JAKARTA- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mendesak KPK dan Kejaksaan Agung untuk segera memanggil dan memeriksa direksi PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya TbkPasalnya, kedua BUMN tersebut diduga kuat terlibat praktek suap senilai Rp 100 miliar dalam proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional di Desa Hambalang di Kecamatan Citeureup, Bogor, Jawa Barat senilai Rp 1,5 triliun.
“Harusnya KPK lebih proaktif dalam mengungkap parktik-praktik korupsi di lingkungan BUMN, jika tidak ingin dicap masyarakat sebagai bagian dari rantai korupsi yang selama ini telah menggurita,” ujarnya saat dihubungi INDOPOS (grup JPNN), terkait pernyataan Mantan Bendum Demokrat Nazaruddin di salah satu stasiun tv swasta, kemarin (20/7).
Nazaruddin mengungkapkan, proyek Hambalang termasuk salah satu selain proyek Wisma Atlet untuk Sea Games di Palembang yang sudah diatur pemenang tendernya
BACA JUGA: Anas Tuding Nazaruddin Berhalusinasi
PT Anugerah Nusantara, menurut Nazaruddin, ikut mengatur kontrak-kontrak pemerintah yang dananya berasal dari APBNPatut diketahui, proyek Hambalang merupakan proyek pembangunan khusus untuk para atlet
BACA JUGA: DPR Ngotot Hadirkan MH di Panja Pemilu
Proyek ini terletak di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten BogorBACA JUGA: Bongkar Kasus Centruy, DPR Bentuk Tim Kecil
Ada gedung, asrama, dan tempat pelatihanProyek ini berdiri di atas lahan seluas 32 hektare dan pembangunannya diperkirakan tuntas pada 2013.Adhi Karya dan Wijaya Karya merupakan penggarap proyek iniBerdasarkan laporan keuangan Adhi Karya per kuartal I 2011, nilai proyek tersebut sebesar Rp 1,518 triliunDalam poyek yang diberi nama Adhi Wika JO ini, Adhi Karya memegang 70 persenSedangkan sisanya, sebesar 30 persen dipegang Wijaya Karya.
Karena itu, lanjut Desmond, Komisi III akan lebih mengawasi kinerja aparat penegak hukum, terutama KPK dalam mengungkap beberapa praktik korup yang merugikan negara itu
“Jika sudah melibatkan perusahaan negara dan dana APBN, maka itu sudah menjadi domain publik, dan KPK sebetulnya mudah saja jika mau mengusut tuntas kasus ini cukup panggil direksinya, croscek, lihat keberadaan proyeknya, dari situ biasanya ada temuan janggal yang bisa dijadikan KPK sebagai bahan untuk investigasi lebih mendalam,” paparnya.
Sementara itu, pandangan serupa juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Indonesia, Ahmad Erani Yustika, pasar konstruksi nasional, khususnya skala besar seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan sebagainya memiliki karakter yang oligopsoni atau didominasi pemain tertentu sajaPemainnya bisa pemerintah dan BUMN. Memang ada beberapa swasta tapi skalanya terbatasHal tersebut bisa dikatakan rawan praktik penyalahgunaan wewenang baik oleh pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan untuk mengambil keuntungan pribadi maupun golongan.
“Pemerintah atau oknum pejabat pemerintah dan kroninya termasuk broker-broker proyek, yang memiliki kuasa, dapat dengan mudah mengatur segala sesuatunya, sehingga setiap keputusan yang diambil sedapat mungkin menguntungkan dirinya,” ujarnya.
Bahkan menurut Ahmad Erani, banyaknya proyek mendorong situasi dan kondisi yang dimanfaatkan oleh orang-orang oportunis yang dekat dengan kekuasaan untuk menciptakan sistem untuk membagi-bagi proyek tersebut.
“Arisan menjadi wadah untuk menentukan siapa penerima proyek A dan siapa penerima proyek BUntuk itu diperlukan goodwil dan ketegasan KPK untuk turut memeriksa dugaan tersebutTerlebih KPK telah memiliki bukti-bukti awal yang dapat mendukung pernyataan nazarudin tersebut,” ujarnya saat berbicara dalam dialog mengenai sistem pelaksanaan tender di Universitas Atmajaya, baru-baru ini.
Sementara itu Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan aparat penegak hukum khususnya KPK jarang mengungkap praktik korupsi yang terjadi di badan usaha milik negara (BUMN)Entah apakah BUMN saat ini bersih semua dari praktik korupsi atau karena tidak adanya kemauan politik
“Selama ini yang diungkap hanya kepala daerah, elite politik atau petinggi perusahaan swastaJarang-jarang petinggi BUMN yang diperiksa,” katanya di Jakarta, kemarin.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti juga mendesak Nazaruddin untuk secepatnya menyampaikan fakta-fakta soal dugaan praktik suap yang dilakukan Adhi Karya dan Wijaya Karya serta elite politik yang dituduhkan kepada penegak hukum di Indonesia
“Jika Nazaruddin tidak juga bersedia menyajikan fakta-fakta yang dimilikinya secara konkret, itu tentunya akan sangat menyulitkan upaya penegakan hukumSebab proses pembuktian terbalik membutuhkan data awal tersebut, meskipun tuduhannya itu juga belum tentu tidak benar,” ujar Ray.
Sebelumnya, Survei Indonesia Proucrement Watch (IPW) yang dirilis Maret lalu menyebutkan korupsi terbesar terjadi pada pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahInisiatif praktik suap-menyuap justru berasal dari birokrat atau pejabat pemerintahSurvei yang dilakukan sejak September hingga November 2010 melibatkan 729 responden yang berasal dari perusahaan penyedia barang dan jasa instansi pemerintah tersebar di lima wilayah di Jadebotabek.
IPW menilai, hampir seluruh instansi pemerintah terdapat mafia tender atau calo tenderHal ini dikuatkan dari temuan IPW, sebanyak 15 persen proses tender diatur oleh mafia tenderAtas temuannya itu, IPW meminta KPK segera melakukan tindakan berupa pengawasan langsung proses pengadaan seperti penyusunan dokumen lelang, evaluasi, pengumuman pemenang
Corsec Adhi Karya Kurnadi Gularso dan Corsec Wika Natal Argawan menyangkal tudingan melakukan suapMenurut dia, Adhi Karya mengikuti tender secara normal, mulai dari pendaftaran hingga keluar sebagai pemenang”Perseroan memenangi tender proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional pada 26 November 2010,” kata Kurnadi(dms)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Segera Proses SK Bonaran Situmeang
Redaktur : Tim Redaksi