Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk menunda sidang perdana gugatan 'class action' korban obat sirop yang tercemar.

Sidang yang dimulai sekitar pukul 13:00 WIB tersebut digelar hari ini (17/01) dan dihadiri oleh orangtua dari keluarga Korban Tragedi Obat Beracun (Gagal Ginjal Anak) didampingi Tim Advokasi untuk Kemanusiaan.

BACA JUGA: Melihat Pembangunan Ibu Kota Nusantara di Tengah Kemungkinan Resesi Global dan Tahun Politik

Gugatan tersebut dilayangkan oleh 25 orangtua anak yang terkena gagal ginjal akut akibat pencemaran obat sirop yang mereka konsumsi.

Sembilan pihak tergugat antara lain adalah PT Afi Farma, PT Universal Pharmaceutical Industries (UPI), PT Tirta Buana, PT Logicom Solution, PT Mega Setia Agung, CV Mega Integra, CV Budiarta, BPOM, dan Kementerian Kesehatan.

BACA JUGA: Perempuan Arab Saudi Sudah Mendapatkan Lebih Banyak Hak

Setelah memeriksa berkas legal standing dari penggugat, Hakim memutuskan untuk menunda sidang ke tanggal 7 Februari 2023.

Ini karena dari seluruh pihak tergugat, yang hadir hanyalah Kemenkes RI, BPOM dan PT Tirta Buana.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Warga Yahudi Australia Terpukul Dengar Pengakuan Politisi

Safitri Puspa yang puteranya bernama Panghegar Bhumi meninggal pada usia delapan tahun kecewa dengan keputusan tersebut.

"Ini adalah kekecewaan kami yang kesekian kalinya," ujar Puspa.

"Ini perjuangan kedua kami sebagai orangtua. Perjuangan pertama kali kami adalah ketika anak kami perawatan di rumah sakit," tambahnya.

"Kebetulan anak saya selesai perjuangannya, anak saya meninggal."

Mewakili orangtua lain, Puspa mengatakan tetap akan memperjuangkan "hak anak kami sebagai warga negara Indonesia yang dilanggar."

Orangtua lain yang bernama Desi Permatasari juga menyesalkan hasil sidang hari ini.

"Memang saya memperjuangkan keadilan Sheena tapi hari ini yang kita lihat mereka [pihak tergugat] tidak datang," katanya.

"Saya harap dengan adanya hari ini mereka melihat, datang ke rumah sakit lihat kenyataannya Sheena enggak baik-baik saja."

Awan Puryadi, kuasa hukum penggugat, menyayangkan ketiadaan inisiatif negara untuk membuka kepada publik kasus ini, mengakui kelalaian, dan meminta maaf.

"Selama ini pemerintah mengatakan sudah di-cover BPJS, padahal itu kan apa yang sudah dibayar oleh peserta, bukan dana dari pemerintah," katanya.

"Sampai saat ini kita belum pernah mendengar ada pernyataan pengakuan kelalaian, uang kerohiman saja tidak pernah ada, padahal banyak biaya yang tidak ditanggung pemerintah."

Tim kuasa hukum juga menunggu hasil penyelidikan independen Ombudsman terkait kasus ini.

"Ini barang bisa selesai cepat kalau Menkes dan Kepala BPOM datang ke sini dan meminta maaf kepada korban, bukan mengirim kroco-kroconya."

Dengan nomor perkara 117 PDTG PN Jakpus 2022, gugatan ini menyeret nama para distributor, perusahaan farmasi, hingga regulator.

Para penggugat mengajukan permintaan ganti rugi dari para tergugat, yakni senilai Rp 2,05 miliar per orang meninggal dan Rp 1,03 miliar per orang sakit.

Selain itu, para penggugat juga meminta perusahaan farmasi dan distributor disita hartanya sebagai pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Biaya Sewa Rumah di Australia Makin Naik, Terutama di Sydney dan Melbourne

Berita Terkait