jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam membangun ketahanan dan kemandirian industri farmasi nasional, melalui penyusunan Formularium Nasional Fitofarmaka.
Dengan begitu, Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) Fitofarmaka bisa digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
BACA JUGA: Mengeluarkan Sesuatu yang Suci Sperma Wajib Mandi, Mengapa yang Najis Kencing Cukup Dibasuh Saja?
Seiring dengan komitmen tersebut, penggunaan produk OMAI Fitofarmaka perlu semakin ditingkatkan dalam fasilitas pelayanan kesehatan formal.
Rencananya Formularium Fitofarmaka bakal diluncurkan pada Mei 2022.
BACA JUGA: Lepas Rp 1,5 Miliar Saham, PT Winner Nusantara Jaya Melantai di Bursa
Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan Dr. Agusdini Banun Saptaningsih menyebut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah menyetujui Formularium ini.
Formularium Nasional ini akan memungkinkan klinisi di fasilitas pelayanan kesehatan untuk meresepkan Fitofarmaka kepada pasien.
BACA JUGA: YKMI: Hanya Tiga Jenis Vaksin yang Dapatkan Sertifikasi Halal
“Setelah Fornas Fitofarmaka launching pada Mei 2022, Kemenkes akan mensosialisasikan ke wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur untuk fasilitas kesehatan agar membeli fitofarmaka,” ujar Dr. Agusdini dalam webinar.
Selama ini, OMAI Fitofarmaka terhalang masuk Formularium Obat-obatan Nasional untuk program JKN karena adanya Permenkes No 54/2018.
Meski sudah lolos uji klinis, Fitofarmaka masih dianggap sebagai obat tradisional karena terbuat dari bahan alam.
Padahal sebenarnya fasilitas kesehatan di daerah bisa saja meresepkan Fitofarmaka untuk pasien melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Namun menurut Dr. Agusdini, penyerapan DAK di daerah belum maksimal, sehingga dengan diluncurkannya Formularium Fitofarmaka, penggunaan DAK untuk pengadaan OMAI Fitofarmaka bisa lebih maksimal.
Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,43 triliun untuk mendorong penggunaan OMAI oleh seluruh Dinas Kesehatan di daerah.
“Kami agendakan ada 4 pekerjaan Kemenkes untuk sosialisasikan ke dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota untuk menggunakan dana sekitar Rp 1,43 triliun untuk membelanjakan sebagian DAK dan membeli fitofarmaka dan OHT di masing-masing dinas kesehatan,” ujarnya.
Staf Khusus Menteri Kesehatan Prof. dr. Laksono Trisnantoro menyoroti khasiat dan keamanan fitofarmaka, yang telah melalui uji praklinik dan uji klinik, serta bahan baku dan produknya sudah terstandarisasi.
Untuk itu, perlu adanya pembedaan dengan obat tradisional jamu dan obat herbal terstandar.
“Fitofarmaka bukan obat tradisional melainkan obat modern dari bahan herbal,” kata Prof. Laksono.
Menurut Prof. Laksono, di masa mendatang Fitofarmaka perlu dikembangkan sebagai obat ethical yang memerlukan resep dokter sebagai ciri dari obat modern, menjadi bagian dari pengobatan modern, masuk ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional dan bersaing dengan obat ethical non-herbal dengan khasiat yang sama.
"Jadi fitofarmaka bukan hanya sebagai suplemen, tetapi menjadi obat pilihan yang diresepkan dokter untuk berbagai penyakit seperti diabetes, hipertensi dan penyakit tertentu lainnya,” seru Prof. Laksono.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenkes akan Menggunakan Sinovac sebagai Vaksin Booster
Redaktur & Reporter : Yessy Artada