jpnn.com, JAKARTA - Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Adrianus Eliasta Meliala menduga Kementerian Keuangan tak serius melaksanakan kewajiban membayar ongkos pembangunan gedung Mapolda Aceh ke pihak kontraktor sebesar Rp 32.768.097.081.
"Kesan saya, menteri keuangan tidak mau. Dia kan sudah bikin tim percepatan kewajiban keuangan pemerintah begitu. Tetapi enggak ada realisasi. Kesannya pemerintah seperti mau ngemplang, ya enggak bisa dong," ujar Adrianus di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (15/8).
BACA JUGA: Curhatan Ade Armando Ditolak jadi Guru Besar UI
Adrianus kemudian mengungkap sejumlah fakta untuk memperkuat argumentasinya. Antara lain, saat ORI mengundang Kemenkeu membicarakan pembayaran atas kasus yang telah diputus pengadilan tersebut, yang datang hanya setingkat eselon III. Itu pun diwakilkan pejabat yang baru disposisi di hari yang sama.
"Kami juga menunggu sampai satu setengah jam. Jadi menurut saya ini serius apa nggak. Kayanya pemerintah hanya serius saat menarik uang, tetapi tidak serius dalam rangka memenuhi kewajiban," ucapnya.
BACA JUGA: Properti Pacu Pertumbuhan Ekonomi
BACA JUGA: Ini Hasil Pemeriksaan Ombudsman terhadap PPDB 2019
Meski ada kesan pemerintah kurang serius, ORI kata Adrianus, tetap akan mendesak pemerintah membayar kewajiban sesuai putusan pengadilan.
BACA JUGA: Dunia Usaha Butuh Kepastian Soal Insentif Pajak Super
"Kalau misalnya 30 hari tidak ada realisasi, kami lanjut ke rekomendasi sebagai hal yang keras dari Ombudsman," ucapnya.
Menurut Adrianus, kasus yang ada sudah melalui begitu banyak tahapan. Mulai dari mediasi, naik ke ranah hukum hingga berkekuatan hukum tetap, namun tak juga terealisasi hingga kini.
"Jadi, apa lagi? Hukum sudah selesai, masa balik lagi ke mediasi," ucapnya.
Untuk diketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan nomor perkara 582/Pdt.G/2011/PN. Jkt.Tim, sebelumnya menghukum Kementerian Keuangan, yang dulu bernama Satuan Kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias (tergugat I) dan Polri (tergugat II) secara tanggung renteng membayar kewajibannya kepada PT Elva Primandiri sebesar Rp 32.768.097.081.
Putusan itu diperkuat Pengadilan Tinggi Jakarta nomor perkara 527/PDT/2013/PT.DKI. Bahkan, kembali diperkuat dengan terbitnya putusan Kasasi Mahkamah Agung nomor 2483 K/PDT/2014. Selanjutnya, upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh pihak tergugat bernomor perkara 601 PK/PDT/2017 kembali ditolak MA pada 19 Oktober 2017.
Juru sita PN Jaktim sudah melakukan teguran (aanmaning) terhadap pihak tergugat untuk melaksanakan isi putusan. Pada saat pertemuan untuk terguran pertama 17 Oktober 2018, Ketua PN Jaktim sangat mengapresiasi itikad baik dari Kementerian Keuangan yang diwakili kuasa hukumnya, yang menyatakan akan mematuhi putusan pengadilan, dan akan secara intens berkomunikasi dengan Elva Waniza selalu Direktur PT Elva Primandiri.
Namun, teguran yang dilaksanakan pada 17 Oktober 2018 dan 13 Desember 2018 tersebut belum juga dilaksanakan. Padahal, Ketua PN Jaktim hanya memberikan batas waktu selama sebulan setelah aamaning pertama tanggal 17 Oktober 2018 agar Kemenkeu membayar sesuai isi putusan pengadilan.
Hingga pada 20 Desember 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani diminta datang ke PN Jakarta Timur untukpertemuan annmaning (teguran). Namun, baik Kemkeu atau perwakilannya tidak datang untuk yang ketiga kalinya. Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut hingga saat ini belum juga dijalankan oleh Kementerian Keuangan.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garuda Indonesia Diminta Segera Penuhi Permintaan OJK dan BEI
Redaktur & Reporter : Ken Girsang