KPK Harus Telisik Pelanggan RA

Kamis, 14 Mei 2015 – 21:01 WIB
Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel. Foto JPNN.com

jpnn.com - Prostitusi Online belakangan menjadi fenomena yang menarik perhatian masyarakat. Mulai dari tewasnya perempuan cantik di indekosnya daerah Tebet, Dedeuh alias Tata Chubby yang belakangan ditengarai sebagai penjaja seks komersial yang memasarkan diri melalui media sosial sampai pada tertangkapnya muncikari Robby Abbas alias RA bersama artis AA, Jumat (8/5) malam oleh Polres Metro Jakarta Selatan.

RA termasuk germo kelas tinggi. Berdasarkan hasil penyidikan Polres Metro Jaksel, ada sekitar 200 Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menjadi 'anak asuhnya'. Umumnya, yang menjadi adik, (sebutan anak asuh RA) adalah artis yang terkenal.

BACA JUGA: Jangan Melihat dari Satu Orang, Satu Profesi

Dari penyidikan juga terungkap bahwa artis yang terlibat dalam bisnis prostitusi ini bayarannya cukup tinggi dengan pelanggan dari kalangan pengusaha dan pejabat. Dari 17 artis inisial yang beredar, dibanderol Rp 20-200 juta untuk sekali kencan dengan durasi 3 jam. Pelanggan tidak hanya dari Indonesia tapi juga datang dari luar negeri.

Nah, bagaimana fenomena prostitusi online ini di mata Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne?

BACA JUGA: Kalau Optimistis Saya Enggak Keluar

Berikut kutipan wawancara reporter JPNN.com M Fathra Nazrul Islam, dengan anggota Indonesia Legal Rountable dan konsultan ahli sebagai expert judicial psychology di beberapa lembaga seperti Mahkamah Agung, hingga United Nations Office on Drugs and Crime (UNODOC), Kamis (14/5) di Jakarta.

Bicara kasus RA dan AA, apa bisa penindakan yang dilakukan polisi menghentikan geliat prostitusi online, sementara sang pelacur dilepas begitu saja?

BACA JUGA: Saya Ingin Seperti Tentara Laki-laki

Ini kan sebenarnya bukan di online atau media konvensionalnya. Tapi prostitusinya. Saya melihatnya di situ. Online atau konvensionalnya itu sebatas media memasarkan diri, tidak jadi persoalan besar. Persoalan besarnya adalah prostitusinya.

Kalau kita bicara tentang penindakan prostitusi, di online maupun lewat media konvensional, seperti kriteria saya, ada dua jenis prostitute atau pelacur. Yang harus ditindak secara rehabilitasi adalah pelacur yang berstatus sebagai korban, yaitu mereka-mereka yang pada posisi keterpaksaan.

Tapi untuk pelacur-pelacur komersial, profesional, pekerja, yang menjadi pelacur berdasarkan pilihan, atau gaya hidup itu penindakannya haruslah dengan cara hukum pidana dan sanksi sosial.

Seperti apa penegakan hukum pidananya?

Kalau merujuk KUHP, memang pasal yang terkait dengan prostitusi lebih terkait kepada penindakan terhadap si muncikarinya. Di negara-negara Barat mereka berbalik arah sekarang. Dulu melegalisasi prostitusi, seperti sinyal si Ahok (Gubernur DKI Basuki T Purnama) ini, pengetahuannya basi.

Jadi dia merujuk sebuah pemikiran tahun 1980-an yang dulu dianggap sukses tapi ternyata terbukti gagal total. Nah, di negara-negara Barat, tidak hanya menindak si muncikari tapi juga menindak si konsumen.

Asumsi yang berlaku di balik penindakan itu, adalah karena pelacur dianggap korban perdagangan orang alias human trafficking. Kebijakan-kebijakan itu tampaknya abai terhadap kenyataan bahwa ada pelacur yang berdasarkan pilihan.

Nah kalau memang ada penggolongan pelacur yang terbaikan sementara di lapangan kita melihat data empiris ada pelacur golongan tersebut (pilihan), ya Indonesia tidak harus sama dengan negara Barat.

Indonesia bisa mengatur hukum yang lebih sesuai dengan kebutuhan kita untuk menjawab persoalan di tengah masyarakat. Apalagi kalau di Perda DKI tahun 2007, Perda itu menggilas habis si muncikari, si pelacur dan si tamu, walaupun pada sisi lain Perda itu abai pada kenyataan bahwa ada pelacur golongan satu (korban).

Artinya sudah pas wacana revisi KUHP akan mengatur lebih tegas soal pelanggan dan pelacurnya?

Pelaku ya muncikari pelaku, pengguna juga pelaku. Makanya saya tidak gunakan kata pelaku karena jadi rancu. Saya menyebut pelacurnya.

Terkait penindakan kalau menunggu regulasi, revisi KUHP, itu prosesnya panjang. Tanpa harus menunggu itu kan masyarakat punya mekanisme, sanksi sosial. Kalau memang kita muak, kita jijik kita benci terhadap hal macam ini ya sudah kita kasih sanksi sosial.

Ariel Peterpan jangan beli CD-nya, Amel (AA) jangan kita kasih panggung masuk TV lagi, yang lonte itu jangan kasih sinetron lagi. Kalau mereka tampil di TV matikan TV, ganti channel sehingga ratingnya turun. Kalau rating turun kontrak tidak diperpanjang, iklan kabur, bangkrut.

Apa efektif hukum sosial itu?

Mestinya itu menurut saya jauh lebih efektif dan jauh lebih mudah untuk dilakukan daripada menunggu eprubahan hukum positif kita.

Soal harganya, secara kajian psikologi masuk akal gak untuk 3 jam Rp 80 sampai 200 juta?

Masuk akal. Cuma jadi pertanyaan, satu, uang itu darimana berasal. Kalau kita berasumsi uang Rp 80-200 juta itu besar dihabiskan dalam waktu 3 jam, berarti penggunanya, kosumennya itu luar biasa kaya dan luar biasa powerfull.

Dia tidak hanya kaya tapi juga yakin akan mendapatkan uang lagi untuk waktu berikutnya. Ini kan jadi sebuah pertanyaan, itu pelanggan macam apa, atau mungkin pejabat seperti apa yang punya begitu banyak uang dan bersenambungan.

Muncul lah dugaan saya, ini jangan semata-mata dilihat masalah pelacurannya, kalau pelacuran harganya hanya Rp 80 juta, tapi kalau kita bentangkan wacana misalnya, kita bicara tentang kemungkinan penularan penyakit seksual, kemungkinan kehamilan diluar nikah, atau pembunuhan terhadap bayi. Kemudian bicara tentang rusaknya hubungan dalam keluarga.

Kemungkinan kita juga bicara tentang gratifikasi seks. Kalau kita kita bicara pelacuran secara multi dimensi, itu semua kita bicara tentang nominal yang jauh lebih besar lagi. Tidak hanya sebatas Rp80-200juta tapi jauh lebih besar yang sayangnya dimensi-dimensiitu sulit untuk diangka-kan tapi kita yakini.

Sebenarnya bicara prostitusi ini bisa jadi ada juga yang pelacur laki-laki, gigolo?

Oya jelas, pasti. Makanya saya tidak menggunakan perempuan, saya kan menggunakan kata pelacur, orang-orang yang menjadi pelacur. Berarti berlaku laki-laki dan perempuan, dalam kasus perdagangan orang itu juga disebut bukan hanya perempuan, anak-anak tapi juga laki-laki. Begitu juga bicara laki-laki gigolo profesional, saya yakin juga banyak.

Kembali soal harga tadi, bisa saja kan pelangganya tidak hanya pengusaha tapi juga pejabat, politisi?

Itu yang tadi saya bilang gratifikasi seks. Kalau menyangkut gratifikasi seks itu korupsi. Berarti kan kita bicara tentang petinggi-petinggi, pejabat, para orang penting yang melakukan korupsi dan tidak melibatkan uang barangkali, tapi pasti ada unsur uang.

Motifnya demi kepuasan lah ya, di kalangan para koruptor itu?

Ya bisa jadi, sangat-sangat bisa jadi. Bagian dari tanda petik "proses lobby", disediain all-in lah, hotelnya, makannya, hiburannya, esek-eseknya, dan seterusnya.

Kalau untuk kasus RA yang katanya punya 200 anakbuah, baiknya dibuka gak pelanggannya ini?

Di Barat, ketika terjadi skandal seks, keterkejutan publik yang terfokus pada kontak seksual terlarangnya itu tidak lama, hanya satu dua hari. Selebihnya publik akan terfokus pada siapa ini yang sudah melakukan kontak seksual ini.

Jadi bicara skandal seks kita tidak usah bicara lama-lama tentang seksnya, tapi kita harus cari tahu siapa pejabat tinggi, siapa orang-orang penting yang sudah melakukan perilaku itu, melakukan kontak seks di luar pernikahan, melakukan atau terlibat dalam gratifikasi seks, korupsi, itu bahasan-nya ke situ.

Itu tadi saya katakan, kita tidak hanya bicara angka Rp80-200 juta, jauh lebih besar lagi walaupun sulit diangkakan.

Fenomena ini apakah ada keterkaitan dengan perubahan budaya masyarakat kita?

Kita jangan menyerahlah pada budaya pelacuran, tidak ada itu budaya pelacuran. Tinggal lagi konsekuensi dasar, kalau kegelisahan kita bahwa pelacuran sudah sampai pada gang-gang sempit, sekarang polisi sudah tekan tombol, tinggal lagi polisi mau tidak terus melangkah. Jangan sampai tombol sudah ditekan lalu ditinggal.

Pada saat yang sama tidak mungkin polisi kerja sendirian, masyarakat juga harus bekerja. Kalau saya ya, cenderung, kalau perlu nih, tanpa ada maksud apapun, KPK mestinya pantau posisi AA, RA segala macam. Telisik siapa tamu-tamunya, pintu masuknya (mengusut korupsi) justru dari situ.

Kan dalam kasus korupsi berlaku pembuktian terbalik. Bagaimana seorang tersangka korupsi membuktikan dia tidak korupsi, nah tinggal ditanya saja ini anda bisa transaksi dengan RA melibatkan angka sampai Rp 80-200 juta rupiah ini uang dari mana? Kalau orang tersebut tidak bisa menjawab, berarti itu korupsi. Logika macam itu berlaku untuk pemberantasan korupsi. (fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Biarkan Kebebasan Terbelenggu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler