KLHK Ingin RAPP Pulihkan Lahan Gambut yang Terbakar

Senin, 11 Desember 2017 – 20:05 WIB
Ilustrasi. Foto: dokumen JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mulai menyidangkan gugatan perkara antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Gugatan ini dilakukan karena, RAPP keberatan mengenai SK 5322 yang dikeluarkan KLHK tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) periode 2010-2019. SK itu membuat PT RAPP tak bisa melaksanakan kegiatan operasionalnya.

BACA JUGA: Ketua SPSI Riau: Tudingan pada PT RAPP Tidak Benar

Lewat surat permohonan No 101/RAPP-DIR/X/2017 tertanggal 18 Oktober, RAPP keberatan mengenai SK 5322 tentang Pembatalan RKU periode 2010-2019. Sidang diagendakan mendengarkan keterangan ahli dari KLHK.

Sidang dipimpin hakim ketua Oenoen Pratiwi dan hakim anggota Bagus Darmawan serta Becky Christian, dengan panitera pengganti Eni Nuraeni. Turut hadir Sekjen KLHK Bambang Hendroyono yang menjelaskan perubahan revisi RKU sebagai langkah untuk mengelola lahan gambut.

BACA JUGA: Danone Aqua Sabet Penghargaan Pelaku Usaha Pengagas MRV

“Kami ingin menjelaskan kepada hakim bahwa langkah-langkah pemerintah dengan menerapkan kebijakan pengelolaan gambut dengan merevisi PP 71 jadi PP 57 di situ ada muatan agar seluruh pemegang izin melakukan pemulihan ekosistem gambut yang saat ini ada dalam kerusakan akibat kebakaran," kata Bambang di PTUN, Cakung, Jakarta Timur, Senin (11/12).

Bambang menambahkan, atas dasar itulah pemerintah melakukan revisi sebagai wujud nyatanya dalam RKU harus mengatur pengelolaan lahan gambut. Oleh karena itu saksi ahli yang diundang diharapkan dapat meyakinkan kebijakan pemerintah tidak menyalahi aturan.

BACA JUGA: Hamdan Zoelva: Langkah Hukum RAPP Sesuai UU

"Untuk meyakinkan bahwa kebijakan pemerintah itu betul dan bukan sebuah kesewenang-wenangan," kata dia.

Bambang menjelaskan, yang terjadi di lapangan mengindikasikan bahwa RAPP tidak menerapkan manajemen pengelolaan gambut dengan baik sehingga terjadi kebakaran yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.

“Misalnya di tahun 2015, ada 2.078 hektare (hutan dan lahan gambut) yang terbakar hingga kerugian mencapai Rp 800 miliar. Di 2016, sekitar empat ribu hektare dengan kerugian Rp 1,6 triliun. Dan di 2017 seluas 545 hektare khusus gambutnya saja yang terbakar dengan kerugian mencapai Rp 200 miliar. Ini sebuah indikasi bahwa manajemen gambut yang ada di lapangan tidak bisa diterapkan,” paparnya.

Sementara itu, ahli hukum administrasi dari Universitas Airlangga Surabaya Philipus M Hadjon menjelaskan gugatan pembatalan SK Menteri LHK No 5322 di PTUN tidak tepat.

"Yang berlaku adalah diktum berisi hal untuk merevisi, oleh karena itu secara teknis gugatan pembatalan SK itu tidaklah tepat,” jelas Philipus di persidangan.

Di sisi lain, ahli hukum administrasi negara dari Universitas Borobudur Jakarta Zudhan Arif Fakhrukloh, yang juga dimintai keterangan sebagai saksi ahli menilai, gugatan RAPP menggunakan permohonan fiktif positif tidak tepat.

“Menurut saya, sesuai undang-undang administrasi pemerintahan, gugatan atau permohonan fiktif positif itu hanya boleh dilakukan untuk permohonan baru, bukan untuk membatalkan keputusan yang sudah ada. Jadi harusnya melalui sengketa tata usaha negara biasa, tidak boleh fiktif positif,” jelasnya. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hamdan Zoelva Bela Perusahaan Singapura Lawan Pemerintah


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler