukan penilitian tentang Indonesia ketika membuat karya ilmiah untuk gelar sarjana (S-1) dan tesis untuk gelar MA-nya di International Christian University (ICU), Jepang. Untuk S-1, dia meneliti Islam di Indonesia. Untuk gelar master, dia meriset kehidupan masyarakat Aceh. Penelitian itu diberi judul Atjeh under The Japanese Military Occupation.

’’Jadi, lengkap. Dari sarjana hingga PhD, saya meneliti Indonesia. Saya kagum pada Indonesia,’’ tuturnya.

Apa yang membuat Shiraishi begitu tertarik pada Indonesia? Semua itu bermula dari buku yang ditulis James T. Siegel yang berjudul The Rope of God. Siegel merupakan profesor bidang antropologi dari Cornell University, New York.

’’Buku itu begitu bagus mengisahkan orang Aceh,’’ ungkap Shiraishi.

Tidak hanya memuji bukunya, Shiraishi juga berguru langsung kepada Siegel. Karena itulah, dia kemudian menempuh studi di ICU Jepang agar bisa lebih mudah melanjutkan ke Cornell University, New York.

Dream comes true. Impian itu pun menjadi kenyataan. Berkat ketekunan dan kerja keras, Shiraishi bisa bertemu dan menimba ilmu secara langsung kepada Siegel.

Impian selanjutnya, dia membuat penelitian yang lebih bagus daripada karya sang guru. ’’Saya yakin bisa mewujudkannya,’’ ujarnya mantap.

 

***

Shiraishi dan Hiroyuki Tsutsumi mengawali penelusuran ke Jalan Kombespol M. Duriyat. Di mulut jalan itu terdapat monumen perjuangan arek-arek Suroboyo saat perang 10 November 1945 pecah. Sebuah prasasti di bawah patung pejuang menghunus keris menginformasikan bahwa di monumen tersebut ada markas-markas pejuang kemerdekaan. Dulu jalan itu dikenal sebagai Jalan Kaliasin.

’’Jadi, di dalam gedung-gedung bertingkat di seberang jalan itu masing-masing ada prasastinya,’’ jelas Ady.

Dengan penuh semangat, dia juga menjelaskan sebuah tiang yang memiliki rumah-rumahan di atasnya. ’’Ini radio pagupon namanya. Dulu pada zaman penjajahan, warga yang tidak punya radio biasa mendegarkan sambil duduk di bawahnya,’’ imbuh lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.

Sambil mendengarkan penjelasan Ady, Shiraishi dan Tsutsumi sibuk mengabadikan tempat-tempat bersejarah tersebut.

Lokasi selanjutnya adalah rumah di Jalan Mawar yang hanya ditempuh 2 menit dari destinasi pertama. Rumah itu menjadi bangunan cagar budaya sesuai ketetapan Pemkot Surabaya pada 2008. Pada zaman kemerdekaan, rumah Pak Amin tersebut dijadikan studio pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RPBI) Bung Tomo. Dari tempat itu, Ktut Tantri, warga Amerika Serikat, menyampaikan pidatonya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal hingga ke luar negeri.

Dari Jalan Mawar, Shiraishi diajak melihat eks sekolah HBS, almamater Soekarno, di Kebon Rojo. Shiraishi terlihat begitu gembira begitu berada di bangunan utama gedung yang kini difungsikan sebagai kantor pos itu. Kondisi bangunan yang dibiarkan tetap kuno dan ’’apa adanya’’ memberikan kesan prestise sekolah Belanda tersebut pada zamannya.

Di tiang paling barat lobi gedung itu dipajang prasasti yang dilengkapi foto Soekarno. Prasasti tersebut menjelaskan bahwa Soekarno pernah bersekolah di situ pada 1915–1920. Penanda itu membuat Shiraishi begitu kagum. ’’Bagus, ya,’’ ujarnya singkat.

Saat menuju ruangan besar di belakang gedung utama, rombongan Shiraishi bertemu Manajer Pelayanan Jasa Keuangan Kantor Pos Surabaya Eko Prijono. Dengan senang Eko mengantar Shiraishi mengelilingi gedung itu. ’’Masih terlihat kuno-kuno,’’ katanya.

Eko menunjukkan daun jendela setinggi 3 meter yang masih kukuh. Dilihat dari luar, ruangan itu sekilas mirip ruang kelas. Tapi, kini ruangan tersebut berubah menjadi tempat men-scan struk pengiriman pos.

Shiraishi sempat menanyakan meja kerja dari jati itu. Menurut para pekerja di situ, meja tersebut merupakan peninggalan Belanda saat masih menjadi HBS. Spontan perempuan energik itu langsung memotretnya. ’’Saya kagum dengan bangunannya yang kuat,’’ tuturnya.

Lepas dari Kantor Pos Kebon Rojo, perjalanan berlanjut ke bangunan milik PT Pelni yang tak jauh dari situ. Bangunan tersebut dulu dipakai radio Jepang Domei untuk menyiarkan kabar tentang perjuangan rakyat Surabaya. Sebuah prasasti kusam dalam bahasa Indonesia dan Inggris menunjukkan hal itu. ’’Tapi, kita tak bisa masuk ke dalam gedung ini,’’ kata Ady.

Penelusuran berikutnya adalah menuju rumah kelahiran Soekarno di Jalan Pandean IV/40. Begitu memasuki gang rumah itu, Shiraishi sudah dibuat terkesima ketika melihat gambar mural di dinding kanan dan kiri gang. Sebab, gambar tersebut bercerita tentang sejarah perjuangan Soekarno dan arek-arek Suroboyo.

Tapi, dia agak kecewa ketika tiba di depan rumah yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Soekarno. Sebab, dia tidak boleh masuk ke rumah bersejarah itu. Rumah tersebut memang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Tapi, Pemerintah Kota Surabaya belum bisa mengelolanya.

’’Rumah ini masih rumah pribadi. Belum milik pemerintah sehingga wajar kalau pengunjung tidak boleh masuk,’’ jelas Ady.

Mendapat penjelasan seperti itu, Shiraishi bisa memahami. Dia lalu mengajak sejumlah warga untuk berfoto bersama di depan rumah sederhana tersebut. Shiraishi juga menyempatkan untuk melihat sekeliling rumah yang tertutup rapat tersebut. Sesaat kemudian, dia berpamitan.

’’Terima kasih, terima kasih,’’ ucapnya sambil membungkukkan badan. ’’Sama-sama, Bu,’’ jawab warga sembari menjabat tangan peneliti ramah tersebut.

Setelah itu, rombongan melanjutkan perjalanan ke rumah tokoh pergerakan H.O.S. Tjokroaminoto di Jalan Peneleh IV/29-31. Kali ini Shiraishi dan muridnya disambut hangat oleh juru kunci rumah kos-kosan Soekarno saat sekolah di HBS, Eko Hadiratno. Eko pun menjelaskan sejarah rumah itu, termasuk cerita seputar pernikahan Soekarno dengan Oetari, putri Tjokroaminoto.

Dia juga menunjukkan loteng yang biasa dipakai untuk diskusi oleh Soekarno dkk. ’’Tapi, saya tidak berani naik ke atas,’’ ujar Shiraishi. Dia memilih duduk di ruang tamu. Mungkin ingin merasakan aroma masa lalu yang pernah terjadi di rumah mungil tersebut. Pemandangan itu tak luput dari jepretan kamera Tsutsumi.

Dari rumah Tjokroaminoto, Shiraishi melanjutkan penelusuran sejarah Soekarno di Surabaya dengan mengunjungi SMA kompleks di Jalan Wijaya Kusuma. Di kompleks SMAN 1 dan 2 itulah sekolah HBS pindah dari Kebon Rojo.

Sungguh kebetulan Shiraishi bertemu Retno Mumpuni, guru SMAN 2 Surabaya yang fasih berbahasa Jepang. Retno memang pernah secara khusus belajar bahasa Jepang di negara asalnya. Perbincangan dalam bahasa Jepang pun berlangsung gayeng. Retno, tampaknya, menjelaskan sejarah SMAN kompleks terkait dengan HBS. Ketika diajak berkeliling, Shiraishi kembali sibuk mengabadikan beberapa lokasi penting di sekolah itu.

Kunjungan hari itu diakhiri dengan melihat monumen pelajar pejuang bersenjata yang gugur pada perang kemerdekaan September–November 1945 di depan SMA kompleks. Monumen setinggi 2 meter tersebut bertulisan 21 nama prajurit pemberani beserta kesatuan dan lokasi pertempuran masing-masing. Mulai Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), Jembatan Merah, kompleks HBS, hingga gedung SMPN 1 di Jalan Praban. Ady mengarahkan senter miliknya ke arah monumen itu agar Tsutsumi mudah untuk memotretnya.

Shiraishi dan Tsutsumi memang hanya punya waktu sehari untuk keliling Surabaya. Dia tiba di Surabaya pada Minggu malam (14/9) dan harus kembali ke Jakarta Selasa pagi (16/9).

Meski hanya sehari, Shiraishi mengaku bisa merasakan betapa Surabaya layak dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Bukan hanya untuk semangat pejuang pada masa lalu, tapi untuk semangat para pemuda saat ini. ”Energi seperti ini yang akan membuat Surabaya terus hidup. Terus menjadi heroes city,” ungkap Shiraishi.

Sementara itu, Tsutsumi mengatakan bahwa dirinya bisa membayangkan sosok Soekarno saat masih sekolah di HBS dari rumah kosnya di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. ”Semangat pemuda-pemuda di sini sebagai young Soekarno begitu terasa,” ujar Tsutsumi yang sedang membuat penelitian tentang perbandingan sekolah di Jepang dan Indonesia.

Semangat seperti itulah yang menurut Shiraishi harus didatangi secara langsung ke tempat aslinya. Bukan hanya dari buku-buku, tapi harus menapaki satu per satu mozaik sejarahnya.

”Semangat dari Surabaya ini nanti kami tuangkan dalam detail tulisan penelitian kami,” tandas Shiraishi. (*/c5/c10/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Praktis, Ridwan Tak Perlu Lagi Digendong Masuk Mobil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler