JAKARTA - Pascaputusan Mahkamah konstitusi (MK) tentang pembatalan aturan dalam UU Pemerintahan Aceh sehingga membuka peluang bagi calon independen ikut Pemilukada, konflik dan polemik soal Pemilukada di Bumi Serambi Makkah itu terus bergulirNamun persoalan yang bergulir itu semata-mata bukan akibat putusan MK.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, konflik yang muncul dalam Pemilukada Aceh kali ini justru lebih diakibatkan tidak tuntasnya kesepakatan Helsinki
BACA JUGA: Tuding Laporan ICW Soal Dana Bansos Atut Terkait Pemilukada
Menurutnya, kompromi politik yang diwujudkan dalam MoU Helsinki tersebut tidak mencakup hingga aturan yang lebih rinci tentang hubungan antara pusat dengan daerah."Kalau di Pemilukada Aceh itu konflik dan yang selalu dituding karena adanya putusan MK, ini menunjukkan Indonesia itu belum bisa diterima dengan baik oleh kalangan politik di Aceh," ujar Arif dalam acara diskusi bertajuk ‘Mengurai Karut Marut Pemilukada Aceh, Sebuah Perspektif: Tantangan Terhadap Kedaulatan Hukum RI’ di pressroom DPR RI, Kamis (25/8).
Politisi PDI Perjuangan itu menambahkan, jika memang para pihak terkait di Nangroe Aceh Darussalam tidak menginginkan adanya calon perseorangan maka hal itu sama saja artinya melawan putusan MK yang bersifat final dan mengikat
BACA JUGA: Percuma Banggar Bubar jika Tetap Transaksional
Kalau memang mau dicabut, ya kewenangan MK-nya diubah dulu supaya dia tidak bisa memutus mengenai itu," tandasnya.Dalam kesempatan sama, politisi Golkar di Komisi II DPR, Nurul Arifin justru meyakini rakyat Aceh tidak mempersoalkan munculnya calon perseorangan
Menurutnya, putusan MK sebaiknya diakomodir dalam qanun (Perda) Pemerintah NAD
BACA JUGA: Mendagri Kaji Dana Pemilukada Ulang Papua Barat
Nurul menegaskan, elit politik tidak perlu takut dengan munculnya calon perseoranganSebab, belum tentu calon perseorangan itu mampu bersaing"Saya hanya mengharapkan elit politik di Aceh untuk menghormati perkembangan yang adaMeskipun Irwandi Yusuf (Gubernur NAD saat ini) memang berpeluang besar, tapi belum tentu menang," ulasnya.
Seperti diketahui, MK pada akhir Desember lalu membatalkan beberapa pasal 256 UU Nomor`11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan AcehBeleid yang dibatalkan MK itu mengatur bahwa calon perseorangan hanya bisa maju pada Pilkada NAD yang digelar tahun 2006
Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh menyebutkan, ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan gubernur/Wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang PA diundangkan.Namun MK membatalkan pasal tersebut karena dianggap menabrak aturan di konstitusi
Menanggapi putusan MK, pada tanggal 3 Agustus 2011 lalu para pemangku kepentingan yang terkait langsung Pemilukada NAD bertemu dan sepakat adanya jeda pelaksanaan Pemilukada mulai 5 Agustus hingga 5 September 2011Setelah itu, selama dua pekan mulai 6 September 2011 hingga 19 September 2011, DPRA dan Pemerintah Aceh harus membahas ulang rancangan qanun Pemilukada Aceh.
Namun pengamat politik Ray Rangkuti justru menilai pemerintah tidak tegas dalam menangani konflik regulasi pada Pemilukada AcehRay juga mengingatkan perlunya mewaspadai separatisme gaya baru.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PAN Masih Kaji Pilgub Melalui DPRD
Redaktur : Tim Redaksi