jpnn.com, PALU - Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo mendesak Kementerian ESDM agar meninjau ulang pemberian izin kawasan pertambangan emas di Wilayah Poboya, Kecamatan Mantikulore, Palu, Sulawesi Tengah. Kawasan pertambangan tersebut, dikelola PT Citra Palu Mineral.
Hal itu disampaikan Mukhtar saat melakukan Kunjungan Spesifik Komisi VII DPR RI, di Palu, Rabu (25/4).
BACA JUGA: Gerindra: DPR Berpihak ke Orang Asing atau Rakyat?
Sejak tahun 2007 penambangan ilegal di Poboya menggunakan merkuri hingga tahun 2013. PT. Bumi Resources yang berkontrak dengan PT. Citra Palu Mineral memulai sosialisasi. Namun hingga 2015 belum melakukan aktifitas. Karena lokasi tersebut, wilayah poboya merupakan masuk kontrak karya PT. Bumi Resources, yang dimiliki oleh Bakrie Grup.
BACA JUGA: DPR Bakal Panggil Paksa Menteri Perhubungan
Sampai tahun 2016 penambangan ilegal masih tetap berjalan. Namun belakangan berubah dengan menggunakan sianida.
Sampai hari ini, pertambangan yang dilakukan oleh CPM belum dilakukan pola pertambangan dalam dan masih menggunakan pola pertambangan lama, yaitu mengumpulkan material dan diolah sebagaimana dilakukan oleh rakyat.
BACA JUGA: PSI Desak DPR Revisi UU Devisa
“Saya berkunjung ke Poboya yang masuk dalam kawasan Blok 1 PT. CPM. Sepanjang jalan Poboya saya melihat hampir semua masyarakat melakukan pemisahan material emas secara tradisional, yang belum dikontrol penggunaan bahan bakunya oleh pemerintah. Saya menduga mereka rata-rata masih menggunakan Merkuri,” urai Mukhtar Kapoksi Komisi VII Fraksi Partai Hanura.
Penggunaan merkuri, sambung Mukhtar, sudah dilarang setelah Indonesia meratifikasi konvensi Minamata di Jenewa. “Pelarangan tersebut telah tertuang dalam UU No.11 tahun 2017,” jelasnya.
“Berdasarkan kunjungan Komisi VII tahun 2017 lalu, kami mendapatkan fakta bahwa Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tengah mengaku tidak dapat melakukan penertiban terhadap penambangan liar, karena menganggap tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan terhadap penambang yang tidak memiliki izin,” tandasnya.
Padahal, lanjut Mukhtar, pegangan Pemerintah Daerah dalam menangani penambangan liar seharusnya merujuk pada UU Pertambangan dan UU perlindungan lingkungan hidup.
“Dalam pasal 158, barang siapa melakukan pertambangan liar merupakan tindakan pidana. Harusnya Pemerintah daerah melaporkan ke pihak berwajib, tidak melakukan pembiaran,” katanya.
Pelanggaran PT Citra Palu Mineral
PT. Citra Palu Mineral, resmi mengelola kawasan pertambangan emas tersebut, setelah memperoleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 422.K/30.DJB/2017. PT. Citra Palu Minerals telah Mengantongi Kontrak Karya Wilayah Poboya Blok I sejak tahun 1997. Kontrak Karya ini sudah beberapa kali dilakukan perpanjangan, dan terakhir pada tahun 2016.
Wilayah Poboya sendiri dalam Peta ekspliotasi Citra Palu Minerals, berada dalam Blok I yang memiliki kandung SDA yang cukup besar. Dalam Amdalnya dijelaskan bahwa Perkiraan Pengelolaannya dikisaran 650.000 biji ton/ tahun. Apa lagi dalam keputusan Menteri ini, Citra Palu Minerals beroperasi hingga tahun 2050.
Dengan ditebitkannya Izin Operasi Produksi melalui Keputusan Menteri, telah menstimuluskan jalan lebar bagi eksploitasi SDA secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah, sebelum izin terbit, didahului dengan adanya izin lingkungan yang di terbitkan oleh Gubernur Sulawesi tengah melalui Dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu Izin Lingkungan dengan nomor : 660/576/ILH/DPMPTSP/2017.
Padahal penerbitan izin lingkungan tersebut, bertentangan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor: SK.2300/MenLHK.PKTL/IPSDH/PLA.1/5/2016 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan Dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi X).
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, kawasan tambang PT. CPM tersebut beririsan dengan Taman Hutan Rakyat (TAHURA) seluas 4.907,11 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas -/+ 11.075,26 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas -/+ 2.495,11 Ha, Areal Penggunaan Lain (APL) Seluas -/+ 215,50 Ha.
Meski keputusan Kementerian LHK tentang penetapan TAHURA dilakukan belakangan di tahun 2016, ungkap Mukhtar, namun seyogyanya Kementerian ESDM tetap menjadikan regulasi tersebut dalam mengeluarkan izin pertambangan, termasuk perpanjangan Kontrak Karya.
Mukhtar juga mendapat informasi bahwa PT. Dinamika Reka Geoteknik yang ditunjuk PT. CPM untuk pemulihan kawasan hutan di areal TAHURA, justru ikut menambang dengan cara yang sama dengan penambang tradisional.
“Mereka bahkan menyuplai kebutuhan material produksi tambang ke masyarakat. Mungkin juga menyuplai merkuri atau sianida. Jika ini betul terjadi, maka kuat dugaan bahwa PT. CPM ini telah lama menambang, padahal izin konstruksi dan produksi dari Kemeterian ESDM baru keluar pada bulan November 2017,” jelas Mukhtar.
Temuan Mukhtar tersebut memperkuat hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng beberapa waktu lalu. Menurut JATAM Sulteng, PT. CPM memiliki MoU dengan PT Dinamika Reka Geoteknik (DRG) untuk rehabilitasi tahura, bukti lapangan, DRG adalah perusahaan penyuplai bahan.
DRG menjual bahan material ke empat perusahaan lain. DRG bertugas membagi material pada empat perusahaan yang sudah menyiapkan kolam perendaman. Titik galian yang diambil oleh DRG masuk dalam tahura.
Mukhtar sementara menyimpulkan, terdapat beberapa jenis pelanggaran. Pertama, PT CPM telah melakukan penambangan sebelum izin keluar. Kedua, pelanggaran izin lingkungan oleh Pemprov. Ketiga, kelalaian atau penyalahgunaan wewenang oleh oknum di Kementerian ESDM, yang kurang cermat dalam memberikan izin pertambangan.
“Segera temuan ini akan kami tindak lanjuti, termasuk meninjau ulang pemberian izin pertambangannya. Saya juga terbuka menerima masukan, khususnya data-data yang terkait dengan pertambangan emas di Poboya,” tutupnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Nilai Resolusi Parlemen Uni Eropa Sangat Diskriminatif
Redaktur & Reporter : Friederich