Kesedihan Bidan yang Kehilangan Empat Pasien Hamil

Rabu, 18 November 2009 – 07:10 WIB
Perjalanan kembali ke Gunung Tigo ibarat menyibak kembali lembar buku yang dahulu belum rampung dibacaSebab, dalam perjalanan yang kedua, wartawan Jawa Pos Nany Wijaya menemukan hal-hal yang menjadi pelengkap dari perjalanan pertamanya

BACA JUGA: Bangun Sekolah Tahan Gempa Sekaligus Rescue Center

Apa saja itu, inilah detailnya.

 
Permen pemberian pramugari Garuda yang bernama Dani (bukan Dian, seperti yang ditulis kemarin
Maaf) benar-benar mewarnai perjalanan saya kembali ke Gunung Tigo.  Ketika mobil kami berhenti di pinggir jalan, banyak mata menatap heran dan bertanya-tanya

BACA JUGA: Mud Max Lapindo, Dokumenter atau Propaganda?

Tetapi, saya yakin, mereka menduga kami akan menanyakan sesuatu
Begitu pula anak-anak yang ada di situ.

Karena membawa cukup makanan kecil dan permen, dalam perjalanan kedua itu, saya yang hari itu hanya ditemani pimpinan Pos Metro Padang Sukri Umar dan Iyut Yuliastuti dari Padangtv sengaja berhenti di tempat-tempat yang banyak anak kecil berkumpul

BACA JUGA: Silakan Pilih, Haji Maktab atau Haji Balad

Ketika mereka masih menerka-nerka tujuan kami berhenti, Iyut sudah memanggil anak-anak ituKemudian, dia menyodorkan telapak tangannya yang penuh dengan permen yang bungkusnya berwarna-warni

Sejak gempa mengoyak, camilan dan kembang gula memang menjadi mewah bagi anak-anak ituKarena itu, ekspresi wajah mereka langsung berbinar begitu melihat banyak permen di tangan Iyut.  Anak-anak itu makin terbelalak dan senyumnya makin lebar karena Iyut ternyata tidak hanya memberi mereka satu?dua butir permenTapi, membiarkan anak-anak itu mengambil sebanyak yang mereka mauBegitu mendapat permen, anak-anak itu langsung lari menghambur ke orang tua masing-masing sambil bersorak gembira

Senang rasanya melihat mereka bisa kembali tertawa riangItu berarti traumanya kepada gempa yang banyak merenggut orang-orang dekat dan orang-orang yang mereka sayangi agak meredaUntuk hilang sama sekali, tampaknya, masih membutuhkan waktuKami kemudian melanjutkan perjalanan, melanjutkan membagikan permen dan makanan kecil yang kami bawaDi mana pun kami berhenti dan membagikan permen pemberian Dani itu, kami selalu menemukan wajah-wajah kecil yang gembiraKami sendiri tidak menyangka akan bertemu dengan begitu banyak anakJadi menyesal juga kami tidak membawa lebih banyak kue dan permen sehingga bisa memberikan kegembiraan kepada lebih banyak anak

Tak lama setelah permen kami habis, kenikmatan bermobil pun harus terhenti karena jalan di depan kami tampak terlalu lunak untuk dilewatiIndra "pengemudi kami dari harian Padang Ekspres" rada takut untuk melaju, apalagi kami.Saya dan Iyut lantas turun dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, meski hari sedang panas terikTetapi, dibanding pada hari ketujuh dulu, kali ini panasnya agak mendingan.

Tak lama berjalan, dua pemuda cilik bersepeda motor yang berlawanan dari arah kami, mendadak berhentiTernyata mereka menawarkan diri untuk mengantar kamiSemula kami mengira mereka ojekTernyata bukanMereka hanya kasihan melihat kami berdua berjalan kakiPadahal, jalan sampai ke Korong Koto Tinggi sudah bisa dilalui motor, bahkan mobilPada hari ketujuh dulu, untuk sampai ke Korong Koto Tinggi yang berjarak sekitar 9 kilometer dari kaki Padang Alai, saya, Iyut, Sukri, dan beberapa teman dari Padang Ekspres, Padangtv, Pos Metro Padang dan bahkan JTV harus berjalan kaki, tanpa payung, tanpa bekal air, ataupun permen.

Dulu, perjalanan sepanjang itu terasa sangat melelahkan karena medannya memang sangat berat dan menakutkanTanah sisa longsor, pohon-pohon kelapa dan tiang-tiang listrik yang tumbang masih menutup jalanKarena itu, kami harus melewati jalan setapak yang gembur dan sewaktu-waktu bisa runtuhBelum lagi kabel-kabel listrik yang malang melintang, siap menyambar kaki atau leher kita (kalau jalannya agak meleng)Belum lagi sisa jalan aspal yang koyak menganga dan anjlok sampai 40 sentimeter.

Panas mentari yang menyengat itulah tumpuan keberanian kami melangkah saat ituAndai hari itu mendung, saya dan kawan-kawan pasti tak berani melangkah sampai sejauh ituSebab, jika hujan, apalagi agak lebat, atau ada gempa susulan (meski skalanya kecil), bisa dipastikan daerah itu akan longsor lagiBila itu terjadi, pasti kami akan terisolasi untuk waktu yang cukup lamaSebab, sudah tidak mudah lagi menembus daerah itu lewat darat.

Sementara saya dan Iyut asyik berbincang tentang apa saja yang kami lihat, kami temui dan kami alami dalam perjalanan ke Koto Tinggi pada hari ketujuh dulu, sebuah sepeda motor melintas di samping kamiJarak motor itu dengan saya agak dekat, sehingga saya terkejut dan terpaksa melihat pengemudinya.Betapa terkejutnya saya ketika melihat wanita hamil yang dibonceng sepeda motor ituDia ternyata Bidan Wirda dari Korong Koto Tinggi, yang dibonceng suaminya.

?Mau ke atas, Bu" Mari mampir tempat kamiSudah bisa dilalui mobil kok sekarang," ajak bu bidan yang hamil tua itu.Wanita berumur 35 tahun itu kami temui di sebuah sekolah di Korong Koto Tinggi, yang saya sebutkan tadiBangunan di dusun ini relatif banyak yang selamat, termasuk sekolah yang lantas jadi tempat pengungsian warga yang rumahnya hancur, dan posko tim medis RS Petrokimia, GresikDaerah yang jaraknya sekitar 9 kilometer dari Korong Patamuan di kaki Padang Alai (tempat yang saya ceritakan di edisi kemarin) ini letaknya sangat tinggi, berbatasan dengan Kabupaten Agam yang juga terkena gempa

Di sekolah itu tim medis Petro menginap dua malamPadahal, ketika itu mereka baru pulang dari Dusun MalalakMencapai dusun ini juga sangat tidak mudahButuh waktu berjam-jam bagi dr Irfan dan timnya yang dari RS Petro untuk mencapai daerah tersebut.  Sekolah itu juga merupakan "terminal" terakhir perjalanan kami ketika ituKami memang tak melanjutkan ke korong yang lebih atas, karena medannya baik-baik saja.

Melihat rombongan kami sudah bersusah payah datang ke wilayahnya, bidan Wir dan warganya lantas menyiapkan minum dan makan siangPadahal, ketika itu jam sudah sekitar pukul 14.00.Demi menjamu kami, mereka merelakan air mineralnya, teh botolnya, nasinya, ikan sardin dan mi instan untuk makan siang kamiKarena memang sudah kelaparan dan kehausan, rombongan kami tak sungkan lagi dengan suguhan itu

Membayangkan sulitnya hidup sebagai pengungsi, saya tiba-tiba kehilangan kesanggupan untuk mengganyang suguhan mereka.  Untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering, saya mengambil segelas air mineral pemberian dr Singgih, pimpinan RS Petrokimia Gresik yang hari itu ikut mendampingi tim medisnyaKepada saya, bidan berumur 35 tahun itu mengungkapkan kesedihannya karena empat pasiennya yang sedang hamil tua dan beberapa balita yang ada di wilayah binaannya, tewas digerus longsorSampai saat dia bercerita, mayat wanita dan anak-anak malang itu belum ada yang ditemukan.

Wirda adalah satu-satunya bidan di Koto TinggiDia bertanggung jawab atas empat wilayah di sekitar ituBukan hanya luasnya wilayah yang menyulitkan Wirda, tetapi juga kondisi daerahnya yang berbukit-bukit"Untuk mencapai daerah-daerah itu, kadang kami harus berjalan kaki berjam-jam," kisahnya.

Kalau sekadar datang untuk melakukan pemeriksaan rutin, bagi Wirda bukan masalahMeski berat, apalagi dengan kondisi yang hamil tua, ibu tiga anak itu tampaknya tak ingin mengeluhBaginya, itu adalah tugas mulia"Ini kan amanah, BuSaya bersyukur bisa berbuat untuk orang lain," tambahnya.

Tetapi, optimismenya bisa berubah menjadi tangis yang tak berujung, "Ketika ada yang proses kelahirannya bermasalah, kami harus menggendongnya turun dengan kain pandukuang (kain untuk mengayun bayi, Red)Setelah sampai di sini, baru dibawa dengan motor ke puskesmas di bawah sanaUntung kalau pas ada mobil lewat, bisa lebih cepat sampai ke puskesmasYang paling saya takutkan adalah kalau ibunya pendarahan," tuturnya dengan raut wajah yang tiba-tiba meredup.
   
Puskesmas terdekat yang dimaksud bidan Wirda itu ada di Korong Patamuan, yang jaraknya hampir 9 kilometerKarena itu, bisa dibayangkan perjuangan dan pengorbanan bidan berjilbab tersebut dalam menjalankan tugasnya.Padahal, katanya sambil tersenyum, "Orang sini cenderung punya banyak anak, BuBisa sampai tujuh-delapan orang anaknya.?
   
Wirda bersyukur sekali, akses jalan menuju ke Patamuan bisa segera membaik"Meski belum normal betul, tapi sudah bisa dilalui motor dan mobilKami bersyukur sekali, Bu," kata bidan itu ketika bertemu lagi dengan saya dan Iyut pada hari ke-40 ituSebab, dalam waktu dekat, dua pasiennya melahirkanKondisi mereka sangat "spesial" dan butuh penanganan khususKarena, "Yang satu tinggi ibunya hanya 135 sentimeter dan ini anak pertamaUntung masih muda, 20 tahunSatunya lagi, sudah umur 40, anemia berat dan ini anak keenam," tuturnya
   
Menurut bidan bertubuh langsing itu, banyak ibu hamil di wilayahnya yang menderita anemiaDia tidak tahu kenapaSebelum saya menemukan jawabnya, dr Teddy Herry Wardhana SpBO, ahli bedah tulang dari RSUD dr Soetomo Surabaya yang saat itu bertugas di RSU Kota Padang, juga mengeluhkan banyaknya korban yang anemiaPadahal, pasien itu harus dioperasi.Dari beberapa dokter di Padang, Pariaman, dan Padang Pariaman yang saya hubungi secara terpisah, saya dapatkan keterangan bahwa anemia dan kolesterol tinggi adalah keluhan kesehatan paling umum di tiga wilayah ituDan stroke merupakan insiden yang sangat sering terjadi di situ
   
Ketika bantuan natura serta pembalut wanita dan mi Sedaaap dari Surabaya tiba, orang pertama yang ingin saya bantu adalah bidan WirdaKhusus untuk pembalut wanita (sumbangan Wing?s Group), sengaja saya kirimkan agak banyak karena saya tahu, betapa berartinya benda itu bagi para ibu yang baru melahirkan atau keguguran.
   
Untung ada bantuan helikopter dari TNI-ADSehingga barang-barang itu bisa dikirimkan ke kampung Wirda tanpa harus memikulnya melalui jalan yang kami lalui pada hari ketujuh ituDengan heli pun, ternyata juga tidak mudah menjangkau wilayah itu karena sebelumnya tidak ada heli yang pernah menurunkan bantuan ke situUntung kami berhasil menghubungi Wirda, sehingga lokasi dropping bantuan itu bisa ditentukan.
   
Meski begitu, karena lokasinya terpencil, maka bantuan-bantuan itu baru bisa disampaikan dua relawan andalan Jawa Pos, yakni Boedi Oetomo dan Robert, setelah matahari agak bergeser dari titik kulminasinya"Kalau tidak ada bantuan yang dikirim dengan heli itu, mungkin kami yang di Koto Tinggi sudah mati kelaparanBantuan ibu itu datang tepat pada saat kami sangat membutuhkan," tutur Basuardi, salah seorang warga Koto Tinggi yang saya temui di perjalanan kedua saya
   
Karena sudah bertemu dengan bidan Wirda dan tahu kondisi daerahnya, saya memutuskan untuk tidak sampai ke Koto TinggiDan perjalanan saya siang itu memang hanya sampai ke rumah Bu Nur.Saat terjadi gempa, separo rumah ibu itu tergerus longsorBegitu pula jalan raya di depan rumahnyaDengan begitu, posisi rumahnya menjadi tepat di bibir jurangUntung, seluruh keluarganya utuh.    Tetapi salah seorang anaknya, Johny, sempat terbawa longsor hingga sejauh kurang lebih satu kilometerSetelah sempat terkubur hingga sebatas leher selama beberapa jam, akhirnya remaja itu berhasil diselamatkan.
   
Johny itu memang malangSaat gempa terjadi, dia berlari ke luar rumahSuatu keputusan yang benarTetapi, siapa menyangka bahwa jalan di depan rumahnya tiba-tiba longsor dan hempas ke perut bumiSehingga dia pun ikut terseret longsor.Karena bagian sampingnya sudah jebol, Bu Nur pun merelakan rumahnya menjadi jalan tembus bagi pejalan kaki dan pengendara motor yang ingin ke Koto Tinggi, yang terletak jauh di atasnya.
   
Ketika itu, saya pun ikut melintasi bagian dalam rumah Bu NurBersama saya ada dua pengendara motor yang membawa bantuan bagi para korban gempaSalah satunya diberikan kepada ibu itu.Pada perjalanan yang kedua, saya hanya sampai di kaki bukit yang menuju ke rumah Bu NurJarak saya dengan rumah itu sebenarnya hanya sekitar 300 meterTetapi karena saya lihat mendung sudah mulai menggelayut di langit, dan sisa jalan beraspal di situ bergetar saat ada motor melintas, saya pun harus mengurungkan niat untuk menemui Bu Nur, yang saya yakin sudah tidak lagi tinggal di rumah yang sudah tak layak huni lagi itu.
   
Dari jauh saya melihat, teras rumah Bu Nur sudah dirobohkan sehingga bisa dimanfaatkan untuk jalanDengan begitu, kendaraan tak perlu lagi menembus masuk rumah Bu NurGambar terbaru dari rumah Bu Nur sudah dimuat harian ini pada rubrik Lensa dengan tema foto-foto Padang Pariaman pada Minggu lalu(bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sukses dan Punya Bisnis, Talkshow Masih Prioritas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler