Kompas, Komunitas yang Peduli kepada Remaja di Kawasan Lokalisasi Dolly

Berawal dari Penasaran terhadap Wilayah Prostitusi Legendaris Itu

Kamis, 26 Juni 2014 – 16:52 WIB
DEMI ANAK MUDA: Anggota Kompas setelah berkegiatan di Rumah Remaja Kali Kedinding, Minggu (22/6). Foto: Muniroh/Jawa Pos

jpnn.com - PAGI itu lapangan Puskesmas Kali Kedinding tampak ramai. Terdengar riuh rendah suara puluhan remaja yang sedang out bound. Seru banget. Terutama ketika mereka memainkan game boom box. Aturannya, siapa saja yang menginjak, kotak yang dibuat panitia akan meledak.

Sepanjang permainan, terdengar kata boom, boom, boom bersahutan. Terlihat jelas senyum bahagia yang menghiasi wajah para ABG tersebut. Itulah sedikit gambaran acara Youth Leadership Camp yang diadakan Kompas, Sabtu (21/6) hingga Minggu (22/6).

BACA JUGA: Ekspor Ikut Terdongkrak berkat Momen Piala Dunia

Komunitas tersebut digawangi Dedik Sulistiawan, Lukman Hakim, Adelia Ratri Mahenda, Ryan Rizky Bikatofani, dan Mursyidul Ibad. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga.

’’Awalnya kami pengin tahu tahu Dolly itu apa. Soalnya, kami semua bukan orang Surabaya,’’ ujar Dedik Sulistiawan. Dedik memang asli Trenggalek. Meski begitu, dia tergerak unjtuk mengubah Dolly.

BACA JUGA: Pernah Mengira Sulit Hamil lantaran Kista

Sebab, dia merasa begitu trenyuh membayangkan rasanya terlahir di Gang Dolly. Setiap hari adegan pornografi mudah dijumpai. Perilaku seks bebas bisa jadi hal yang biasa. Belum lagi mudahnya peredaran alkohol. Karena itu, muncul keinginan kuat untuk memberdayakan warga lokalisasi tersebut.

Awalnya, mereka ingin mengubah pekerja seks komersial (PSK). Sebab, mereka sama-sama concern pada masalah kesehatan reproduksi.

BACA JUGA: Uang Cepat Lusuh karena Disimpan di Dalam Koteka

Saat itu mereka berkonsultasi dengan Rachmat Hargono, salah seorang dosen pembimbing di FKM Unair. Rachmat menyatakan, sudah banyak lembaga yang mengelola PSK. Namun, belum ada pihak yang menggarap remaja terdampak. Hal itu dikuatkan oleh hasil penelitian. Yakni, 70 persen perilaku pranikah remaja dipengaruhi adanya lokalisasi.

Karena itu, mereka sadar betul bahwa hidup di lingkungan lokalisasi berdampak buruk bagi psikologis remaja. Akhirnya, mereka mantap ingin menularkan nilai-nilai positif kepada remaja Dolly. Kompas pun komitmen agar remaja jauh dari HIV/AIDS atau narkoba. ’’Kan mereka masih ababil (ABG labil, Red). Takutnya pengin coba seks bebas yang berisiko,’’ tegas Dedik.

Mahasiswa angkatan 2010 itu dengan bangga menyebut Kompas sebagai komunitas pertama yang memberdayakan remaja di kawasan lokalisasi terbesar di Surabaya tersebut. Kini Kompas memiliki 15 remaja binaan yang rutin datang. Mereka adalah siswa SMP dan SMA. Para remaja itu didampingi anggota komunitas yang disebut fasilitator.

Jika digolongkan, ada dua masalah terbesar remaja di lingkungan lokalisasi. Yaitu, seks dan narkotika. Karena itu, kegiatan Kompas sering berisi edukasi tentang pubertas, penyalahgunaan napza, dan HIV.

Agar tidak bosan, program Kompas dikemas menyenangkan. Misalnya, peserta diajak camping, olahraga, dan outbound dari taman ke taman. Bahkan, ada beberapa klub yang dibentuk untuk menampung minat remaja. Misalnya, ada klub seni, klub olahraga, dan klub kewirausahaan.

Yang paling unik adalah klub kewirausahaan yang diberi nama kafe Pelacur Tobat. Itu adalah akronim Pelayanan Curhat Total Bebas Madat. Nama tersebut dipilih sendiri oleh remaja binaan. Base camp-nya di sebuah balai RW di Banyuurip Jaya.

Berkegiatan di Dolly, tentu ada suka dan dukanya. Susahnya adalah saat mendekati mereka. ’’Nggak bisa gebyah uyah (disamaratakan, Red). Pendekatannya banyak. Latar belakang mereka kan berbeda,’’ ungkap Dedik.

Ternyata, perjuangan tak kenal lelah mereka terbayar. Sebab, komunitas itu telah meraih banyak penghargaan. Di antaranya, Kompas memenangi best documentary film Eagle Junior Documentary Camp 2013 yang digagas BKKBN dan Metro TV.

Saat itu mereka juara dalam kisah bergenre lokalisasi. Kompas masuk tiga besar proposal yang diproduksi menjadi film dokumenter. Selain itu, mereka meraih medali emas Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Pemberdayaan Masyarakat di Lombok pada September 2013.

Dengan torehan prestasi tersebut, anggotanya semakin bertambah. Akhirnya, Kompas berkolaborasi dengan Rumah Remaja di Kali Kedinding. Sebab, karakter daerah di dekat Suramadu itu mirip Dolly. Yakni, sering dijadikan tempat pacaran yang menjurus ke seks bebas.

Dedik mengungkapkan, banyak kisah lucu selama Kompas mendampingi remaja binaan. Misalnya, fasilitator cukup kaget dengan luasnya pengetahuan remaja Dolly terkait dengan narkoba. Mereka tahu beberapa jenis barang haram tersebut. Lengkap dengan nama dan cara memakainya. Saat ditanya tahu dari mana, mereka bilang kenal dari teman.

Agar mereka tidak kebablasan, fasilitator menggambarkan dampak buruk narkotika dan seks bebas. Bahkan, mereka membawa sampel napza dari kampus. Selain itu, mereka memborong modul kesehatan reproduksi. Misalnya, alat kontrasepsi dan replika organ reproduksi.

Selain itu, fasilitator terheran-heran dengan istilah-istilah khas lokalisasi yang mereka sebut. Misalnya, booking PSK disebut dengan tuku iwak. Bahkan, para remaja itu hafal benar tarif PSK, lengkap dengan perincian wismanya. ’’Mereka bilang, PSK di Kembang Kuning itu paling murah. Kalau di Wisma Barbara, mahal,’’ katanya lantas tergelak.

Ada cerita unik lainnya. Hal tersebut terjadi saat pertama launching Kompas pada 2012. Ketika itu, fasilitator diajak berkeliling di area lokalisasi. Mulai Dolly, Kembang Kuning, hingga Jarak. Saat itu para remaja binaan menggoda waria setempat.

Caranya, mereka melempari waria dengan mercon. Akibatnya, Kompas dilaporkan kepada ketua RW setempat. Mereka dituduh bikin keributan. Untungnya, masalah tersebut tidak berbuntut panjang.

Adelia Ratri Mahenda, salah seorang fasilitator, turut bercerita. Menurut gadis kelahiran Kediri itu, banyak remaja binaan Kompas yang suka curhat saat galau. Termasuk curhat tentang masalah keluarga dan cinta. Saking dekatnya, mereka bisa mengeluarkan semua unek-uneknya. Bahkan, saat olahraga bersama, ada sesi curhat.

’’Kami sering dicurhati sampai malam. Mereka sering SMS sambil tanya, ’Mbak lagi ngapain, sudah tidur belum, sudah makan belum’,’’ ujar Adel, sapaannya, lantas tersenyum.

Dia menyatakan, banyak hal yang dilakukan Kompas untuk mendukung remaja Dolly. Tidak jarang fasilitator harus membantu mengerjakan tugas mereka sampai tengah malam. Pernah suatu ketika ada remaja binaan Kompas yang mengalami kesulitan ekonomi untuk melanjutkan sekolah. Saat itulah fasilitator berupaya mencarikan beasiswa.

Menurut Adel, tidak mudah mendapat kepercayaan warga lokalisasi. Awalnya, mereka harus bisa menunjukkan kegiatan positif. Caranya, sering terlibat aktif dalam kegiatan warga. Tidak jarang mereka ikut menyiapkan lomba Agustusan. Di situ, remaja binaan menampilkan teater dan menari.

Adel menuturkan, Kompas kadang menemui kesulitan dana. Awalnya, mereka mengandalkan uang hasil kemenangan PKM. Ada pula donasi dari rektorat dan fakultas. Namun, dengan banyaknya kegiatan, lama-kelamaan dana tersebut terus berkurang.

Bahkan, tak jarang mereka harus merelakan uang pribadi untuk transportasi dan konsumsi. Meski begitu, hal tersebut tidak menjadi penghalang perjuangan mereka.

Belum lagi persoalan utama lain seperti regenerasi. Yangistikamahdi Dolly bisa dihitung dengan jari. Karena itu, mereka tengah gencar mencari pengganti. Misalnya, mahasiswa angkatan baru dan mengajari remaja binaan yang mampu untuk menjadi fasilitator.

Mereka semua berharap Kompas menjadi laboratorium community development mahasiswa. Mereka ingin mahasiswa bisa mempraktikkan langsung ilmu pengabdian masyarakat melalui Kompas.

Nah, Rabu (19/6) saat gencarnya deklarasi penutupan, fasilitator langsung meluncur ke Dolly. Mereka ingin berada di samping para remaja binaan. Sebab, ABG itu riskan ditunggangi. ’’Remaja kanrawan. Jangan sampai ada yang mengintervensi dengan kepentingan tertentu,’’ ujar Dedik.

Dedik, Adel, dan fasilitator lainnya sadar, penutupan Dolly tidak serta-merta akan menghilangkan pengaruhnya. Tapi, anggota Kompas yakin, para remaja itu pelan tapi pasti bakal berubah.

’’Kami akan tetap berusaha agar yang abu-abu tidak sampai berubah menjadi hitam. Yang hitam, gimana caranya agar menjadi putih,’’ ujar mereka bersamaan. (Muniroh/c5/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keropak Pernah Hanya Berisi Bungkus Permen dan Amplop Kosong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler