Kenikmatan Kecil di Masupa Ria, Desa Lumbung Emas

Rabu, 04 April 2018 – 00:30 WIB
Mukni, menunjukkan PLTA hasil buatan sendiri, yang membantu warga Desa Masupa Ria mendapat aliran listrik, beberapa waktu lalu. Foto: AGUS PRAMONO/KALTENG POS/JPNN.com

jpnn.com - Masupa Ria merupakan desa di Kecamatan Mandau Tawang, Kabupaten Kapuas,Kalteng, yang dikenal sebagai lumbung emas.

Namun, kandungan emas yang tak habis ditambang sampai kini ternyata tak berhasil mengubah nasib Masupa Ria. Tetap desa yang sangat tertinggal, minim fasilitas, dan sulit diakses.

BACA JUGA: Dell Pakai Hasil Daur Ulang Emas ke Motherboard Laptop

JAMIL JANUANSYAH-AGUS PRAMONO, Kapuas

RIBUAN kilometer dari kampung halamannya di Jawa Timur, di desa di tengah belantara Kalimantan Tengah yang jauh dari mana-mana itu Suripto berada. Selama puluhan tahun.

BACA JUGA: Ayah Ditipu Anak Kandung, Rp 1,7 Miliar Melayang

Begitu pula Boiman, yang sama-sama berasal dari Blitar. Keduanya pun sudah sama-sama berniat menghabiskan masa tua di desa bernama Masupa Ria itu.

”Saya sekarang menanam sayur dan buah-buahan. Untuk persiapan kalau kelak Masupa Ria maju, sementara kandungan emasnya habis,” kata Suripto kepada Kalteng Pos (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Gaya Hidup Meningkat, Pasar Perhiasan Tumbuh 14 Persen

Emas. Memang itulah magnet yang membawa para pendatang seperti Suripto, Boiman, dan banyak lagi dari berbagai daerah di Jawa serta Kalimantan datang ke Masupa Ria. Menempuh perjalanan yang tak mudah dan tak murah. Sekaligus berbahaya.

Sudah sejak 1980-an desa yang berada di Kecamatan Mandau Tawang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, itu dikenal sebagai lumbung emas. Yang tersimpan di dalam bebatuan Pegunungan Masupa.

Kekayaan itu sudah termaktub dalam namanya. Masupa Ria diambil dari gabungan kata amas (emas), supa (mendapat), dan ria (gembira). Jadi, Masupa Ria merupakan dusun yang penduduknya bersuka ria karena terdapat emas.

Tapi, emas itu tentu harus ditambang dulu. Bebatuan yang ada di lereng Pegunungan Masupa mesti dibongkar, lalu diambil batunya. Batu yang masih berbentuk gelondongan tersebut dilebur dengan menggunakan alat tabung besi seukuran elpiji 12 kilogram.

Di dalam tabung, batu itu digiling bersama air yang dicampur merkuri. Prosesnya bisa memakan waktu enam sampai delapan jam untuk batu sebesar buah melon. ”Dari leburan batu itulah, serpihan emas akan terlihat,” kata Boiman.

Sebelum resmi menjadi desa sendiri pada Juli 2013, Masupa Ria masuk wilayah Desa Tumbang Manyarung. Berada di lereng Gunung Puti dan Masupa, di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, bisa dibilang desa berpenduduk sekitar 800 jiwa itu berada persis di jantung Kalimantan.

Sebab, dua gunung yang masuk Pegunungan Masupa itu masih dalam jajaran Pegunungan Schwaner dan Muller. Yang puncak tertingginya berada di Bukit Raya, Kabupaten Katingan.

Tapi, ironisnya, dengan kekayaan alam yang membuat banyak pendatang berdatangan sejak puluhan tahun silam itu, Masupa Ria tetaplah desa yang tertinggal. Yang minim tersentuh pembangunan. Yang sangat sulit diakses.

Butuh 11 jam bagi Kalteng Pos untuk bisa mencapai Masupa dari Palangka Raya. Menempuh jalur darat dan sungai. Dari bus, berganti perahu kelotok, lalu ojek. Dan, melintasi wilayah empat kabupaten: Pulang Pisau, Gunung Mas, Kapuas, dan Murung Raya.

Secara geografis, Masupa Ria jauh lebih dekat dengan Puruk Cahu, ibu kota Kabupaten Murung Raya. Ketimbang dengan Kuala Kapuas, ibu kota Kabupaten Kapuas. Itu membuat Masupa Ria semakin terlupakan.

Dengan kondisi seperti itu, tak heran harga berbagai barang di Masupa Ria sangat mahal. Harga semen satu sak bisa mencapai Rp 500 ribu. Beras juga begitu. Seharga Rp 500 ribu untuk 25 kilogram. ”Sekarang harganya sedikit menurun. Sekitar Rp 400 ribu saja,” ujar Kepala Desa Masupa Ria Mukni.

Di saat harga-harga barang kebutuhan demikian tinggi, harga emas justru sebaliknya. Pengepul yang menentukan. Harga termahal sekitar Rp 400 ribu per gram.

Dalam seminggu, terang Mukni, seorang penambang bisa menghasilkan rata-rata 5 gram emas. Jika beruntung bisa sampai 10 gram. Bergantung kesungguhan mereka bekerja dan kemujuran nasib.

Pada periode 1990–2005, jumlah penambang emas lebih dari 1.000 orang. Tapi, berangsur-angsur pergi. Penyebabnya kompleks. Mulai hasil emas yang tak seimbang dengan kebutuhan sehari-hari sampai sulitnya mendapat pasokan makanan.

Banyak hasil kebun seperti cokelat, petai, jengkol, durian, cempedak, dan rambutan yang juga membusuk di pohon. Tidak bisa dijual ke luar desa. Karena mahal ongkos transportasinya.

Kondisi pendidikannya pun tak kalah memprihatinkan. Hanya ada satu sekolah, SDN 1 Masupa, yang dibangun pada 1997 dan tak pernah direnovasi.

Bangku-bangkunya lawas. Di salah satu sampul buku pelajaran yang dipegang salah seorang murid tertulis ”KTSP 2006”.

”Kalau hujan, terpaksa kami liburkan. Kasihan murid-murid tidak konsentrasi belajar gara-gara air menetes deras dari atap,” ucap Reni Masriah Sari, salah seorang guru honorer.

Persoalan lain adalah ketersediaan tenaga medis. Baru pada Februari lalu ada seorang perawat yang menetap di sana. Sebelumnya, kalau ada yang sakit, pilihannya ditandu berjam-jam atau naik ojek seharga Rp 500 ribu sekali jalan ke Desa Batu Makap. Dilanjut taksi air ke Puruk Cahu seharga Rp 300 ribu.

Arbela, kepala SDN 1 Masupa Ria, pernah mengalami kejadian mengenaskan. Saat keguguran, sang istri harus ditandu tiga jam menuju Puskesmas Desa Sei Pinang. ”Saya masih trauma sampai sekarang,” katanya.

Karena itu, Arbela kini memilih tinggal di Palangka Raya. Hanya sekali dalam enam bulan atau bahkan setahun dia menengok sekolah yang dia pimpin.

Endang Darmayanti, anak buah Arbela di SDN 1 Masupa Ria, juga mengaku hanya mengambil gaji enam bulan sekali. Penyebabnya, apalagi kalau bukan mahalnya transportasi.

Gaji Endang per bulan Rp 1.225.000. Perinciannya, Rp 425 ribu dari statusnya sebagai honorer. Ditambah Rp 500 ribu dari bantuan operasional sekolah (BOS). Dan, Rp 300 ribu lainnya corporate social responsibility (CSR) perusahaan kayu yang beroperasi di wilayah desa.

Nah, untuk mengambilnya di bank di Puruk Cahu, dia harus naik ojek ke Batu Makap seharga Rp 500 ribu. Dilanjut taksi air Rp 300 ribu ke Puruk Cahu. Belum biaya penginapan dan makan yang bisa mencapai Rp 500 ribu.

”Sekali ambil gaji bisa habis gaji sebulan,” katanya. Beruntung, masih ada listrik yang menolong Masupa Ria. Meski dikepung belantara, desa tersebut terang benderang.

Setrum itu berasal dari 12 pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sumbernya air terjun. Ada 20 air terjun yang mengelilingi Masupa Ria. Seorang warga bernama Junaidi-lah yang dulu jadi pionir yang memanfaatkan air terjun untuk tenaga listrik itu.

”Kami bisa menyalakan televisi, kulkas, dan lampu penerangan,” kata Suripto. Kenikmatan kecil yang tentu harus disyukuri. Di tengah berbagai keterbatasan yang mengepung Masupa Ria.

Masupa Ria yang terpencil itu juga damai. Pendatang datang dan pergi, tapi tak pernah sampai menimbulkan perselisihan.

Semua seperti sudah mendapat jatah emas masing-masing. Asal mau bekerja keras. Sampai kini. Mungkin karena itulah Suripto memilih bertahan di sana. Meski, konon, sebuah perusahaan pertambangan emas akan beroperasi di sana. ”Sudah kadung cinta dengan Masupa,” katanya. (*ce/JPG/c10/ttg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilik Toko Teledor, Emas 2 Kg Digondol Maling


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler