Kisah Dua Kowal Cantik yang Terpilih Jadi Pilot Perempuan TNI-AL

Minggu, 15 Mei 2016 – 18:40 WIB
TANGGUH: Sri Utami (kiri) dan Ravika Kennarni setelah berlatih di Puspenerbal Juanda Surabaya. FOTO: JAWA POS

jpnn.com - Sebagai seorang perempuan, menekuni profesi yang didominasi kaum lelaki merupakan pengalaman yang luar biasa. Misalnya, yang dialami Ravika Kennarni dan Sri Utami. Mereka adalah dua pilot di lingkungan TNI-AL Indonesia.

 

BACA JUGA: Tolak Uang dari Pemohon SIM, Polisi Ini Nyambi jadi Pengepul Sampah

THORIQ S. KARIM, Surabaya

--------------------------------------------

BACA JUGA: Si ABG Biang Kerok Pencabulan Itu Sosok Bandel Banget...


PENGALAMAN pertama terbang sendiri (solo) mereka alami dua tahun lalu. Sri Utami, 27, menerbangkan helikopter, sedangkan Ravika Kennarni, 25, membawa pesawat Tobago. 

“Terbang solo kami yang pertama di Semarang,” ujar Sri Utami. Perempuan yang akrab disapa Tami itu menceritakan pengalaman membawa alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik TNI-AL tersebut.

BACA JUGA: Korban Pencabulan di Surabaya, Pendiam di Sekolah, Centil di Kampung

Tentu, perasaan takut menyelimutinya. Bukan hanya nyawa, tetapi armada yang dikemudikannya itu sangat mahal. Salah mengemudikan bisa berakibat fatal. Perasaan tersebut makin menumpuk saat baling-baling helikopter berputar. Perlahan, tangan kiri memegang panel di sisi kiri tempat duduknya. 

Panel itu berfungsi mengendalikan ketinggian helikopter. Lalu, tangan kanannya memegang tongkat yang berfungsi mengen- dalikan arah pesawat.

’’Kami sudah biasa melakukan itu, tapi pada simulator,’’ ucap perempuan kelahiran Banyuwangi itu Tentu ada perbedaan jauh. 

Di simulator, risiko yang ditanggung sangat ringan. Dua tangan sudah melekat di panel dan stik. Tami lalu meletakkan dua kakinya di dua pedal di bawahnya. Pedal itu bertujuan mengendalikan keseimbangan helikopter agar tidak goyang. 

’’Jantung semakin berdebar setelah saya berada di posisi siap terbang,’’ katanya. Perlahan, tangan kirinya menarik panel pengendali ketinggian pesawat. Tami melihat pesawat yang ditumpangi bergerak naik. 

Ayunan mulai terjadi. Dia berusaha menyeimbangkan pesawat itu dengan menekan pedal di kakinya. ’’Setelah tenang, panel saya tarik dan helikopter semakin naik,’’ ungkapnya.

Pesawat pun semakin tinggi. Setelah berada di posisi 5 meter dari permukaan tanah, Tami mulai menggerakkan tongkat di tangan kanannya ke depan. Helikopter itu pun terbang ke depan. 

’’Saya semakin fokus, konsentrasi, tidak boleh lengah,’’ kata perempuan yang hobi olahraga lari itu. Dua tangan dan kakinya fokus mengendalikan pesawat tersebut. 

Saat angin kencang, kaki harus bisa mengatur pedal agar helikopter tetap seimbang. Begitu juga tangan kanan, tidak boleh terlalu kencang menggeser tongkat. Semua harus dilakukan pelan-pelan agar terbang bisa nyaman. ’’Keringat terus keluar karena menahan rasa takut,’’ paparnya.

Tidak lebih dari 5 menit sejak helikopter lepas dari landasan, Tami mulai sedikit lega. Dia bisa menguasai keadaan. Tami justru semakin penasaran. ’’Saya mengitari lapangan latihan dengan helikopter tersebut. Ada rasa puas dan bangga,’’ ucapnya. 

Lebih dari 20 menit berkeliling, Tami menapaki babak baru, yakni mendaratkan helikopter. Ada prosedur yang harus diperhatikan. Mulai lokasi pendaratan, arah angin, hingga kondisi di lapangan.

Lokasi pendaratan sudah disiapkan. Dia lalu melihat arah angin. Itu dilakukan untuk menentukan dari arah mana dia mendarat. Setelah siap, dilakukan pendaratan. Tami berkonsentrasi pada pedal di kakinya. 

Dia harus mengatur keseimbangan agar helikopter tetap konsisten. Setelah itu, dia menurunkan panel di tangan kanannya. Perlahan, helikopter itu pun turun. Begitu helikopter menempel permukaan tanah, kaki Tami tetap menahan dua pedal tersebut. Setelah kondisinya stabil, anak almarhum Abastomi dan Ponikem itu mencari panel di sisi atas sebelah kiri. 

’’Panel itu untuk mematikan mesin dan baling-baling,’’ ujarnya.

Pengalaman tidak jauh berbeda dirasakan Ravika saat terbang pertama dengan pesawat Tobago. Lokasi tes terbang solo juga berada di Semarang. Berbeda dengan helikopter, pengendalian pesawat berada di sisi kiri. 

’’Saya duduk sendiri di kursi kiri,’’ ujar perempuan yang akrab disapa Vika tersebut. Kala itu kondisi mesin sudah menyala. Baling-baling sudah berputar, tetapi posisi pesawat belum berada di landasan pacu. 

Vika pun mengarahkan pesawat ke landasan tersebut. Dua tangannya melekat di kemudi yang berada di depannya. Lalu, kakinya menempel di dua pedal untuk mengarahkan pesawat belok kanan atau kiri. ’’Pengalaman itu hanya saya dapatkan di simulator,’’ katanya.

Setelah posisi pesawat di landasan pacu, Vika mulai fokus. Perlahan, tangan kanannya menarik panel di sisi kiri. Panel itu berfungsi mengatur kecepatan pesawat. Perlahan, pesawat Tobago milik TNI-AL tersebut melaju. 

Dua kaki perempuan kelahiran Jakarta itu menjaga keseimbangan melalui pedal. Setelah kecepatan pesawat pada posisi sempurna, dua tangan Vika menarik kemudi di depannya. ’’Saat itu moncong pesawat mulai mendongak dan melaju ke atas,’’ ucapnya.

Pesawat mulai menjauh dari permukaan tanah. Dua tangan Vika terus memegang kemudi tersebut. Guncangan mulai dirasakan. Apalagi saat pesawat memasuki awan. Badan pesawat sedikit bergoyang. ’’Saya sempat kaget, tapi berusaha menenangkan diri,’’ jelas perempuan yang hobi memasak itu.

Radar yang menunjukkan ketinggian pesawat terus bergerak. Vika akan terbang di ketinggian 1.000 kaki. Setelah jarum di radar menunjuk angka 1.000 kaki, dia mulai menekan panel kemudi tersebut. Badan pesawat tidak lagi mendongak, tetapi berubah datar. ’’Perjalanan di udara pun dimulai,’’ ungkapnya.

Vika mulai mengelilingi udara dengan menggunakan pesawat latih tersebut. Dia melihat peman- dangan Semarang dari udara. Perasaan takut berganti menjadi rasa puas dan bangga. ’’Saya tidak menyangka bakal bisa menerbang- kan pesawat,’’ ujar anak ketiga dari pasangan Sunardi dan Tuti Septiartika itu.

Sekitar 20 menit di udara, Vika mulai memasuki babak selanjutnya, yakni pendaratan pesawat. Dia melihat radar dan lokasi landasan pacu. Setelah menemukan titik pendaratan, dia menyesuaikan arah. Badan pesawat harus lurus dengan landasan tersebut.

Tangan kanan mendorong panel di sisi kanan kursi. Selanjutnya, laju pesawat mulai berkurang. Vika menekan panel kemudi di depannya. Perlahan, badan pesawat mulai turun.

Sesekali mata Vika melirik radar horizontal untuk memastikan posisi pesawat lurus atau tidak. Perlahan, badan pesawat mende- kati permukaan tanah. Panel kecepatan pun semakin dikurangi. 

’’Saya sangat tegang waktu itu,’’ ungkapnya.

Saat pendaratan tiba, ban pesawat menempel tanah. Setelah roda pesawat menempel tanah, kecepatan dihentikan sehingga laju berkurang perlahan. ’’Itu pengalaman pertama yang menyenangkan,’’ kata Vika.

Vika dan Tami merupakan siswa Pusat Penerbangan TNI-AL (Puspenerbal). Mereka bergabung di TNI-AL melalui tes calon bintara pada 2010. Setelah lolos, Tami ditugaskan di Manado, sedangkan Vika di Belawan. Pada 2012 

Puspenerbal membuka pendaftaran calon penerbang perempuan. Sedikitnya 200 kowal TNI-AL mendaftar program tersebut. 

Dari 200 orang itu, hanya 10 yang dipanggil. ’’Setelah diseleksi, hanya dua yang diterima,’’ jelas Vika.
Tes yang dilalui cukup berat. Ada tes akademik, psikotes, dan fisik. Tim penguji pun selektif. 

Sebab, pilot harus memiliki kemampuan di atas rata-rata. Mereka harus mampu menentukan sikap dalam hitungan detik. Salah mengambil langkah bisa fatal. Kini, baik Vika maupun Tami sedang mengikuti sekolah calon perwira. Keseharian- nya, dua perempuan itu memang belum berpangkat. 

Namun, akhir tahun nanti mereka menyandang pangkat letnan dua. Setelah menerbangkan pesawat, mereka punya keinginan yang cukup unik. Tami ingin terbang membawa helikopter ke rumahnya di Banyuwangi. 

Adapun Vika ingin mengajak orang tuanya keliling patroli maritim di Laut Jawa. (*/c15/oni)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ritual Pati Nyawa Adat Dayak, Sesaji-sesaji Itu...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler