KPA Cium Sejumlah Kejanggalan

Kamis, 03 Maret 2011 – 00:14 WIB

JAKARTA -- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencium sejumlah kejanggalan dalam perkara sengketa lahan antara Gabungan Kelompok Tani (Gapokta) Manunggal dengan PTPN II dan PT Kawasan Industri Medan (KM), yang berujung penangkapan seorang petani, Legiman (72).

Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin menjelaskan, polisi tentu memiliki wewenang menahan tersangka jika memiliki cukup bukti pemalsuan surat kuasa permohonan eksekusi atas nama warga seperti yang diadukan oleh PT.KIM dan PTPN IINamun, kata Iwan, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sudah memutuskan bahwa warga yang tergabung dalam Gapokta adalah pemilik sah tanah tersebut.

"Jadi, dasar keberatan dan aduan dari perusahaan kepada perusahaan sesungguhnya lemah

BACA JUGA: Hatta: Manajemen Pelabuhan Merak Belum Bagus

Sebab, setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap pihak perusahaan tidak memiliki hak atas areal tersebut dan wajib mematuhinya dengan cara keluar dari areal tersebut
Apalagi mereka BUMN dan Perusahaan berbadan hukum, seyogyanya tidak perlu menunggu perintah eksekusi apalagi sampai bertahun-tahun dan barangkali terus mengambil manfaat atas tanah tersebut," beber Iwan kepada JPNN saat dimintai tanggapan atas kasus ini.

Lebih lanjut Iwan berpendapat, jika melihat kronologisnya, seharusnya pihak yang berkeberatan atas “pemalsuan” tanda tangan sehingga berhak melaporkan para tersangka atas pemalsuan tersebut adalah warga yang tergabung dalam Gapokta

BACA JUGA: Pengemis Bisa Raup Jutaan Rupiah

"Bukan pihak perusahaan yang menurut hukum sudah tidak berhak atas tanah tersebut," cetus alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.

Karenanya, menurut Iwan, sebelum aparat melakukan penangkapan terhadap Legiman, mestinya diteliti lebih dulu, apakah masyarakat yang tergabung dalam Gapokta memang mewakilkan tanda tangan permohonan eksekusi, atau sekurang-kurangnya tidak keberatan jika tanda tangannya diwakilkan oleh para tersangka
"Jika tidak ada keberatan, tentu tidak ada alasan pihak kepolisian menindaklanjuti laporan dari perusahaan," ujar Iwan.

Kemelut sengketa lahan semacam ini, kata Iwan, sesungguhnya bisa diatasi jika Polda Sumatera Utara mengingat kembali instrument Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara BPN dan Mabes Polri yang ditandatangi pada 24 Juli 2007 lalu

BACA JUGA: Massa Desak Bupati Gagas Perda Anti-Ahmadiyah

Di dalamnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah mengumumkan kepada publik telah membuat kesepakatan bersama untuk mengatasi masalah pertanahan di Indonesia, dengan nomor : 3/SKB/BPN/2007, No.PolB/576/III/2007.  Tindak lanjut dari MoU ini adalah dibentuknya Tim Ad-Hoc Sengketa tanah"Dengan dibentuknya team ad hoc tersebut, skala prioritas penyelesaian sengketa pertanahan di Sumut seharusnya sudah terpetakan," ujarnya.

Perkembangan kasus ini, pihak Poldasu menegaskan pihaknya tidak salah tangkapLegiman dinyatakan sebagai tersangka kasus pemalsuan surat yang kini tengah ditangani Poldasu“Itu tidak salah tangkap itu benar Legiman yang sudah menjadi tersangka di dalam laporan polisi,” ujar Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Heri Subiansaori melalui Kasat IV Tipiter Poldasu AKBP M Butar-Butar, Selasa (1/3), melalui telepon selulerDia mengatakan, Poldasu akan terus melakukan penyelidikan dan memproses Legiman secara hukum.

Legiman, oleh polisi disebut berinisial L, bersama tersangka lain berinisial T (Tugimin, rekan Legiman), ditetapkan sebagai tersangka kasus kisruh eksekusi lahan PT KIM yang kepemilikannya diklaim kelompok tani pimpinan Legiman dan manajemen PTPN II.

Perjalanan panjang Legiman (72) dan rekan-rekannya sesama anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapokta) Manunggal memperjuangkan kepemilikan 46,11 hektar lahan di Desa Saentis belum usaiMeski sudah memiliki hak penuh atas kepemilikan lahan dan dikuatkan dengan keputusan pengadilan serta sudah dieksekusi 6 Januari 2011, PTPN II dan PT Kawasan Industri Medan (KM), belum rela melepas hak atas lahan tersebut masih terus digoyang.

Padahal, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam (6 Maret 1999), Pengadilan Tinggi Medan (21 September 2000), keputusan di tingkat Mahkamah Agung 6 Desember 2001, dan peninjauan kembali di MA tahun 2004 sudah memberi kewenangan kepemilikan lahan yang sudah mereka garap sejak 1952 ituPN Lubuk Pakam bahkan sudah mengeksekusi lahan tersebut pada 6 Januari 2011(sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dephub Kaji Izin Bandara Simalungun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler