jpnn.com - Gebyar Hari Pendidikan Nasional 2019 di Sulut terasa berbeda. Tahun ini, hajatan yang dibesut Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sulut lebih menonjolkan kemampuan anak-anak PAUD dan berkebutuhan khusus.
Mesya Mohamad, Manado
BACA JUGA: Menristekdikti: Pembangunan Pendidikan Berkualitas jadi Target SDGs
AULA Dinas Pendidikan Sulut, sore itu penuh dengan siswa dari berbagai kabupaten/kota. Mulai dari anak-anak di bawah usia lima tahun hingga menengah atas.
Ya, Gebyar Hardiknas Sulut yang dihelat 25 April sampai 1 Mei, lebih didominasi pentas seni dan budaya. Menariknya pengisi acaranya didominasi anak-anak berkebutuhan khusus.
BACA JUGA: Gebyar Hardiknas di Sulut Bikin Sekjen Kemendikbud Terpukau
Banyak yang terkesima melihat sekelompok siswa berwajah tampan dan cantik menarikan tarian Katrili. Tarian anak muda yang merupakan afiliasi dari budaya Minahasa dan Portugis. Mereka adalah anak-anak tunarungu.
Tarian yang terbilang rumit dan butuh kekompakan ini bisa dibawakan 12 siswa SLB (sekolah luar biasa) dengan sempurna, meski tanpa mendengarkan musik. Mereka hanya menari sesuai ketukan yang dihitung dalam hati.
BACA JUGA: Wagub Sulut Merasa Kesulitan Atur Pemkab / Kota soal Pendidikan
Anak – anak PAUD, meski tunarungu tapi terampil menari. Foto: Mesya/JPNN.com
Adalagi tarian Gemu Fa Mi re asal Maumere yang juga dibawakan siswa berkebutuhan khusus. Sekjen Kemendikbud Didik Suhardi sampai terpukau melihat penampilan mereka dan ikut bergoyang.
"Enggak nyangka ini anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka bisa mengikuti irama dengan baik padahal tidak bisa mendengar," ujar Didik.
Kekaguman Didik bertambah manakala melihat penampilan anak-anak autis. Walaupun banyak tingkah anak-anak austis yang bikin orang tertawa tapi di balik itu mereka luar biasa.
BACA JUGA: Tol Probolinggo – Banyuwangi, Meliuk Melewati Punggung Pegunungan dan Tepi Pantai
Seperti penampilan Rizky Korompis. Siswa Sekolah Autis Permata Hati Manado ini bisa menyanyi sekaligus main organ tunggal. Tidak salah bila pemilik suara merdu ini sering tampil di berbagai gereja.
"Rizky adalah satu-satunya siswa autis di Sulut yang bisa main organ tunggal dan menyanyi. Dia juga barusan selesai mengikuti UNBK (ujian nasional berbasis komputer) di SMALB (sekolah menengah atas luar biasa)," kata Kepsek Autis Permata Hati Manado Carol Samola kepada JPNN.
Keberhasilan Rizky ini sejatinya berkat tangan dingin guru-guru Sekolah Autis Permata Hati Manado. Carol menceritakan suka dukanya mengasuh anak-anak autis. Bukan satu kebetulan ibu tiga anak kelahiran 13 September 1971 ini mencintai dunia anak-anak autis.
Bermula ketika Carol dan suaminya Feriyando Lamaluta mendapatkan kabar mengejutkan dari dokter spesialis anak di Jakarta. Putra sulungnya, Marcellino Josias, divonis menderita penyakit autis.
Saat itu Marcel, sapaan karib Marcellino berusia 8 tahun. Di dunia kedokteran, proses penyembuhan autis akan lebih mudah ketika anak berusia 1-2 tahun. Di sini letak peran orang tua. Orang tua harus jeli melihat perkembangan anaknya.
Ketika anak tidak merespons saat komunikasi dengan orang-orang sekitarnya, lambat bicara, pandangan mata tidak fokus, orang tua harus waspada. Istilah anak telat bicara seperti kata orang-orang zaman old, tidak boleh dijadikan pegangan. Sebab, bisa jadi si buah hati sudah terserang autis.
Seperti itu yang dialami Carol. Marcel yang lambat bicara dinilai hal wajar. Apalagi di Sulut saat itu belum ada dokter spesialis autis. Sampai akhirnya, Carol ke Jakarta dan konsultasi ke beberapa dokter spesialis anak.
BACA JUGA: Basri Latief Patut jadi Contoh Bagi para Caleg yang Gagal
Bak disambar petir, Carol tersentak begitu anaknya divonis autis. Proses terapi pun dilakukan. Sayangnya, perkembangannya lambat karena Marcell sudah berusia 8 tahun.
"Jadi semakin bertambah umur, anak autis itu makin besar tenaganya. Saya menyesal sekali terlambat menangani Marcell. Padahal tanda-tanda dia autis itu sangat kelihatan," keluhnya.
Salah satu tanda yang membuat Carol yakin putranya kena autis adalah saat Marcell membenturkan kepalanya di tembok. Kebiasaan ini dilakukan bila keinginannya tidak dipenuhi. Begitu juga saat kakinya robek kena benda tajam tapi Marcell tidak merasakan sakitnya.
Kini, Marcell sudah berusia 25 tahun. Penyakit autisnya belum sembuh tapi ada perubahan sikap. Marcell bisa berkomunikasi dengan dua adiknya, Katyana (11) dan Azzalea (8).
Berkaca dari kisah Marcell itu Carol pada 2005 membangun sekolah khusus anak autis. Bermodalkan semangat membantu anak-anak autis, Carol mengajak beberapa temannya yang juga punya anak autis membuka sekolah. Di awal-awal, hanya tujuh anak yang ikut. Kini jumlah siswanya hampir 200 orang.
Tidak mudah mengelola sekolah autis. Namun, bagi pemimpin Yayasan Marcellino Josias, niatnya menolong anak-anak autis dari keluarga tidak mampu lebih besar.
Dari sekitar 200 siswa, lebih dari 50 persen berlatarbelakang kurang mampu. Itu artinya mereka tidak bisa membayar dana selama bersekolah.
Anak-anak autis ini mulai belajar dari pukul 08.00 hingga 17.00. Tidak seperti layaknya sekolah umum, anak-anak autis lebih banyak diberikan terapi. Seperti toilet training, bina diri, diet makanan yang mengandung susu, gula, dan tepung, serta terapi lainnya. Kalau mereka sudah lulus dari berbagai terapi ini, bisa direkomendasikan untuk lanjut ke SLB.
Menurut Carol, menangani anak-anak austis ini harus khusus. Itu sebabnya, satu guru hanya meng-handle satu siswa. Saat ini dia hanya memiliki 12 guru. Sebelum mengajar mereka dilatih tiga bulan.
"Guru-guru ini harus punya sifat pelayanan tinggi. Mereka hanya digaji Rp 700 ribu tapi pekerjaannya sangat berat. Misalnya, ada anak autis berat. Dia enggak tahu menggunakan toilet. Akhirnya dia buang air besar di kelas. Gurulah yang membersihkannya," tuturnya.
Carol sangat beruntung memiliki 12 guru yang mencintai anak-anak autisnya. Dia pun berusaha memenuhi semua kebutuhan para gurunya.
Pernah, Carol kehabisan dana untuk membayar gaji gurunya. Maklum saja. Meski ada bantuan dari pemerintah tapi tiap hari ada saja fasilitas sekolah yang dirusak anak-anak autis ini. Akibatnya dana yang ada dipakai untuk perbaikan fasilitas kelas. Agar guru-gurunya bisa menerima haknya, Carol dan Feriyando menjual handphone kesayangannya.
"Kasihan kalau gaji mereka tertunda. Prinsip saya jangan sampai guru-guru "puasa". Pekerjaan mereka sudah berat jadi jangan ditambah lagi dengan urusan gaji," terangnya.
Keberhasilan Sekolah Autis Permata Hati Manado yang mengantarkan anak-anak autis ke SLB, membuat Dinas Pendidikan Sulut memberikan perhatian lebih. Apalagi jumlah sekolah autis sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari.
Carol hanya berharap Kemendikbud memberikan bantuan satu dokter dan satu psikolog di sekolahnya. Anak-anak autis harus selalu dipantau oleh dokter dan psikolog untuk mempercepat proses pemulihannya. Memang tidak mudah menyembuhkan anak autis tapi para orangtua jangan sampai menyerah. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Penyesalan, Pelaku Pencabulan Anak Bercerita Sambil Tersenyum
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad