jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus berusaha mencegah bencana di masa mendatang yang diakibatkan ketertinggalan infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Salah satunya dengan mengalokasikan banyak anggaran, baik dari APBN maupun sumber lain.
BACA JUGA: Target Pajak Bakal Tak Tercapai, Ini Saran Misbakhun
Besarnya anggaran tersebut dialokasikan bagi pengembangan SDM dan pembangunan infrastruktur.
Hal itu bertujuan agar infrastruktur tidak tertinggal dalam persaingan global.
BACA JUGA: Industri Jasa Ekspedisi Terhambat Regulasi
"Sebagian besar orang Indonesia belum mampu membiayai sekolah di tempat yang layak. Jika kita tidak fokus ke sana, puluhan juta bangsa Indonesia usia produktif pada masa mendatang tidak memiliki kemampuan bersaing pada masa yang akan datang," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Scenaider Clasein Siahaan, Senin (11/12).
Saat ini, pemerintah konsisten mengalokasikan 20 persen dari total belanja dalam APBN untuk pendidikan dan lima persen untuk kesehatan.
BACA JUGA: SMI Kucurkan Pinjaman Rp 2,77 Triliun ke Pemda
Selain itu, anggaran yang dikucurkan bagi pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru tanah air juga sangat besar.
Menurut Scenaider, ketika kelompok masyarakat usia produktif tidak memiliki kemampuan yang mumpuni, pada akhirnya akan menjadi beban sosial yang menjadi beban bagi pemerintah dan masyarakat.
“Dengan kata lain, jika tidak fokus mengembangkan SDM saat ini, biaya yang akan dikeluarkan nanti untuk memperbaiki keadaan di masa yang akan datang tersebut akan jauh lebih besar. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang terdampak,” tutur Scenaider.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur dibutuhkan untuk efisiensi kegiatan ekonomi secara umum.
Tanpa infrastruktur, dalam hal sederhana, pengiriman bahan makanan untuk sampai ke pasar-pasar akan terhambat.
Hal itu berdampak pada kenaikan harga komoditas yang menyulitkan masyarakat.
Dia mencontohkan Tiongkok yang berhasil bangkit dari kondisi yang lemah hingga era 1980-an.
Namun, sejak 1990-an, Tiongkok berhasil menjadi raksasa adalah berkat pembangunan infrastruktur yang efisien.
Dengan infrastruktur dasar seperti jalan raya dan jalur kereta api yang terbangun, maka biaya produksi barang akan jauh rendah.
Hal itu akan membantu meningkatkan daya saing Indonesia dibandingkan negara lain.
Namun, untuk mengejar target tersebut, pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut hanya melalui dana yang berasal dari dalam negeri berupa penerimaan negara, baik dari pajak maupun di luar pajak.
Untuk itu, pemerintah juga memerlukan pembiayaan melalui pinjaman yang dilakukan secara terencana, diperhitungan dengan sebaik-baiknya, dikelola secara efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.
Menurut Scenaider, ada sejumlah cara agar pinjaman tetap dapat terkelola dengan baik dan dalam posisi aman.
Misalnya, memilih waktu jatuh tempo sesuai dengan kebutuhan pembiayaan
Begitu juga pemilihan mata uang untuk pinjaman yang juga diajukan juga berbeda-beda.
Pasalnya, masing-masing mata uang memiliki potensi risikonya masing-masing.
“Saat Indonesia krisis tahun 1998, sebagian besar pinjaman kita ada dalam bentuk dolar. Saat ini beragam sehingga lebih terjaga,” ujarnya.
Seluruh potensi risiko tersebut harus diperhitungan dengan benar dan dikelola dengan hati-hati.
Dengan begitu, jumlah pinjaman negara yang kini mencapai Rp 3.800 triliun dapat ditangani secara baik dan memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
“Tidak perlu khawatir pinjaman tersebut dapat dilunasi oleh pemerintah. Kalau melihat struktur keuangan negara, pinjaman tersebut bisa dilunasi dalam waktu dekat. Namun pemerintah tidak ingin hal-hal produktif dengan adanya pinjaman tersebut menjadi terabaikan,” pungkas Scenaider. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, Infrastruktur Indonesia Not for Sale!
Redaktur & Reporter : Ragil