JOGJAKARTA - Tanggal 18-19 Agustus 1945 merupakan tanggal penting dalam sejarah Republik Indonesia maupun Keistimewaan JogjakartaPada tanggal tersebut dua wilayah berdaulat (Kesultanan dan Pakualaman Jogjakarta) menyatakan bergabung dengan RI.
Itulah yang terungkap dalam Sarasehan Piagam Kedudukan: Penghargaan Presiden Soekarno kepada Hamengku Buwono (HB) IX dan Paku Alam (PA) VIII dengan tema Peran Rakyat Jogja Sehari Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI di Pusat Kebudayaan Koenadi Harjosoemantri kemarin (20/8)
BACA JUGA: MA Lambat Proses Sanksi Hakim Kasus Antasari
Hadir sebagai pembicara MohStatus keistimewaan yang disandang Jogjakarta bukan merupakan keinginan HB IX maupun PA VII
BACA JUGA: Interpol Buru Istri Nazaruddin
Ini merupakan kosakata dari konstitusi negara Indonesia, UUD 1945, yang dirumuskan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)Menurut Sudomo, keputusan bergabungnya Kasultanan dan Pura Pakualaman adalah buah dari konsultasi HB IX dan PA VIII
BACA JUGA: Mesin Mafia Anggaran Harus Dipreteli
Setelah mendengar lewat radio tentang kemerdekaan Indonesia, PA VIII bertemu HB IX di Kepatihan.Dalam pertemuan tersebut Sultan HB IX langsung mengatakan "yes" setelah PA VII mengusulkan bergabung dengan Indonesia, kata Sudomo, yang mendapat cerita langsung dari PA VIII dalam sebuah kesempatan"Ini menunjukkan bahwa Sultan HB IX sudah memiliki konsep tentang integrasi tersebut, tambahnya.
Sebelumnya, sempat ada kekhawatiran tentang adanya adu domba RI dengan Kesultanan dan Pura Pakualaman oleh pihak JepangSetelah itu, HB IX dan PA VIII mengirim telegram ke Jakarta yang isinya mengucapkan selamat atas proklamasi Indonesia dan menyatakan penggabungan wilayahnya ke NKRI
Dengan demikian, Pemerintah RI melalui Presiden Soekarno memberikan piagam kedudukan kepada HB IX dan PA VIIDengan diberikannya piagam kedudukan tersebut, dikeluarkan amanat 5 September 1945 sebagai tanda bahwa Keraton Jogjakarta maupun Pura Pakualaman sebagai bagian NKRI yang bersifat istimewa.
Sebelumnya, Sultan HB IX dan PA VIII juga mengajak dua keraton Surakarta untuk bergabungTetapi, dua utusan yang dikirim, yaitu Selo Sumardjan dan Joyodiningrat, gagal bertemu Paku Buwono maupun MangkunegoroPenyebabnya, saat itu di Surakarta terjadi pergolakan anti swapraja dan feodalisme.
"Telegram yang dikirim ke Bung Karno saya yakin banyak berpengaruh pada pembahasan UUD 1945, terutama pasal 18," kata SudomoDalam pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen terdapat pengakuan adanya hak-hak asal usul suatu daerah.
Sementera itu, Fajrul Falaakh lebih menggarisbawahi proses sejarah perkembangan politik yang kemudian berujung pada integrasiMenurut dia, penempatan Keistimewaan Jogjakarta harus dilihat dalam multiaspekKetentuan ketatanegaraan juga harus dibacaPola hubungan pusat daerah tidak bisa lagi top-down.
Menurut dia, proses penggabungan ini merupakan politik kebangsaan dari dua raja berdaulatYakni, melalui proses dialog internal yang bermuara pada integrasi"Dari cerita beliau (Sudomo) banyak hal baru yang didapat dan tidak terdokumentasikanSeperti pertemuan Sultan HB IX dan PA VIII yang merupakan dialog raja-raja," ujarnyaPrespektif historis ini tentu tidak dapat dihapuskan begitu saja(jpnn/c2/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Elit Terima Manfaat, Imbasnya ke Masyarakat
Redaktur : Tim Redaksi