Kisah Hebat Anak-anak Suku Dayak Amandit Menggapai Impian

Jumat, 29 Januari 2016 – 00:39 WIB
TINGGAL KENANGAN: Alda menunjukkan kondisi jembatan kayu usang yang menjadi saksi bisu perjuangannya menuju ke sekolah. Di bawah jembatan mengalir arus air Sungai Amandit di Lokluhung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Foto: SUSILO/JAWA POS

jpnn.com - PARA murid SDN Loklahung, Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, harus berkalang peluh. Mereka harus bertaruh nyawa hanya untuk ke sekolah.

SUSILO, Kalimantan Selatan

BACA JUGA: Air Mata Terus Mengalir, Baju Jubah Saya Basah dengan Keringat Takut Dosa

MALAM belum beranjak pergi. Semburat sang fajar pun belum tampak. Alam masih terbuai dalam peraduan. Namun, Alda sudah berkemas. Gadis cilik yang kini duduk di kelas IV SDN Loklahung itu bergegas menggendong tasnya yang berisi buku-buku. Dia lantas pamit, mencium tangan neneknya yang masih berbaring di kasur.

Alda selama ini tinggal bersama neneknya di Dusun Manakili, Kecamatan Loksado. Sebuah dusun di kaki Gunung Meratus. Untuk menuju ke Loksado, dibutuhkan waktu empat jam dari Bandar Udara Syamsudin Noor melalui jalur darat sejauh 175 km.

BACA JUGA: Polisi Hebat, Jemput Anggota Kelompok Bersenjata Hanya Ditemani Seorang Staf

Orang tua Alda, Dulipi, 50, dan Arasah, 41, bekerja dan menetap di daerah perkotaan Loksado. Hampir setiap hari Alda berangkat ke sekolah lebih awal. Kira-kira pukul 04.15 Wita. Saking paginya, dia tidak sempat menyantap sebutir nasi pun untuk sarapan.

Perjalanannya ke sekolah dari Manakili sejauh 7,5 km. Jarak itu pun ditempuh dengan berjalan kaki. Alda harus melewati medan yang tidak bersahabat. Mulai hutan yang dikelilingi pepohonan nan menjulang, jalan setapak berbatu, sampai meniti jembatan kayu usang sepanjang 80 meter yang di bawahnya mengalir sungai berarus deras. ’’Sering juga kehujanan,’’ kata Alda, lantas tersenyum.

BACA JUGA: Nyonya Tua Nan Cantik Makin Memikat

Pada siang terik tersebut, Alda berbincang dengan Jawa Pos di ruang guru SDN Loklahung. Hari itu wartawan Jawa Pos singgah dalam rangkaian corporate social responsibility (CSR) Datsun Risers Expedition Etape 2 yang berlangsung pada 19–22 Januari.

Tidak terpancar di wajahnya mimik kesedihan. Justru sebaliknya, Alda begitu bersemangat menceritakan perjalanannya ke sekolah. Namun, dia terdiam sejenak. Gadis itu seakan teringat sesuatu.

Ya, pengalamannya melewati jalan setapak berbatu. Kala itu kilat petir menyala-nyala. Tanda hujan segera turun. Alda lantas berlari secepatnya agar seragamnya tidak basah. ’’Kaki sempat lecet karena terpeleset dan kena batu,’’ ungkapnya dengan logat Melayu Banjar, khas suku Dayak Amandit yang mendiami hulu sungai pegunungan Meratus.

Apa daya, hujan lebih cepat mengguyur. Tak ada kesempatan bagi Alda untuk mencari tempat berteduh. Sebab, di sepanjang jalan setapak itu tidak ada pepohonan yang bisa melindunginya dari air yang tumpah dari langit. Seragamnya basah. Begitu pun tasnya yang berisi buku-buku. Namun, semangatnya untuk segera sampai ke sekolah tidak surut. Alda terus berjalan menelusuri medan berlumpur.

Separo perjalanannya sudah terlampaui. Biasanya, memasuki wilayah Loklahung, dia bertemu dengan teman-teman sekolahnya di simpang empat jalan desa. Setidaknya, hal itu membuatnya lega. Dia tidak lagi berjalan sendiri hanya ditemani suara jangkrik atau burung-burung malam.

Ujian tidak sampai di situ. Di pengujung perjalanan, Alda dan teman-temannya harus menyeberangi Sungai Amandit dengan meniti jembatan kayu yang telah usang. ’’Waktu itu belum ada jembatan besi,’’ ucap Alda yang bercita-cita menjadi atlet.

Jembatan tersebut tersusun dari kayu-kayu lapuk. Sebagian sudah patah dan berlubang karena termakan usia. Maklum, umur jembatan tersebut sudah mencapai puluhan tahun.

Alda mengungkapkan, kondisi akan menyeramkan saat hujan lebat dan arus sungai mengalir deras. Dia pun harus terus berlari seraya mewaspadai langkah kakinya agar tidak terjeblos. ’’Pernah hampir jatuh ke sungai,’’ kenangnya.

Alda sudah lumrah belajar dalam kondisi seragam basah hingga kering kembali. Itu semua hanya sepenggal cerita getirnya selama ke sekolah ketika masih duduk di kelas I–III. Kini Alda tinggal bersama orang tuanya di Kota Loksado. Dia pindah karena tidak ingin merepotkan neneknya yang kian renta. ’’Nenek sudah tidak bisa bertani. Dia istirahat saja,’’ terang Alda dengan pandangan berkaca-kaca.

Sesekali dia dan orang tuanya menjenguk sang nenek. Selain itu, kini Alda tidak lagi menempuh perjalanan 7,5 km setiap pagi. Meski, sekarang dia masih harus berjalan kaki selama sejam menuju ke sekolah. Sekarang Alda dan murid-murid lain di sekolah itu sudah tidak waswas ketika harus menyeberangi sungai.

Jembatan kayu yang lapuk tidak lagi difungsikan. Pemerintah telah menggantinya dengan jembatan berkonstruksi besi. Lantainya pun bukan kayu lagi, tetapi lembaran besi yang cukup tebal. Namun, beberapa bagian di pegangan kanan dan kiri sudah rusak karena baut pengaitnya lepas.

Sejatinya, Alda termasuk satu di antara empat murid berprestasi di sekolah tersebut. Dia pernah mengharumkan nama sekolah lewat ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) tingkat kabupaten pada 2015. Dalam ajang tersebut, Alda tidak sendiri. Dia bersama tiga temannya, Yanson, Sari, dan Ubil, sukses menjuarai cabang atletik.

Tim tersebut kemudian dipilih untuk mewakili Kabupaten Hulu Sungai Selatan maju ke O2SN tingkat provinsi. ’’Kami puas di posisi keempat. Itu sudah cukup membuat kami bangga,’’ timpal Yuliawan, 35, guru SDN Loklahung yang ikut bergabung dalam perbincangan dengan wartawan koran ini.

Menurut Yuliawan, prestasi nonakademis Alda dan kawan-kawan sudah selayaknya dihargai. Mereka membuktikan bahwa anak-anak Desa Loklahung mampu berkarya di tengah keterbatasan. Apalagi setelah sekolah mereka mendapat musibah pada 15 Juni 2015. Saat itu, tiga kelas hangus dilalap api ketika para murid dan guru beranjak salat Jumat. ’’Kami bersyukur, kebakaran terjadi saat kelas kosong,’’ tuturnya.

Ruang kelas yang terbakar itu menyisakan tembok beratap langit. Konstruksi kayu atap yang sudah jadi arang dibiarkan teronggok. Untung, respons pemerintah cukup baik. Pada awal tahun ini, dua ruang kelas baru sudah bisa digunakan. Di jendela kelas masih terpampang poster informasi proyek pembangunan.

Gedung baru itu dibangun tiga bulan setelah insiden tersebut terjadi. Yakni, terhitung pada 14 September 2015–31 Desember 2015. Dana pembangunan Rp 296 juta bersumber dari Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Meski demikian, Yuliawan dan guru yang lain berharap dispendik segera melengkapi ruang kelas yang lain. ’’Terbakar tiga, masih kurang satu kelas lagi,’’ jelas Yuliawan.

Itu pun baru sebatas melengkapi, belum ke arah pengembangan sekolah. Apalagi jumlah siswa di sekolah tersebut setiap tahun pelajaran baru terus bertambah. Saat ini, kata Yuliawan, total siswa mencapai 74 orang yang terbagi dalam kelas I sampai kelas VI. Belum lagi kebutuhan ruang kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya yang seharusnya dimiliki sekolah andalan masyarakat di Loksado itu.

’’Kami punya lahan sekitar 2 ribu meter persegi. Artinya, masih luas untuk dikembangkan pemerintah,’’ tegasnya.

Yuliawan yakin anak-anak didiknya memiliki potensi yang luar biasa jika digali dengan maksimal. Hal itu dibuktikan dengan sederet trofi penghargaan yang telah diraih sekolah dari berbagai kompetisi level kabupaten maupun provinsi. ’’Kami rata-rata juara di O2SN,’’ tuturnya seraya menunjukkan salah satu lemari di ruang guru yang berisi puluhan piala dari berbagai ajang lomba.

Hal itu pula yang melecut para guru di SDN Loklahung untuk tetap setia mengajar. Mereka memiliki optimisme yang sama seperti Yuliawan di tengah keterbatasan. Mereka ingin para murid mendapat perhatian lebih dari pemerintah. ’’Pada dasarnya, anak-anak kami berpotensi. Kami butuh support pemerintah,’’ ujarnya.

Harapan Yuliawan itu memang tidak berlebihan. Sekolah di Jalan Brigjen H Hasan Baseri tersebut menjadi satu-satunya jujukan warga pelosok suku Dayak Amandit untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Penduduk Manakili sampai Kota Loksado mengirimkan anak mereka ke sekolah itu.

Dari pantauan di lapangan, sekolah tersebut hanya terdiri atas dua lokal, yakni lima ruang kelas. Dua di antaranya baru selesai dibangun. Lapangan upacara dan segala kegiatan ekstrakurikuler menggunakan pekarangan sekolah yang masih berupa hamparan tanah. Ketika hujan turun, mereka harus berlumuran lumpur. Karena itu pula, mayoritas siswa lebih suka mengenakan sandal ke sekolah.

Fasilitas seperti alat peraga mengajar pun jauh tertinggal jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Jangankan dibandingkan dengan sekolah di Jakarta yang sudah dilengkapi proyektor atau studio musik, bersaing dengan sekolah di pusat-pusat Kota Loksado saja, sekolah itu jauh dari kata sepadan.

Tentu, itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah setempat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga harus memberikan perhatian seriuas. Mereka tidak boleh melupakan nasib pendidikan anak-anak di pelosok negeri. (*/ilo/c5/end)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Haru Mengentaskan Anak Jalanan Hingga Berurusan dengan Polisi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler