jpnn.com, DUMAI - Bertugas di tengah hutan hampir setiap hari, membuat para anggota Manggala Agni harus rela terpisah dari keluarga.
Rasa rindu terhadap anak istri hanya terbayar lewat mendengar suara di ujung telepon.
BACA JUGA: Tim Satgas Karhutla Pelalawan Berjibaku Padamkan Api di 12 Titik Panas
Seperti yang dialami Fauzi (41), anggota Manggala Agni Daops Dumai, Riau. Menjelang malam dia mengeluarkan handphonenya.
Setelah mendapat sinyal di lokasi terdepan kebakaran hutan dan lahan, dia menyapa orang tercinta di seberang sana.
BACA JUGA: Kisah Perjuangan Manggala Agni 3 : Kumandangkan Adzan Saat Dikepung Api
''Apa kabar Nak, sudah minum susu belum? bagaimana tadi sekolahnya?,'' terdengar suaranya bercengkrama.
BACA JUGA : Kisah Perjuangan Manggala Agni I: Tak Lelah Mendinginkan Bara Api di Bawah Kaki
BACA JUGA: Menjaga Benteng Terakhir Jilatan Kepala Api
Ayah tiga anak ini sudah hampir tiga minggu keluarganya yang tinggal di Dumai, untuk memadamkan titik api di Pulau Rupat.
Dia memang sempat pulang, tapi hanya beberapa jam saja di rumah. Kemudian berangkat lagi menyeberang.
Saat sedang berjibaku memadamkan api di Rupat, Fauzi sempat mendapat kabar bila kawasan di sekitar rumahnya di jalan Meranti kota Dumai, justru terbakar. Untungnya api tak sampai melahap rumahnya.
''Saya hanya pulang untuk melihat kondisinya, beberapa jam saja di rumah, lalu menyeberang lagi ke Rupat. Sekarang titik api memang sudah padam, namun kami masih harus melakukan proses pendinginan,'' kata Fauzi.
Dedikasinya pada tim Manggala Agni dimulai sejak 2002 silam. Saat itu mereka tidak bergaji per bulan dan hanya menerima honor kegiatan sebesar Rp180 ribu, yang itupun baru diterima per 6 bulan.
BACA JUGA : Menjaga Benteng Terakhir Jilatan Kepala Api
Fauzi mengatakan, salah satu alasannya dia lebih memilih jadi Manggala Agni, karena panggilan hati.
''Sekarang Alhamdulillah dalam 3 tahun terakhir kesejahteraan sudah meningkat, gaji sudah rutin per bulan dan ada BPJS juga,'' ungkapnya.
Menjadi Manggala Agni bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak hanya sekedar kerja keras, tapi juga membutuhkan kerja ikhlas.
Karena bukan kerja ringan, kata Fauzi, 'seleksi alam' pada akhirnya membuat tak sedikit dari mereka mengundurkan diri.
''Di angkatan 2002, dalam satu Daops itu ada 4 regu, yang tersisa setia sampai sekarang setelah hampir 17 tahun, hanya tinggal 12 orang,'' kata Fauzi.
BACA JUGA : Kisah Perjuangan Manggala Agni 3 : Kumandangkan Adzan Saat Dikepung Api
Kerja Manggala Agni KLHK kini cakupannya memang lebih luas. Jika sebelumnya mereka hanya menjaga kawasan hutan konservasi, kini mereka juga harus menjaga lahan.
Untuk Provinsi Riau, jumlah MA hanya sekitar 210 personel yang bertugas di empat Daops yakni Pekanbaru, Daops Rengat, Daops Siak, Daops Dumai.
Jumlah ini jelas tidak sepadan dengan luas area kerja mencapai 11 juta ha. Karenanya penanganan Karhutla harus dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan unsur TNI, Polri, BNPB, BPBD, Masyarakat Peduli Api, dan pihak swasta.
''Jika hanya mengandalkan Manggala Agni saja jelas kurang. Karenanya pengendalian Karhutla harus ditangani secara bersama-sama,'' kata Koordinator Manggala Agni Riau, Edwin Putra.
BACA JUGA : Manggala Agni Berhasil Padamkan Karhutla di Dumai
Saat Rupat terbakar hebat, contohnya, kekuatan Manggala Agni lebih dari separohnya dikerahkan ke Rupat. Namun, tetap saja tidak akan bisa mengendalian Karhutla, karena luasan area terbakar yang cukup luas.
Terlebih lagi saat ini mayoritas yang terbakar adalah lahan masyarakat. Peran aktif Pemda dan penegakan hukum, tentu menjadi salah satu kunci menekan jumlah titik api.
Direktur Pengendalian Karhutla KLHK, Raffles Pandjaitan mengatakan, total jumlah Manggala Agni se-Indonesia saat ini ada 1.998 personel.
Mereka tersebar hanya di 12 Provinsi rawan Karhutla, yang didominasi berada di Kalimantan dan Sumatera.
*Hotspot menurun drastis*
Paradigma kerja pengendalian Karhutla yang bergeser dari pemadaman menjadi pencegahan, dikatakan Raffles menjadi kunci utama penurunan hotspot (titik api) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di Indonesia. Titik api diatasi secara serius sebelum kian membesar.
Unsur penting lainnya karena keluarnya berbagai kebijakan berlapis, seperti moratorium izin di lahan gambut dan penegakan hukum lingkungan yang sangat tegas di era Menteri LHK, Siti Nurbaya.
Data satelit Terra/Aqua (NASA) menunjukkan penurunan signifikan jumlah hotspot periode 1 Januari- 5 Maret.
Pada periode ini di tahun 2015, Provinsi Riau membara dengan total 2.289 titik api, kemudian menurun 298 titik api di tahun 2019.
Jumlah luasan Karhutla di periode yang sama, juga menurun sangat signifikan. Dari 4.277 ha, turun menjadi 1.409 ha. Mayoritas keseluruhan yang terbakar berada di lahan gambut yang sulit dipadamkan.
''Dari data ini bisa terlihat, bahwa Karhutla khususnya di Riau, sangat dapat dikendalikan dengan baik. Jikapun masih ada Karhuta, pemerintah terus bekerja nyata di lapangan, Manggala Agni bersama tim terpadu lainnya terus siaga 24 jam di titik terdepan,'' jelas Raffles.
Hingga 5 Maret 2019, telah dilakukan sebanyak 966 kali pemadaman lewat udara (Water Boombing) dengan air yang dijatuhkan sebanyak 3.316.800 liter air. Kegiatan ini dilakukan oleh Helikopter KLHK, BNPB, dan pihak swasta.
Hingga 7 Maret 2019, Karhutla yang terjadi di wilayah Riau juga tidak sampai menimbulkan asap lintas batas ke negara tetangga.
Berdasarkan informasi dari satelit NOAA, hanya tinggal 7 hotspot yang berada di Pelalawan, Meranti, dan Bengkalis. Di beberapa wilayah yang masih ada titik api, juga dilaporkan telah turun hujan.
''Pasca kebakaran besar tahun 2015, Indonesia mampu mengatasi Karhutla dengan berbagai langkah koreksi di segala sisi. Silahkan lihat data saja untuk melihat bukti,'' tegas Raffles. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri LHK Soroti Penataan Pemukiman Masyarakat di Kawasan Hutan
Redaktur & Reporter : Natalia