jpnn.com, JAKARTA - Hampir tidak ada yang menolak dengan kebijakan pemerintah mengatur keberadaan angkutan berbasis daring (online) harus segera diatur.
Itu karena sudah banyak kasus kekecewaan konsumen ke driver angkutan online.Atau pun sebaliknya terhadap angkutan konvensional.
BACA JUGA: Besok Driver Taksi Online Demo Besar-besaran?
Gesekan dengan punggawa angkutan konvensional pun sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Survey Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada April 2017 menyebutkan bahwa tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan angkutan online hanya 59 persen.
BACA JUGA: Tahun Politik, Cegah Polemik Taksi Online Picu Gejolak
Artinya, 41 persen diantaranya pernah dikecewakan oleh pengemudi/penyedia aplikasi.
Jenis kekecewaan bervariasi. Umumnya hal-hal teknis seperti pengemudi minta dibatalkan (22,3 persen), sulit mendapatkan pengemudi (21,19 persen), pembatalan sepihak pengemudi (16,22 persen), serta aplikasi rusak/map error (13,11 persen), sampai pada hal-hal non teknis seperti kebersihan kendaraan, pengemudi tidak datang, tidak jujur, sampai bau asap rokok dalam kendaraan.
BACA JUGA: Aman, Senin Besok Pengemudi Angkutan Online Tetap Beroperasi
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa angkutan online tidak mungkin dilarang. Tapi harus bahwa sistemnya harus diatur, itu mutlak.
Misalnya soal uji Kir, menurut Tulus angkutan online tidak berbeda dengan angkutan umum lainnya yang harus melakukan uji kir. ”Itu demi konsumen, demi perlindungan penumpang,” katanya.
Demikian pula dengan kuota. Perlu dibatasi untuk menghindari ledakan driver yang akan menimbulkan masalah. ”Taksi Uber di London juga dibatasi kuotanya. Dan uber patuh,” tegas Tulus.
Meskipun secara aturan sudah bagus, menurut Tulus, Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 kurang kuat melindungi konsumen.
”Peraturan ini tidak merujuk pasal-pasal dalam Undang-Undang perlindungan konsumen,” katanya.
Di sisi lain, Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpungan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) Anggawira sebenarnya setuju dengan aturan Permenhub tersebut.
Namun dalam beberapa hal, menurut Angga aturan tersebut sangat tidak praktis dan ketinggalan zaman.
Seharusnya, menurut Angga, sebelum mengeluarkan peraturan, Kemenhub harus terlebih dahulu siap dalam perangkat pendukung dan infrastruktur. Misalnya soal KIR.
Dengan sistem Uji KIR yang ada saat ini, kewajiban Uji KIR bisa meribetkan para driver. ”Soal tarif, kuota dan lain lain oke lah, tapi dengan KIR seperti ini, prosesnya jadi makin kompleks,” katanya.
Padahal, seharusnya Regulasi harus menyesuaikan dengan penerapan teknologi informasi. Sebagaimana prinsip lahirnya angkutan berbasis online.
”Harusnya, Uji KIR bisa bekerjasama dengan ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek,Red), sesuai dengan kendaraan masing-masing,” pungkas Angga. (tau)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengemudi Angkutan Online Bakal Demo Besar-besaran?
Redaktur & Reporter : Soetomo