jpnn.com - Di markas PMI Sulteng, Satar bertugas mendata mereka yang melaporkan kehilangan anggota keluarga korban gempa dan tsunami. Tapi, nasib ibundanya sendiri justru belum dia ketahui sampai sekarang.
EDI SUSILO, Palu
BACA JUGA: Cekatan di Lokasi Bencana, Pertamina Memang Jempolan
SATAR akhirnya harus menyerah kepada kondisi fisik. Mendorong sepeda motor di tengah terik benar-benar menguras tenaga.
Rencana kepulangan ke Donggala pada Minggu siang (30/9) itu pun akhirnya harus dibatalkan. Motornya kehabisan bensin saat BBM jadi barang langka di Palu. Menyusul gempuran gempa dan tsunami dua hari sebelumnya.
BACA JUGA: Pushidrosal Kirim Kapal Survei di Perairan Palu Pascagempa
Jadilah, sampai Jumat (5/10) pria 37 tahun itu harus menjalani hari-hari nan ironis. Di markas PMI Sulawesi Tengah (Sulteng) di Palu dia mendata keluarga yang kehilangan anggota keluarga akibat gempa dan tsunami. Tapi, di sisi lain dia justru belum tahu bagaimana nasib sang bunda.
”Saya sampai terbawa mimpi karena tidak bisa mencari ke Donggala,” terangnya.
BACA JUGA: Respons Pertamina Sangat Membantu Evakuasi Korban Bencana
Satar merupakan koordinator Restoring Family Links (RFL) PMI Sulteng. Tugasnya melakukan pemulihan hubungan keluarga pascagempa. Membuat berita keluarga dan menghimpun pencarian keluarga yang hilang. Terpisah oleh kekacauan gempa.
Sebuah tugas krusial. Yang menuntutnya harus selalu siaga di markas PMI. Sebab, pelapor bisa datang kapan saja.
Hingga Kamis lalu (4/10), Satar sudah mencatat sekitar 26 keluarga yang melaporkan kehilangan keluarganya. Data itu akan dikirim ke PMI pusat untuk diasesmen. Kemudian, dicarikan solusi agar bisa bertemu dengan keluarga.
Tugas lainnya adalah menyisir beberapa lokasi terdampak gempa parah. Salah satunya dengan melakukan pendataan jumlah korban yang tertimbun reruntuhan. ”Ada tim yang turun untuk mengecek,” jelas pegawai honorer PMI Sulteng itu.
Di sisi lain, dia harus bergantung pada laporan dari teman-temannya di Donggala. Untuk mengetahui kondisi sang bunda.
Desa Toaya, Kecamatan Sindue, Donggola, kampung halaman Satar, hanya berjarak 20 meter dari bibir pantai. Desa itu luluh lantak disapu tsunami. Banyak bangunan rumah yang hancur. Dengan mayat yang bergelimpangan. ”Saya dapat gambaran desa dari foto kawan,” terangnya.
Perasaan cemas itu semakin bertambah ketika berhari-hari sang bunda, Syamsiah, tidak bisa dihubungi. Namun, relawan gempa dan tsunami Aceh 2004 itu hakulyakin Syamsiah selamat.
”Sejauh ini semua jenazah yang ditemukan tidak berciri mamak saya,” tuturnya.
Rambut sang ibu panjang sepinggang. Sementara jenazah yang ditemukan umumnya berambut pendek.
Satar kali terakhir pulang kampung bulan lalu. Jauh sebelum terjadinya gempa dan tsunami yang menghembalang empat kota dan kabupaten di Sulteng Jumat lalu.
Entah kenapa ketika itu dia mengingatkan ibunya untuk segera menyelamatkan diri jika terjadi gempa. Harus langsung lari ke tempat lebih tinggi. ”Saya yakin mamak ingat pesan itu,” terangnya.
Keyakinan itu bertambah setelah sang ibu ”mendatangi” dia melalui mimpi. Di malam ketiga setelah gempa.
Dalam mimpinya, dia melihat Syamsiah berhasil lari ke bukit. Sebelum tsunami melumat kampung.
Satar belum tahu kapan dirinya bisa pulang. Untuk memastikan kondisi sang ibu. Dia masih menunggu rekan yang bisa menggantikan tugasnya untuk sementara waktu. ”Saya ingin sesegera mungkin menemukan ibu saya,” katanya. (*/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wiranto: Perumnas Balaroa Bakal jadi Makam Masal
Redaktur & Reporter : Soetomo