jpnn.com - Presiden Joko Widodo terlihat semringah dan sangat percaya diri ketika pekan lalu berbicara di depan para sukarelawan pendukung yang melaksanakan Musyawarah Rakyat di Bandung, Jawa Barat.
Sangat gampang diduga, nama Jokowi berada di posisi tertinggi sebagai calon presiden yang dikehendaki oleh peserta musyawarah.
BACA JUGA: Jokowi: Saya Taat Konstitusi dan Kehendak Rakyat
Jokowi terlihat baper, atau terbawa perasaan, saking senangnya.
Para pundit politik, para pakar semiotika, pakar micro-gesture berpendapat bahwa dari mimik wajah dan narasi yang dipilih Jokowi dalam pidato penutupan terlihat bahwa Jokowi ingin ‘’tanduk’’ 3 periode, alias menambah masa kepresidenannya menjadi 3 periode.
BACA JUGA: Rakernas KAPT Memastikan Menolak Wacana Jokowi Tiga Periode
Jokowi lupa bahwa dia pernah mengatakan siapa yang mengajukan wacana 3 periode berarti mencari muka—padahal saya sudah punya muka, kata Jokowi—menampar muka saya, dan ingin menjerumuskan saya.
Jokowi kemudian tegas berbicara di depan sidang kabinet supaya para menteri berhenti bicara mengenai wacana 3 periode.
BACA JUGA: Ribuan Mahasiswa di Kaltim Bergerak, Tolak Jokowi Tiga Periode
Ketika itu Jokowi mengatakan bahwa kondisi sosial dan ekonomi Indonesia sedang genting, dan karenanya pada menteri harus punya ‘’sense of crisis’’.
Ekonomi internasional sedang terguncang karena perang Rusia vs Ukraina.
Muncul 3 krisis, yaitu krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan.
Semuanya berpengaruh terhadap Indonesia, dan karena itu Indonesia juga terancam krisis.
Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian Jokowi lupa akan pidatonya itu.
Para menteri seperti Luhut Panjaitan yang punya 110 juta big data yang mendukung 3 periode sudah tidak pernah bicara lagi.
Bahlil Lahadalia yang mengeklaim para pengusaha minta Jokowi tanduk 3 periode, sudah tidak pernah bicara lagi.
Akan tetapi, kali ini wacana 3 periode dilempar oleh Budi Arie Setiadi, ketua sukarelawan Jokowi yang juga Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Rupaya larangan bicara 3 periode hanya berlaku kepada para menteri, dan tidak berlaku bagi wakil menteri.
Jokowi dengan penuh percaya diri berkata di panggung--sambil berkali-kali menunjuk dadanya--‘’Saya akan taat kepada konstitusi dan kehendak rakyat’’.
Jokowi mengulanginya 2 kali untuk memberi penegasan sikapnya.
Kalimat itu bersayap. Para pundit politik mengatakan bahwa Jokowi sengaja memakai kalimat bersayap supaya bisa terbang mengukuti angan-angannya mendapatkan perpanjangan 3 periode.
Hasil voting yang menempatkannya pada posisi teratas dianggapnya sebagai indikator bahwa rakyat menghendakinya tanduk 3 periode.
Di mana pun di seluruh penjuru dunia, presiden petahana pasti unggul dalam setiap survei, kecuali presiden yang kinerjanya hancur-hancuran.
Pada akhir periode kepemimpinan SBY pun, namanya pasti ada di tempat teratas pada setiap polling.
Jadi, kalau Jokowi menganggap hasil voting musra sebagai indikator kehendak rakyat, bisa jadi Jokowi mengalami political myopia, alias rabun politik.
Jokowi menegaskan akan taat konstitusi.
Pertanyaannya, konstitusi yang mana?
Kalau kemudian wacana 3 periode menggelinding, dan fraksi-fraksi di DPR melakukan amendemen terhadap konstitusi dan membolehkannya menjabat 3 periode, maka Jokowi akan taat.
Wacana 3 periode bukan sekadar soal amendemen terhadap konstitusi.
Lebih penting lagi, pembatasan jabatan kepresidenan 2 periode adalah amanat reformasi, anak kandung perjuangan reformasi 1998.
Pada tahun-tahun itu, Jokowi bukan siapa-siapa, dia masih asyik berdagang furniture di Solo.
Para mahasiswa dan aktivis demokrasi mempertaruhkan darah dan nyawa untuk menggulingkan rezim despotis Soeharto.
Sampai sekarang korban penculikan--yang diduga dilakukan oleh Tim Mawar yang punya hubungan dengan Prabowo Subianto--masih dinyatakan sebagai orang hilang dan tidak diketahui nasib maupun kuburannya.
Sekarang Prabowo sudah bersih tangan dan nyaman berada di kabinet Jokowi.
Prabowo bahkan sekarang sangat percaya diri maju ke Pilpres 2024 karena merasa mendapat angin surga dukungan Jokowi.
Dua presiden Indonesia sebelum reformasi tidak dibatasi masa jabatannya, dan dua-duanya mengakhiri karier politik dengan tragis.
Bung Karno, tidak pelak ialah pahlawan kemerdekaan yang berjasa besar kepada Republik Indonesia.
Akan tetapi, dia terbuai dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup.
Bung Karno terbuai oleh kekuasaan, sampai akhirnya jatuh oleh kudeta senyap Soeharto.
Soeharto kemudian berkuasa tanpa pembatasan masa jabatan.
Dia berada di singgasana yang terlalu jauh dari rakyat karena dikelilingi oleh para penjilat.
Menteri-menterinya sendiri--orang-orang yang selama puluhan tahun menjadi abdi dalemnya--akhirnya lari meniggalkan Soeharto sendirian.
Soeharto menandatangani pakta pengunduran diri dalam kesendirian setelah 32 tahun menjadi raja.
Kejatuhan Soeharto dipicu dan diperburuk oleh krisis ekonomi internasional yang menyebabkan krisis moneter yang menghancurkan Indonesia.
Soeharto membangun legitimasinya selama 32 tahun atas dasar keberhasilan pembangunan ekonomi.
Begitu pembangunan ekonomi Indonesia runtuh, ambruk pulalah kekuasaan Soeharto.
Jokowi tentu belajar dari sejarah.
Akan tetapi, kita sering diingatkan bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah.
Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak pernah belajar darinya.
Bung Karno terlpeleset karena silau oleh ‘’kehendak rakyat’’.
Pak Harto jatuh juga karena silau oleh ‘’kehendak rakyat’’.
Jokowi sekarang memakai kehendak rakyat untuk menjadi kendaraan menuju 3 periode.
Kehendak rakyat atau ‘’general will’’ adalah mantra yang bisa menjadi senjata untuk berkuasa.
Filosof Prancis Jean Jaques Rosseau kali pertama memperkenalkan frasa kehendak rakyat pada abad ke-18 menjelang Revolusi Prancis.
Kehendak rakyat adalah kehendak rakyat mayoritas, yang sangat mungkin menutupi kehendak rakyat lain yang tidak setuju.
Kehendak rakyat menjadi sumber tirani mayoritas, karena suara minoritas tenggelam oleh gegap gempita mayoritas.
Muncullah fenomena ‘’spiral of silence’’ atau pilinan keheningan, suara rakyat yang tidak terdengar karena ketakutan oleh intimidasi suara yang lebih keras.
Fenomena spiral of silence ini sering menjadi fenomena gunung es yang tidak terlihat dari permukaan air.
Teori kehendak rakyat Rosseau melahirkan ‘’Social Contract’’ atau Kontrak Sosial yang melahirkan pemerintahan demokrasi.
Akan tetapi, demokrasi ala Rosseu adalah demokrasi radikal.
Demokrasi perwakilan yang lahir dari kontrak sosial justru merampas kebebasan rakyat.
Demokrasi perwakilan menjadi demokrasi semu, karena rakyat hanya berdaulat saat memilih dalam pemilu.
Setelah itu, kedaulatan dikendalikan oleh oligarki yang menguasai parlemen.
Sejarah menunjukkan bahwa Rosseau mengilhami lahirnya Revolusi Prancis yang menjadi tonggak demokrasi dunia.
Akan tetapi, sejarah juga mencatat bahwa Revolusi Prancis melahirkan seorang diktator bernama Napoleon Bonaparte.
Di Indonesia, kehendak rakyat yang dimanipulasi—tidak mustahil—akan melahirkan seorang diktator (lagi). (*)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bapak Tiga Periode
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror