jpnn.com, JAKARTA - Kepatuhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih rendah.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen atau Formappi Lucius Karus menilai rendahnya tingkat kepatuhan anggota DPR melaporkan LHKPN sangat mungkin karena terlalu punya banyak harta yang terkumpul, dan pada saat bersamaan kesulitan melakukan verifikasi apakah harta-harta tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
BACA JUGA: Tingkat Kepatuhan Pemkab Bekasi Penyerahan LHKPN Terendah se-Jawa Barat
Menurut Lucius, masih adanya operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan anggota DPR membuktikan praktik rente demi menambah harta masih terus terjadi. "Mereka (pelaku) sama sekali tak merasa jera dengan hukuman terhadap anggota sebelumnya," kata Lucius, Rabu (3/4).
BACA JUGA: Tingkat Kepatuhan DPR Setor LHKPN ke KPK Rendah, Bamsoet: Fokus Pemilu
BACA JUGA: Tingkat Kepatuhan DPR Setor LHKPN ke KPK Rendah, Bamsoet: Fokus Pemilu
Lucius menjelaskan hal itu berarti bahwa korupsi bukan sekadar karena kesempatan saja, tetapi seperti jadi sebuah misi. "Mereka (pelaku) melanjutkannya secara sadar, bahkan risiko OTT nampaknya sudah tak menakutkan mereka," ungkapnya.
Nah, Lucius menambahkan dengan kondisi seperti itu, jelas upaya pemberantasan dengan OTT mungkin tidak ampuh lagi untuk menekan korupsi di DPR.
BACA JUGA: Baru 6 Persen Pejabat Negara yang Lapor Kekayaan ke KPK
Karena itu, Lucius berpandangan pencegahan bisa dihidupkan agar sejak awal ada semacam penggiringan perilaku anggota untuk terhindar dari korupsi. “Salah satunya dengan pelaporan LHKPN secara rutin," tegasnya.
Menurut Lucius, kepatuhan melaporkan LHKPN jadi bukti keseriusan DPR untuk menjauhi korupsi. Sebaliknya, kata Lucius, ketidakpatuhan merupakan signal masih tingginya nafsu untuk korupsi.
Lucius menyatakan dengan melaporkan LHKPN secara rutin, ada semacam harapan agar anggota DPR selalu diingatkan untuk menjauhi harta tidak wajar, maupun ilegal.
Lebih lanjut, Lucius mengatakan, pelaporan LHKPN sebagai bagian dari upaya mencegah korupsi menjadi penting di masa kampanye, khususnya bagi inkumben. "Mereka sudah seharusnya punya tanggung jawab untuk mempertanggungjawabkan segala yang didapat, dan segala yang dilakukan selama menjabat," paparnya.
Dia menambahkan, LHKPN bisa jadi instrumen untuk menilai apa yang dilakukan seorang anggota selama menjabat. "Jika ada tambahan harta yang tidak wajar, artinya dia kemungkinannya memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan harta tersebut," ungkap Lucius.
Karena itu, sambung dia, perlu dimintai tanggung jawab atau jika memang mencurigakan, maka hukuman agar tak dipilih harus dikampanyekan.
Dengan tidak melaporkan harta pada saat kampanye, anggota DPR sekaligus menunjukkan ketertutupan dan keengganan untuk bertanggung jawab.
Menurut dia, sudah seharusnya pemilih tak memilihnya karena tak bisa lagi dipercaya. Ketertutupan melaporkan LHKPN hanyalah signal masa depan suram DPR karena caleg inkumben tak bertanggung jawab seperti itu. "Mereka tidak boleh dipilih kembali," tegas Lucius.
Seperti diketahui, berdasar data KPK hingga hari terakhir penyetoran LHKPN, Minggu (31/3), baru sekitar 49,1 persen anggota DPR menyetor LHKPN tahunan kepada lembaga pemberantas korupsi, itu.(Boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepala Tertunduk, Politikus Golkar Lesu Menuju Tahanan KPK
Redaktur & Reporter : Boy