Kerbau Itu Ikon Demokrasi

Senin, 08 Februari 2010 – 19:32 WIB
KUINGAT lagi kolom yang kutulis sembilan tahun silam, tentang kerbau sebagai ikonologi di majalah Gamma, edisi 27 November 2001Sumbernya pun unik, yakni percakapan dengan dua sahabat

BACA JUGA: Cermin dari De Soto dan Yunus (2)

Mereka adalah Zulqayyim dan Andi Asoka
Keduanya adalah dosen Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.

"Ikon itu filosofis

BACA JUGA: Cermin dari De Soto dan Yunus (1)

Sebab, sebuah lambang mengandung sebuah visi dan misi dari sebuah lembaga, atau apapun," kata Zulqayyim
"Bahkan, dapat pula membangkitkan rasa percaya diri," kata Andi Asoka, menyambar percakapan

BACA JUGA: Orang-orang yang Revolusioner

"Atau bahkan perang, bila damai semakin jauh," katakuTawa renyah keduanya terdengar.

Ikon yang kami bincangkan adalah tentang logo PT Semen Padang (PT SP) yang diciptakan pada 1910Memang, logo perusahan ini sudah berubah delapan kaliYang semula berbahasa Belanda, menjadi bahasa Indonesia.

Yang menarik pada perubahan kedua, tahun 1913, logo pabrik semen di Indarung, 15 km di timur Kota Padang ini, menampilkan gambar seekor kerbau jantan dalam lingkaran kecil, sedang berdiri menghadap ke arah kiri dengan latar panorama alam Minangkabau.

Selain pengaruh Sumpah Pemuda 1928 maupun nasionalisasi perusahaan asing pada 1958, gambar kerbau tetap adaGambar seorang laki-laki, rumah adat dan gambar Gunung Merapi, telah diganti pula dengan gambar atap rumah gadang dengan lima gonjong di atas gambar kerbau.

Logo PT SP diperbarui lagi pada 1970Gambar kerbau hanya menampilkan kepalanya saja, dengan posisi menghadap ke depanDi atas kepala kerbau dibuat pula gambar atap/gonjong (5 buah) rumah adat.

Muncul pula motto "Kami Telah Berbuat Sebelum yang Lain Memikirkan"Perubahan terjadi lagi pada 1991, saat tulisan Padang Portland Cement menjadi Padang Cement Indonesia.

"Mengapa logo Semen Padang selalu menggunakan bentuk 'bulat' dengan simbol 'kerbau' dan 'rumah adat'?" tanyaku"Sebab, pemerintah kolonial Belanda paham antropologi, BungMereka mengapresiasi kearifan lokal," kata Zulqayyim.

Bentuk bulat (bulek) adalah lambang dari hasil suatu musyawarahKok bulek lah buliah digolongkan, kok picak lah buliah dilayangkan (kalau bulat sudah dapat digelindingkan, jika pipih sudah dapat dilayangkan).

Logo itu menyimbolkan kesepakatan antar ninik mamak dengan pemerintah Hindia BelandaPemerintah kolonial Belanda ternyata menghargai nilai sejarah dan budaya Indonesia"Politik hutang budi" pun telah dulu dicanangkan, sebelum PT SP berdiri pada 1910.

"Kerbau jangan hanya dilihat karena memiliki kekuatan, tetapi juga sangat erat kaitannya dengan mitos Minangkabau," kata Andi Asoka pula.

Zulqayyim bertutur bahwa Minangkabau, menurut tambo, berasal dari kata-kata 'menang' dan 'kerbau'Alkisah, ketika pasukan dari luar Sumatera menyerbu Ranah Minang, para pemuka adat berunding untuk menghadapi musuh yang banyak dan tangguhMusuh tidak dihadapi secara fisik, tetapi diajak bertarung berupa "adu kerbau".

"Jika dibandingkan hewan lain yang menundukkan kepalanya untuk menunjukkan ketundukannya kepada siapa yang di depannya, kerbau menundukkan kepala justru hendak melakukan penyerangan kepada siapa yang ada di hadapannya," kata Andi Asoka.

Kemudian Andi Asoka memetik Prof Nasroen dalam bukunya Dasar Falsafah Adat MinangkabauMenurutnya, masyarakat Minangkabau sengaja memilih totem kerbau karena mengandung filosofi, yaitu konflik dalam keseimbangan.

Ikon itu menunjukkan adanya pertentangan dalam keseimbangan, yakni antara individu dan masyarakatDalam masyarakat Minangkabau tidak dikenal istilah individualisme, dan sebaliknya juga tidak mengenal istilah totalitarianismeKeberadaan individu dan masyarakat diakui dengan konsep seorang untuk bersama dan bersama untuk seorang.

Filosofi rumah adat Minangkabau alias rumah gadang itu mirip dengan gedung DPR tempat bermusyawarah, menampung aspirasi rakyatDi sanalah, para ninik mamak membicarakan kemaslahatan anak nagari, sebuah nilai-nilai demokrasi Minangkabau.

Semua anggota keluarga mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnyaHasilnya sedapat-dapatnya dimufakati secara bulat, sehingga tidak ada yang merasa dikalahkan atau sebaliknya.

Dari perspektif Minangkabau, saya heran mengapa demonstran yang mengkritik Presiden SBY memakai simbol kerbau? Jika maksudnya kerbau adalah ikon lamban dan pemalas, justru keliruHewan ini tidak pemalasStaminanya tinggi membajak sawah, dan setara dengan traktor bertenaga kuda.

Alot? Bagaimana cara melihatnya sajaSeperti halnya roda pembangunan, kerbau berjalan setapak demi setapak ia bergerakTak satu inci sawah terlewatkanSistematis, dan tetap menuju target yang jelas.

Saya pun tercengang ketika Presiden SBY pun curhat tentang hewan bertanduk ini, sehingga menuai komentar para politikus dan pakar.

Tak hanya Minangkabau, berbagai etnik di Indonesia seperti Toraja juga sangat menghormati ikon kerbauKerbau di Tapanuli bahkan menjadi simbol kuliner terhormat dalam upacara adat perkawinan yang tertinggi.

Herannya, manusia kerap "merendahkan" hewanPadahal jika kita dapat berbahasa hewan, jangan-jangan mereka mengejek kita sebagai makhluk perusak hutan, serakah, korupsi dan sebagainya.

Saya ingat sebuah sajak penyair Mustofa "Gus Mus" Bisri yang membuat tengkuk merindingDalam sajak bertajuk "Munajat Binatang", ia lukiskan derita sekumpulan hewan yang tersisa sebagai akibat kerusakan hutanSeekor onta telah memimpin serangga, gajah, tikus, anjing dan sebagainya bermunajat kepada Tuhan.

Astaga, hewan-hewan itu ber-istighozah kepada Tuhan, karena manusia telah mengkhianati fungsinya sebagai khalifah di bumiMereka berhiba-hiba meminta supaya Tuhan mengangkat makhluk lain sebagai khalifah, karena manusia bahkan sudah lebih binatang dari para binatang.

Akhirulkalam, jika ikon kerbau dalam filsafat Minangkabau adalah konsep tentang pertentangan dalam keseimbangan, sesungguhnya identik dengan check and balances yang merupakan wujud demokrasi itu sendiriBukan dengan kegairahan benci yang meluap-luap, tetapi untuk mencari "bulat kata" dan tidak hendak menang sendiriTabik! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sleeping Money, Bangunkan Saja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler