Di antara sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maria Farida Indrati adalah satunya-satunya perempuanMeski demikian, dia tak mau dianggap sekadar mewakili perempuan di lembaga pimpinan Mahfud M.D
BACA JUGA: Kiprah Kartini-Kartini Penjaga Martabat Hukum di Indonesia (1)
tersebut.ZULHAM M.-ANGGIT S., Jakarta
----------
MARIA Farida Indrati adalah wanita pertama yang menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi (MK)
Sejak dilantik pada Agustus 2008, guru besar Universitas Indonesia (UI) itu menegaskan tidak akan sekadar menjadi pelengkap
BACA JUGA: Mengunjungi Komunitas Wong Jawa di Jantung Kota Bangkok, Thailand
''Ada banyak hal yang bisa saya berikan untuk tetap membela kesetaraan gender semampu saya,'' ujarnya ketika ditemui di gedung MK pekan lalu (17/4).Ibu tiga anak itu memang tidak main-main dengan pandangannya tersebut
BACA JUGA: Firmanzah PhD, Dekan Termuda dalam Sejarah Kampus UI
Akibatnya, di antara sembilan hakim, Maria adalah satu-satunya yang bersuara berbeda.Pada uji materiil yang diajukan calon legislatif (caleg) dari Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Desember silam, Maria mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbedaIbu tiga anak tersebut menilai seharusnya MK tidak mengabulkan permohonan yang akhirnya berdampak pada perubahan besar terhadap lolos dan tidaknya caleg menjadi anggota dewan tersebut.
Menurut dia, sistem suara terbanyak yang ditetapkan MK sangat merugikan perempuan''Terdapat kontradiksi dalam putusan itu,'' ungkapnya.
Menurut dia, ketika di satu sisi MK mendukung adanya affirmative action bagi perempuan, di sisi lain mereka seakan menafikannya dengan menganut sistem suara terbanyakSebab, affirmative action dalam pasal 55 ayat (2) itu dianggap sia-sia bila sistem penetapan caleg menggunakan suara terbanyak.
''Tujuan tindakan affirmative adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di parlemenKarena itu, menggantinya dengan suara terbanyak identik dengan menafikan tindakan affirmative tersebut,'' tegas alumnus Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, tersebut.
Istri Soeparto itu bersyukur karena mampu menjadi satu-satunya wanita di antara sembilan hakim MKNamun, dia tampak rendah hati dan menolak disebut keberadaannya di MK adalah mewakili perempuan IndonesiaBagi dia, sebutan itu terlalu tinggi dan berlebihan.
''Saya sempat tidak mengerti kenapa saya bisa mengalahkan kandidat lain waktu ituSemua itu adalah kehendak Yang Mahakuasa,'' ujar wanita yang bukunya, Ilmu Perundang-undangan, menjadi teks wajib di fakultas hukum beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia tersebut.
Putri pasangan Raden Petrus Hendro-Veronica Sutasmi itu menyatakan sudah terbiasa dengan kesibukan yang padatJumat (17/4), Maria menjadi ketua panel hakim pada pengujian Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi)Staminanya pun terbukti prima.
Bahkan, selama akhir pekan kemarin, wanita itu masih mampu melakukan perjalanan darat dari Solo-Jakarta untuk menghadiri temu wicaraPerjalanan yang ditempuh lebih dari 12 jam itu dilakukan dengan ringan hati''Kami naik Kijang karena konteksnya perjalanan dinas,'' ujar Winda, sekretaris pribadi yang mendampingi Maria.
Perempuan kelahiran Surakarta, 14 Juni 1949, itu layak jadi perhatianBukan saja karena dia hakim konstitusi perempuan pertamaTapi, juga karena perannya yang sangat vital dalam menjadi katalisator dalam pengambilan putusan MKTerutama bagi uji materiil UU yang bersifat sosial seperti UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, UU Kesehatan, serta UU Pornografi dan Pornoaksi.
Ibunda Maria Ayu Prabha Ardhanastri, 27; Albertus Bagus Jati Tyas Seta, 26; dan Nicolaus Aji Kusuma Rah Utama, 24, itu memang sangat berperan dalam sejumlah pengambilan putusan MKTerkait dengan hal itu, dia mengaku bahagia karena putusannya banyak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak''Namun, saya menolak jika disebut bahwa saya ada di sini hanya bermotif gender alias sebagai pelengkap delapan hakim konstitusi pria,'' tegasnya.
Wanita itu juga bertekad menjadi hakim konstitusi perempuan yang sejajar dengan hakim-hakim konstitusi yang bereputasi internasional pada setiap putusannya.
Dia kemudian menyebutkan nama seperti Dr Christine Hohmann-Dennhardt, Prof Gertrude Wolff, Prof Lerke Osterloh, Brigitte Bierlein, serta Lisbeth Lass dari Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht).
Selain itu, Eleonore Berchtold-Ostermann dan Claudia Kahr dari MK Austria (Verfassungsgerichtshof) serta Yvonne Mokgoro, Bess Nkabinde-Mmono, dan Kate O'Regan dari MK Afrika Selatan''Walaupun ingin menggapai mimpi itu, saya masih akan membagi konsentrasi pada dunia akademisi karena telanjur cinta,'' ungkapnya.
Ya, selain bertugas di MK, Maria masih aktif mengajar di Fakultas Hukum UIBiasanya dilakukan setiap Senin''Kalau ke UI, saya naik mobil pribadi,'' jelasnya.
Tapi, begitu harus meluncur ke MK, dia harus menuruti protokoler yang berlaku''Saya pun harus berganti mobil dinas dan menuruti aturan,'' ujarnyaDi UI, dia tercatat sebagai guru besar ilmu perundang-undangan.
Sama halnya dengan hakim-hakim lainnya, Maria termasuk sosok yang amat selektif menerima tamu''Para hakim MK sebenarnya terbukaTapi, kalau ada tamu membicarakan kasus, terpaksa kami menolak,'' ungkapnya.
Meski demikian, Maria mengaku tak berkeberatan diajak berbicara soal teori-teori yang dipelajarinya di kampusDia juga masih sering dimintai pertimbangan sejumlah koleganya dalam penyusunan undang-undang.
Dia mengaku, setelah menjadi hakim MK, kehidupannya berbalik 180 derajatSaat mengajar di Fakultas Hukum UI, Maria bebas berteori''Di sana (Kampus UI) saya bisa ngomong bahwa pendapat saya paling benar,'' ujarnya.
Tapi, di MK, Maria harus bersedia menerima teori-teori delapan hakim lainnya''Saya tidak bisa ngotot bahwa saya paling benar,'' ungkapnya.
Saat rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus perkara, Maria juga harus meladeni perdebatan rekan-rekannya''Wah, kalau sudah RPH itu paling seruUntuk memutuskan bahwa suatu norma berseberangan dengan dalil konstitusi, juga butuh waktu lama,'' jelasnya.
Bahkan, satu perkara saja kadang membutuhkan lima kali RPHPadahal, setiap rapat diselenggarakan tak kurang memakan waktu 5-6 jam.
Sebagai satu-satunya perempuan, Maria juga berani berbeda pendapat (dissenting opinion, DO) dengan delapan hakim lainnyaSetidaknya selama masa tugasnya di mahkamah, dia sudah dua kali mengungkapkan DO.
Selain soal suara terbanyak, Maria berbeda pendapat dengan hakim lain terkait dengan pemberian sanksi pidana kepada perusahaan yang tak bisa menjalankan program corporate social responsibility (CSR)''Sebab, praktik di negara maju mana pun, tanggung jawab bersifat sukarela,'' ungkapnyaAtas perbedaan sikapnya itu, dia banyak menuai simpati.
Banyaknya volume perkara di MK membikin dirinya harus menjaga staminaUntuk itu, MK sudah menyiapkan sejumlah jurusPengecekan kesehatan dilakukan saban dua hari sekali''Tekanan darah dicek, juga diberikan sejumlah multivitamin,'' katanya.
Dia juga menjaga makanan yang disantap''Kalau yang ini, prinsipnya sederhanaTidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit,'' ujarnya.
Meski MK kerap mengeluarkan putusan kontroversial, dia bersyukur tidak pernah mendapatkan tekanan pasca putusan itu diketok''Syukur, sampai saat ini tidak ada yang begitu,'' jelasnya.
Dia juga mengaku tidak pernah mendapatkan tawaran dari pihak mana pun untuk memutus sesuai kehendak pemesan''Yang begitu-begitu tidak ada di MK,'' tegasnya(nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menjual Panaitan, Pulau Surga Wisata Laut di Dekat Ibu Kota
Redaktur : Tim Redaksi