Kisah Bintara yang Sukses "Taklukkan" Dua Jenderal di Sudan Selatan

Jumat, 29 April 2016 – 10:56 WIB
MEWAKILI INDONESIA: Anra Nosa saat mengawasi kamp pengungsi di Juba, Sudan Selatan. FOTO: DOKUMENTASI ANRA NOSA FOR JAWA POS

jpnn.com - Anra Nosa sukses ”memimpin” para jenderal dan perwira menengah yang menjadi anak buahnya dengan pandai-pandai menempatkan diri. Dia dipercaya jadi team leader setelah berhasil mengatasi demonstrasi besar di markas United Nations (UN/PBB) Police di Juba, Sudan Selatan. 

 

BACA JUGA: Borobudur dan Pertemuan Para Shaolin

GUNAWAN SUTANTO, Jakarta

-----------------------------------------------

BACA JUGA: Sempat Lega Dengar Kabar Pelayaran Anaknya Dikawal Kapal Perang

 

MEDIASI yang berjalan lancar itu akhirnya selesai. Para kepala suku yang semula bersitegang sepakat untuk mengakhiri perkelahian di area pengungsian. 

BACA JUGA: Kimilsungia, Tanda Keakraban Bung Karno - Kim Il sung

Satu per satu meninggalkan markas United Nations (UN/PBB) Police di Juba, Sudan Selatan, itu. Kecuali seorang kepala suku yang justru memilih menghampiri Anra Nosa. 

”Maukah kamu menjadi menantu saya?” tanyanya dengan mimik serius. 

Polisi berpangkat bripka tersebut tentu saja kaget. Dia meyakinkan si kepala suku bahwa dirinya telah menikah. ”Tapi, dia tidak peduli dan terus merayu saya agar mau menjadi menantunya,” kenang penyidik Ditreskrimum Polda Riau itu. 

Rupanya, kepala suku tersebut kepincut dengan pendekatan humanis Anra selama proses mediasi yang berlangsung pada Januari lalu itu. 

Akhirnya, setelah terus diyakinkan, si kepala suku bisa menerima bahwa bintara 33 tahun tersebut telah memiliki istri di Indonesia. 

”Padahal, yang saya lakukan itu ya biasa saja kalau di Indonesia,” kenang Anra yang saat ini masih berada di Juba dalam perbincangan dengan Jawa Pos via aplikasi chatting.  

Menurut Anra, dirinya memperlakukan para pengungsi itu bak tamu di rumah sendiri. Minuman dan makanan ringan dia suguhkan dengan wajah semringah. Sembari menanamkan pengertian kepada para kepala suku agar mengakhiri ketegangan. 

Mungkin memang terlihat biasa di Indonesia. Tapi, di tengah kecamuk konflik horizontal di Sudan Selatan, negeri yang baru pada 2011 memisahkan diri dari Sudan, keramahan Anra itu rupanya begitu membekas. 

Kinerja apik itu pulalah yang membuat Anra mendapat kepercayaan besar selama bertugas di UN Police: menjadi team leader. Untuk seorang bintara, jabatan sebagai pemimpin tim itu istimewa. 

Sebab, dengan posisi tersebut, Anra yang bertugas di Sudan Selatan sejak Agustus 2014 memimpin dua jenderal polisi serta belasan perwira menengah (pamen) dari negara lain. ”Saya juga tak menyangka dipercaya menjadi team leader di UNMISS (United Nations Mission In South Sudan),” ucapnya.

Jabatan team leader dalam UNMISS itu diberikan kepada Anra karena dianggap berhasil mengendalikan demo besar-besaran di kamp pengungsian Sudan Selatan. 

Sejak merdeka, Sudan Selatan memang tak pernah sepi dari konflik. Skornya di Fragile States Index (dulu Failed States Index), daftar yang disusun Fund for Peace dan majalah Foreign sejak 2005, juga selalu tertinggi.    

Nah, pada November 2015, terjadilah demo besar itu. Kolonel Mario dari Jerman, team leader ketika itu, memerintah anggotanya untuk memasukkan pendemo ke holding facility (semacam penjara). 

Tapi, Anra yang ketika itu menjadi anak buah Mario menolak kebijakan tersebut. Dia mengusulkan penanganan pendemo yang lebih humanis.

”Ketika itu saya ingat yang diajarkan komandan saya saat masih di Polda Riau. Menangani pendemo itu harus didahului dengan cara yang humanis,” ujarnya. 

Anra akhirnya memutuskan bertindak sendiri. Dia menerima pengunjuk rasa dan menanyakan apa kebutuhannya. 

Ternyata, mereka hanya ingin diwadahi ke dalam World Food Supplement, sebuah organisasi PBB yang menangani persoalan makan pengungsi. Problem pun tertangani dengan baik. 

Beberapa hari kemudian, Anra dipanggil Senior Representative Secretary General (SRSG) yang dipimpin seorang jenderal perempuan dari Angkatan Darat Inggris. Anra dianggap lebih layak menjadi team leader. 

Jadilah sejak Desember 2015 itu, dia menggantikan peran Kolonel Mario. Menjadi team leader, memimpin 35 personel UN Police dari segala penjuru negara. 

Di tim tersebut ada dua brigjen polisi asal Ethiopia. Sementara itu, pamen lainnya berasal dari Argentina, Brazil, Norwegia, Rumania, Belanda, dan sejumlah negara Afrika.

Anra sadar, seorang bintara memimpin para perwira bukan hal mudah. Namun, dia berupaya mengatasi resistensi dengan pandai-pandai menempatkan diri. 

”Saya dari bintara. Jadi, paham bagaimana rasanya menjadi anak buah. Saya tetap perlakukan sebaik mungkin anak buah saya,’’ ujarnya.

Jika ada yang berbuat salah, Anra berupaya menegur dengan cara memanggil. Mengajaknya bicara empat mata. ”Bagaimanapun, mereka kan pangkatnya tinggi di negaranya,” katanya. 

Cara itu, menurut dia, ternyata sukses ”menaklukkan” para pamen dan jenderal. Mereka jadi mudah dikendalikan. 

”Memang riak-riak itu ada. Terutama ketika ada jenderal yang diperintah anggota lain. Dia bilang, ’Saya ini jenderal. Yang berhak perintah saya itu hanya Anra,’,” katanya.

Di Sudan Selatan, ada beberapa tugas yang harus dilakukan personel UN Police. Utamanya melindungi para pengungsi yang menjadi korban konflik politik dan etnis di Sudan. Ada 40 ribu pengungsi yang harus mereka tangani. 

Tugas lain ialah memberi para pengungsi itu akses ke lembaga lain. Misalnya, UNICEF, WHO, WFP, UNESCO, World Vision, dan Concern World Wide.

Anra merupakan bagian dari 76 polisi asal Indonesia yang diberangkatkan ke berbagai misi kemanusiaan PBB. Mulai pangkat brigadir satu (briptu) hingga ajun komisaris besar polisi (AKBP).

Sebanyak 76 personel itu merupakan saringan dari 560 anggota Polri yang mendaftar. Untuk yang berangkat ke Sudan Selatan, ada 15 polisi. 

Mereka lolos dari serangkaian tes yang dilakukan United Nations Selection and Assessment Team (UNSAAT). ”Proses seleksinya panjang, 1 tahun 9 bulan. Tesnya mulai dari bahasa Inggris, mengemudi, hingga menembak,” terang Anra. 

Anra mengaku, proses seleksi itu merupakan tantangan terbesarnya. Dia sempat deg-degan dan sedikit trauma. Sebab, Anra pernah dua kali gagal dalam tes masuk Akademi Polisi (Akpol). 

”Sempat merasa rendah diri. Sebab, yang ikut tes kan banyak perwiranya,” kenang peraih skor TOEFL 500 itu.

Anra juga sempat ragu mengikuti tes karena ketika itu dirinya hendak mempersunting Marisa Titany yang kini menjadi istrinya. Bahkan, ketika akhirnya lolos dan berangkat ke Sudan, Marisa tengah hamil. 

Anra baru sempat cuti untuk melihat buah hatinya itu pada Maret lalu. Anak lelaki pertama tersebut dia namai Titan El Juba. Nama belakang itu diambil dari ibu kota Sudan Selatan, tempatnya menjalankan misi perdamaian PBB selama ini.

Prestasi Anra di UN Police itu membuat Mabes Polri mengizinkan perpanjangan penugasan. Awalnya, para polisi yang tergabung dalam misi PBB hanya diberi waktu tugas satu tahun. 

Namun, khusus mereka yang memiliki posisi istimewa di UN Police, diberikan perpanjangan penugasan 2 x 6 bulan. Saat ini hanya tersisa empat polisi Indonesia dalam misi PBB, termasuk Anra.

Seperti Anra, tiga polisi lainnya juga mendapat tempat terhormat di UN Police. Mereka adalah Kompol Eko Budiman yang kini menjadi operational officer FPU Support Officer. Lalu, AKP Agung Wahyudi yang menjadi Unpol Chief of Rotations Unit. Dan, Bripka Hariyanto yang menjadi investigator di kantor OIOS (Office of Internal Oversight Service) di UNMISS. 

”Dari misi PBB ini saya melihat polisi kita itu ternyata lebih mengedepankan pendekatan humanis daripada negara lain,” katanya.

Banyak kenangan yang didapat Anra selama bertugas di PBB. Paling banyak mengatasi demo pengungsi. ”Namun, demo-demo itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan di Indonesia, hehehe,” katanya. 

Terlahir dari keluarga polisi, Anra sejak kecil memang ingin menjadi bagian dari keluarga besar Korps Bhayangkara. Orang tuanya merupakan polisi dari jalur tamtama dan pensiun dengan pangkat komisaris polisi (kompol). 

”Sebenarnya, keluarga saya ingin saya jadi dokter. Tapi, saya ingin jadi polisi. Apalagi ada kakak saya yang berhasil menjadi perwira TNI-AD dan polisi,” ujar anak keempat di antara lima bersaudara itu.

Anra sempat didaftarkan kuliah ke sebuah fakultas kedokteran universitas di Bandung. Namun, Anra memilih pulang ke Palembang, kota asalnya. Dia mencoba peruntungan dalam tes Akpol pada 2001. 

Percobaan pertama itu gagal karena persyaratan danem. Tak putus asa, dia mencoba masuk polisi melalui jalur bintara. ”Sebab, saya dengar ada jalur masuk Akpol kalau berhasil menjadi 20 besar di pendidikan,” cerita pria berzodiak Scorpio itu. 

Saat itu Anra berhasil lulus dan masuk ranking ke-4. Dua tahun menjadi bintara, Anra mendaftar Akpol lagi, tapi kembali gagal. Rupanya, ranking dalam pendidikan bintara tidak berpengaruh. 

Kendati belum kesampaian menjadi perwira, Anra boleh berbangga karena berhasil memimpin para perwira. Dari berbagai negara lagi. 

Meski demikian, keinginannya menjadi perwira belum surut. ”Setelah pulang dari misi PBB nanti, saya coba ikut tes perwira lagi,” ujarnya. (*/c6/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keris Bertuah dari Penjaga Makam, Ada Lambang Golkar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler