SAYA masih bocah lima tahunBau kencur, kata orang
BACA JUGA: Membaca Prabowo, Membaca Peluang
Ayahku bercerita, bahwa penduduk Gunungtua di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara sudah keluar rumah pada pukul 06.00BACA JUGA: Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang
Ada juga tentara, agak jauh, menjaga keamananSamar-samar saya ingat, Mars Pemilu 1955
BACA JUGA: Golkar Bersatu dan Demokratis, Persepsi atau Realitas?
Jika tak salah, diawali dengan lirik: Pemilihan Umum, ke sana beramai/ Ayolah, ayolah…dst.Saat itu, ibu memakai bedak penghias wajahBaju kebaya rancak dengan selendang warna hijauAyah berkemeja, dan sepatu disemirBak merayakan hari lebaran saja, semua orang bersukacita pada 29 September 1955, pemilihan umum (Pemilu) pertama di Indonesia.
Pemilih mencoblos tanda gambar pilihannya, dan menulis calon wakil rakyat yang disukainyaPenghitungan suara berjalan tertibAda berita acara hasil perhitungan suaraSetelah dewasa, saya membaca berbagai dokumentasi Pemilu 1955, menakjubkannya tak ada korban yang tewasLaporan lain mengatakan ada dua orang, tak jelas karena Pemilu atau oleh sebab lainTak seperti Pemilu di masa Orde Baru, astaga, korban jiwa lumayan juga.
Padahal partai di Pemilu 1955 sangat banyak dan masa Orde Baru hanya tiga, PPP, Golkar dan PDIBahkan semua partai berasas tunggal Pancasila, dan tak seperti Pemilu 1955 dan 2009, beraneka ragam, misalnya berasas agama, sosialis, kedaerahan, nasionalPakar menyebutnya sebagai politik aliranMalah masih ada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai perorangan pada Pemilu 1955.
Setelah menjadi wartawan, saya membaca dokumen tajuk rencana suratkabar Pedoman tanggal 30 September 1955Tidak ada huruharaKoran itu memuji petugas keamanan dan para pemilih yang berdisiplin tinggiDatang juga pengamat dan jurnalis asing meninjau dan meliput Pemilu 1955 di Indonesia.
Kala itu, kampanye Pemilu, rapat raksasa, penyebaran alat peraga dan pawai berjalan mulusAda rapat umum di malam hariKalau hari minggu di pagi hariAda lagu-lagu partai diputar dengan piringan hitamAda juga film dokumenter perjalanan tokoh Masyumi ke berbagai daerah.
Jika ada pidato yang seru, hadirin bertepuk tangan dan bersorak-soraiBiasanya rakyat meneruskannya dengan berdebat di kedai kopiTak ada yang takut menyebut partai pilihannyaRibut kecil ada jugalah, tapi tak berdarah-darahLurah dan pegawainya bisa saja partainya beda, tapi tak ada tekanan dan intimidasi.
Foster partai dan caleg tertib dan tak tumpang tindih, apalagi sampai merobek foster partai berbedaHebatnya, alat peraga partai bisa masuk ke kantor pemerintahan, malah juga ke rumah ibadah.
Pawai partai enak ditontonBajunya bagus-bagus dan biasanya di depan adalah kelompok drum band yang mempesonaBila pawai antarpartai berpapasan jangan harap akan bentrok dan saling caci maki, malah saling berteriak “hidup” kepada partai pesaing.
Kasus Korupsi
Pemilu 1955 gegap gempitaDiikuti 118 parpol/gabungan organisasi dan perorangan untuk pencalonan anggota DPRBerjumlah 91 kontestan untuk KosntituanteHanya 7 partai yang punya calon di 15 daerah pemilihan untuk DPR dan 6 partai untuk KonstituanteIrian Jaya tak ada calonTanda gambar untuk DPR 100 buah dan 82 untuk Konstituante.
Pemilu 1955 menerapkan system perwakilan berimbang melalui sistem daftar dan system peroranganJuga system kombinasi antara banyak daerah pemilihan dan satu daerah pemilihanWalau banyak peserta Pemilu tapi hanya 28 kontestan yang meraih kursi.
PNI dan Masyumi meraih 57 kursi, disusul NU (45), PKI (39), merekalah tergolong “Empat Besar.” Selebihnya berkisar antara satu sampai 8 kursiUniknya, partai perorangan PIR Hazairin meraih satu kursi.
Jumlah partai banyak karena Maklumat Wapres Mohammad Hatta pada Oktober 1945, tentang bolehnya mendirikan partai politikMaklum, kala itu belum ada MPR dan DPRNah, selanjutnya akan dilakukan Pemilu, meskipun baru terjadi pada 1955Multipartai terulang lagi sejak era reformasi 1998 dan sekarang.
Pemilu 1955 justru berlangsung ketika DI-TII dipimpin oleh SM Kartosoewirjo memberontak di Jawa Barat sejak 1948 dan berakhir pada 1962Masih ada gerombolan pengacau di Jawa Tengah bernama Merapi-Merbabu Complex dan DI-TII dipimpin Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan yang dipimpin oleh Daud Beureu-Eh di AcehLuar biasaPemilu 1955 aman meskipun gangguan keamanan merajalela.
Toh ada catatan dari Herbet Feith, doktor ilmu politik dari Cornell University, ASIa datang ke Jakarta pada Pemilu 1999 lalu, hendak membandingkan dengan Pemilu 1955, karena sempat menjadi staf sukarela di Kementerian Penerangan RI (1951-1956)Kala itu, ia bertemu dengan Prof George McTurnan Kahin, juga dari Cornell.
Menurut Feith, Pemilu 1955 berlangsung tegang antara kaum Islamis dan Nasionalis, yang berbeda soal ideologi negaraYang satu menghendaki Islam lainnya nasionalis PancasilaFaktanya, Pemilu 1955 aman sajaHerannya, Feith heran mengapa Pemilu 1955 berlangsung aman.
Ada praduga bahwa Pemilu 1999 tidak mulusSebab jumlah partai pun banyakApalagi sebelum 1999 sudah meletus kerusuhan Ambon dan Kalimantan BaratTernyata aman sajaJangan-jangan kerusuhan antaretnik dan agama itu justru direkayasa kelompok tertentuSiapa tahu!
Pemilu 2009 mestinya no problemKontestannya hanya 38 partaiGerakan separatis sudah padamTransportasi komunikasi sudah modernDana KPU hebatKalau toh akan amburadul juga, betapa malunya kita kepada pelaksanaan Pemilu 1955, 54 tahun yang silam ituWah, hendak ke mana muka mau disembuyikan!
Tentu saja Pemilu 1955 tak sempurnaTerdengar cara-cara kotor dalam mengumpulkan dana parpolSaat itu disebut-sebut system “lisensi istimewa” konon untuk dana kampanye partaiBelum ada istilah money politicsIhwal korupsi parpol itu dengan bagus dilukiskan oleh Mochtar Lubis dalam novelnya berjudul “Senja di Jakarta.” Tak ubah dengan anggota DPR sekarang, silih ganti terlibat kasus korupsi**
BACA ARTIKEL LAINNYA... Propinsi Tapanuli: Gugat Mindset Kolonial
Redaktur : Tim Redaksi