jpnn.com, JAKARTA - Ketua Bidang Advokasi DPP Front Persaudaraan Islam (FPI) Aziz Yanuar merespons langkah Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur.
Pencabutan dilakukan dengan cara membekukan nomor statistik dan tanda daftar lembaga pendidikan keagaaman itu.
BACA JUGA: Rok hingga Jilbab Santriwati jadi Saksi Bisu Kebejatan Mas Bechi Anak Kiai Jombang
"Langkah ngawur," ujar Aziz lewat pesan singkat kepada JPNN.com, Sabtu (9/7).
Aziz lantas membandingkan kasus korupsi pengadaan paket sembako yang menyeret eks Menteri Sosial Juliari Batubara.
BACA JUGA: Muhammadiyah Sebut Pengawasan Kemenag Lemah, Buktinya Banyak Terjadi Kasus Pencabulan di Pesantren
"Korupsi Kemensos melibatkan menteri. Kementeriannya tidak dibubarkan," kata Aziz.
Menurut Aziz, memang pencabulan memang suatu kejahatan yang wajib dihukum berat.
BACA JUGA: Gus Jazil: Silakan Kemenag Cabut Izin Ponpes Shiddiqiyyah, Asal
Namun, kata dia, korupsi juga tidak kalah dahsyat dan efeknya lebih parah
"Kok, ada standar ganda soal penanganan organisasinya?" tanya Aziz.
Karena itu, kata dia, semakin susah mencari keadilan di negeri ini.
"Karena standar ganda alias suka-suka gue," ujar Aziz.
Lulusan hukum Universitas Pancasila itu menginginkan hukum diberlakukan sama kepada semua masyarakat.
"Berlakukan equality before the law dengan konsisten, karena ada oknum cabul," kata Aziz.
Polisi sempat menemui kendala saat menjemput buron kasus pencabulan kepada santriwati, yakni Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42) di Ponpes Shiddiqiyyah, Jawa Timur, Kamis lalu.
Polisi harus mengerahkan puluhan orang dari Ponpes Shiddiqiyyah dalam proses penjemputan paksa kepada MSAT.
Walakin, MSAT menyerahkan diri ke polisi.
Dalam kasus itu, MSAT alias Bechi dijerat dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 294 KUHP Ayat 2 huruf e dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. (cr3/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggota DPR Ini Harap Orang Tua Santri Memberi Dukungan ke Kemenag
Redaktur : Fathan Sinaga
Reporter : Fransiskus Adryanto Pratama