JAKARTA - Kalangan Komisi XI DPR RI (bidang perbankan dan moneter) telah memperkirakan bakal munculnya persoalan tunggakan
royalti sejumlah perusahaan batu bara sejak penyusunan anggaran di
tahun 2005.
“Ketika menyusun anggaran 2005 dulu saat membahas soal penerimaan
negara bukan pajak, royalti itu sudah dianggarkan sebagai pemasukan
negara," kata anggota Komisi XI dari Fraksi PKS Rama Pratama
saat berbicara dalam diskusi bertema
"Politik dan Penegakkan Hukum Terhadap Perusahaan Batu Bara" di Press
Room DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (21/8).
Namun pada perkembangan selanjutnya, ia menambahkan, royalti-royalti
itu ternyata tidak tertagih dan sekarang ini mencuat jadi masalah.
Dalam konteks tidak tertagihnya royalti batu bara tersebut, menurut
politisi PKS itu, pemerintah juga terbukti berkontribusi dalam
permasalahan karena membiarkan persoalan tunggakan kepada negara
menjadi berlarut-larut.
Rama mensinyalir pula bahwa persoalan tunggakan royalti
perusahaan-perusahaan batu bara kepada negara itu juga sarat dengan
praktek manipulasi harga (transfer pricing) batu bara.
“Pasti ada praktek transfer pricing dan itu terkategori sebagai
tindak pidana," ujarnya.
Pembicara lainnya, Bonyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi
Indonesia mengibaratkan para pengemplang royalti batu bara itu
sebagai pemberontak yang akan melakukan makar kepada negara karena
mereka telah menahan-nahan uang rakyat yang seharusnya mereka
bayarkan.
Kekayaan alam itu adalah haknya rakyat Indonesia dan para pengusaha
itu boleh mengambilnya dengan catatan membayar sejumlah uang kepada
negara sebagai royaltinya sesuai dengan kontrak sebesar 13,5 persen
setiap tahunnya.
Dia juga mengatakan bahwa pencekalan terhadap sejumlah petinggi
perusahaan batu bara yang menunggak royalti itu seharusnya ditindak
lanjuti dengan langkah-langkah kongkrit lainnya.
"Kalau dicekal kemudian ada negosiasi dan terjadi perdamaian, enak
sekali para pengusaha ituKalau demikian, maka artinya negara lebih
peduli pada pengusaha ketimbang fakir miskin dan anak-anak terlantar
yang seharusnya dilindungi sesuai amanat konstitusi," katanya.
Sementara Direktur Centre For Indonesian Mining and Resorces Law Dr
Ryadi mempertanyakan dasar penentuan angka royalti sebesar 13,5
persen untuk batu bara itu.
Berdasarkan penelusurannya terhadap sejumlah pihak yang menyusun
kontrak pertambangan batu bara, penentuan royalti 13,5 persen itu
didasarkan pada negosiasi antara pihak asing yang menawar 0 persen
dengan keinginan pemerintah pada saat itu yang menghendaki besaran 27
persen.
"Akhirnya ditentukan besaran 13,5 persen itu
BACA JUGA: DPR Gunakan Angket usut Batu Bara
Tapi penentuan besaranroyalti tersebut sama sekali tidak ada dasar akademisnya," ujarnya
seraya menggambarkan disejumlah negara lain besaran royalti itu ada
yang mencapai 30 persen.
Ia berpendapat, persoalan tunggakan royalti batu bara karena
pemerintah yang terlalu lemah ketika berhadapan dengan pengusaha.
Dia juga khawatir adanya negosiasi tertentu dimana royalti tetap
dibayarkan, tetapi kemudian negara memberikan restitusi pajak kepada
para pengusaha itu
Sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan cekal terhadap eksekutif di
enam perusahaan batu bara karena adanya tunggakan royalti yang belum
juga dibayarkan oleh pengusaha (kontraktor) sejak 2001 hingga 2006.
Pengusaha menahan pembayaran royalti itu karena adanya reimbursement
yang belum juga dibayarkan oleh pemerintah.
Pemerintah menilai kewajiban pembayaran royalti batu bara berbeda
dengan reimbursement sehingga keduanya harus diselesaikan melalui
jalur terpisah atau masing-masing.(eyd)
BACA JUGA: Menahan Royalty Upaya Kemplang Uang Rakyat
BACA JUGA: Urip Protes, Pameo Tak Nyambung
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Patok Defisit Daerah 0,35 %
Redaktur : Tim Redaksi